(Bantahan teruntuk saudaraku Atep Abdul Rohman di grup Komunitas Bisa Menulis)
Sejujurnya saya malas untuk menulis artikel balasan
ini. Tapi demi kehidupan yang penuh dengan kedamaian dan jauh dari syak
wasangka, saya harus menulisnya. Demi ukhuwah dan saling pengertian satu sama
lain, saya butuh untuk menelurkan uneg-uneg saya disini. Semoga artikel
bantahan ini bisa menjadi renungan kita semua untuk bisa saling toleransi dan
pengertian antar sesama ummat islam.
Ada beberapa point yang ingin saya sampaikan lewat
artikel bantahan ini.
Pertama. Ya, kami memang tidak sungkan-sungkan
mengkaji tentang bidah dan kesyirikan di pengajian-pengajian. Sama persis
seperti kalian membahas tentang wahabi di pengajian-pengajian kalian. Tapi itu
tidak lepas dari majlis ilmiyah yang tidak kami bawa ke kehidupan nyata. Kami tidak
pernah langsung menuding hidung orang dengan sebutan ‘kamu bid’ah, kamu
musyrik. Kamu sesat. Bla...bla...bla... karena kami yakin bahwa dakwah itu ada
adabnya. Karena kami yakin bahwa kalian masih saudara semuslim kami. Karena kami
yakin bahwa kalian adalah saudara seaqidah yang tidak layak dijadikan musuh.
Sementara, saya seirng mendengar kabar tentang kajian saudara-saudara yang
kalian cap wahabi, dibubarkan oleh massa kalian. Bahkan pimpinan kalian nyinyir
kepada kami. Siapa yang tidak toleran?
Keluarga dari pihak ibu saya NU. Tapi saya sangat
akrab dan mesra dengan mereka semua terlepas adanya perbedaan diantara kami.
Saya tidak pernah menuding mereka. Pun tetangga-tetangga saya mayoritas NU.
Tapi kami bisa hidup berdampingan. Sebenarnya si TS hanya memperkeruh ukhuwah
diantara kami. Anda harus bertobat.
Kedua, siapa sebenarnya yang tidak toleran terhadap
sesama umat islam. Selama ini klaim aswaja (ahlus sunnah wal jamaah) ada pada
kalian. Kalian menganggap mereka yang tidak tahlilan, tidak qunut subuh, dan
tidak maulidan bukan ahlus sunnah. Padahal, diversitas atau perbedaan dalam
fiqih itu keniscayaan. Sampai-sampai tidak qunut subuh saja dianggap aneh. Sekali lagi saya hanya ingin mengatakan,
siapa yang selama ini selalu mempersekusi? Sepertinya kita sudah tahu
jawabannya.
Ketiga, banyak diantara kami yang bisa bahasa arab,
yang mengkaji arab gundul, bahkan belajar ke timur tengah di mekah, madinah,
mesir dan sudan. Tapi kenapa selalu saja kalian berkoar-koar, “ngaji dari internet”.
Apakah semua ‘orang kalian jago bahasa arab? Kami hanya mengikuti ustadz dan
syaikh kami yang memiliki banyak ilmu seperti kalian mengikuti kyai-kyai
kalian. Ustadz dan kyai-kyai kami juga paham bahasa arab, membaca ratusan kitab
arab gundul, dan bahkan menulis kitab. Sama seperti kyai-kyai kalian. Diantara
kami juga ada yang belajar daring lewat youtube. Sama seperti orang-orang awam
kalian mengaji di chanel youtube milik gus atau habib kalian. Apa bedanya???
Keempat. Jujur, saya memiliki banyak teman dari
berbagai macam latar belakang agama, aliran dan sekte. Saya punya teman yang
nasrani, yahudi dan hindu. Meski kami berbeda satu sama lain, tapi kami saling
menghormati. Saling menghormati dan toleransi dengan orang nasrani bukan
berarti saya mengakui ketuhanan yesus, tapi saya mengakui kebebasan mereka
untuk memiliki kepercayaan yang mereka yakini. Terkadang kami terlibat ke dalam
perdebatan dan diskusi yang panas. Tapi itu dalam urusan ilmiyah, bukan
muamalah.
Nah, lalu bagaimana mungkin sikap yang sama tidak bisa
kita terapkan terhadap sesama umat islam yang memiliki nabi yang sama, kitab
yang sama, tuhan yang sama, dan tentu saja agama yang sama.
Kenapa kamu harus repot-repot nyinyirin salafi-wahabi
yang mengkaji tentang bid’ah dan kesyirikan dalam kajian-kajian ilmiah mereka?
Sementara disaat yang sama kalian juga melakukan hal yang sama di
pengajian-pengajian kalian.
Kelima, nyatanya klaim wahabi ini seringkali salah
sasaran dan terkesan bombastis tanpa perhitungan. Yang jelas, ada anggapan
bahwa siapa saja yang tidak tahlilan, tidak qunut shalat subuh, tidak beraqidah
asy’ariyah, dan tidak bertasawuf ghazali, maka bisa dipastikan mereka wahabi.
wah, bahaya! Kalau begitu, begitu banyak wahabi di negeri tercinta ini.
Muhammadiyah adalah wahabi, pun dengan persis, al-irsyad, hidayatullah dan
organisasi-organisasi lainnya. Maka tak heran jika di masa lalu kita mendengar
berita tentang masjid muhammadiyah yang dibakar atau jamaah muhammadiyah yang
dipersekusi oleh warga nadhiyin. Dan saya tahu itu hanya beberapa gelintir.
Saya juga memiliki pengalaman yang sama tentang hal
ini. Dulu, bapak saya sering dicap PERSIS hanya karena tidak pernah maulidan.
Padahal bapak saya bukan orang PERSIS. Dulu, di SMP saya sering dibully karena
memang keluarga saya beda dari yang lain. Kakak perempuan saya dibilang sok
suci hanya karena memakai jilbab lebar dan berkaus kaki. Sebenarnya siapa yang
tidak pernah toleran disini??
No comments:
Post a Comment