Di mata
abuya, sopir keluarga kami, Javed adalah seorang lelaki yang sangat pantas
untuk dipercaya. Di depan abuya, lelaki Pakistan berusia 30 tahun itu sangat
sopan, penurut dan tidak pernah
bertindak macam-macam. Abuya selalu meminta javed untuk mengantarnya ke pabrik
kain miliknya, sementara ummi selalu memintanya untuk mengantar belanja. Dan
tentu saja Javed punya tugas khusus untuk mengantarkan aku ke sekolah putri di
Salman al-Farisi school. Kemudian di akhir pekan, dia dengan setia mengantarkan
kami ke restoran al-Barj atau kedai
halwayat untuk makan malam.
Tidak ada
cela yang bisa dilihat oleh keluargaku, kecuali di mataku sendiri. bagiku,
Javed selayaknya tidak pantas menjadi sopir pribadi keluarga kami. Tapi
agaknya, abuya dan ummi lebih percaya dia daripada putrinya sendiri. aku muak
sekali.
“Ya bintu,
kau lama sekali. Lihatlah, Javed sudah menantimu di halaman depan. Bahkan
kendaraan sudah dinyalakan sejak 10 menit yang lalu. Tidak bisakah kau cepat
sedikit?” suara ummi merepet dari arah samping ruang kamarku. Kemudian
kepalanya menyembul dari balik daun pintu. “Sedang apa kau.”
“Oke, ini
aku sudah selesai.” Seruku agak kesal.
Sungguh, aku
lebih baik tidak berangkat sekolah daripada diantar Javed. Setidaknya, aku
telah beberapa kali meminta kepada abuya untuk mengizinkan aku berangkat
bersama kakak lelakiku, Husein. Toh dia bisa mengantarku barang sepuluh menit
ke sekolah, sebelum dia berbelok menuju arah universitas terbuka. Setidaknya 4
hari dalam sepekan aku tidak diantar oleh lelaki tak tahu diri itu. Ya, yang
aku sebut lelaki tak tahu diri itu Javed. Nanti aku akan ceritakan kepadamu
kenapa aku menyebutnya begitu.
“Ayolah
Zara, kau akan terlambat.” Suara ummi masih terdengar, tapi suaranya terdengar
sayup dari lantai bawah. Aku mendecakan lidah, sementara tanganku menyambar tas
yang tersampir di kursi belajarku. Kemudian dengan setengah berlari menuruni
tangga menuju lantai bawah.
“Sepertinya
kau akan terlambat. Jadi bawa saja sarapannya, dan makan di perjalanan.” Ummi
muncul dari arah pintu dapur. “Aku sudah buatkan sandwich untukmu. Dan sebotol
susu.”
Aku tidak
mengatakan apa-apa. Mengambil sarapan di kotak bekal yang diangsurkan ummi
kepadaku. Kemudian berlalu, menuruni tangga landai menuju mobil yang sudah
menyala sedari tadi.
“Kau sudah
siap?” lelaki itu bertanya sembari mengerlingkan matanya seperti mata lelaki
nakal di flm-film hollywood. Dan aku tidak perlu repot-repot meresponnya. Aku
membuka pintu di belakang dan membantingnya dengan keras.
“Kau sangat
cantik pagi ini.” Pujiannya tak lebih dari suara yang menjijikan.
“Tidak
bisakah kau segera tancap gas tanpa perlu melontarkan omong kosong itu?”
bentakku.
“Hai, manis.
Kenapa kau marah begitu. Tidak bisakah kau tersenyum. Bagaimana mungkin sepagi
ini kau marah-marah tak karuan. Apakah abuya memarahimu?”
“Bisakah kau
diam?”
Dia kembali
mengerlingkan matanya dan mulai menancap gas. Meninggalkan rumah kami di qurtoba, berbelok menuju king Saud road yang
lengang
Oke,
sekarang bahkan aku tidak berselera untuk menyantap sarapanku. Hanya karena
celotehan lelaki berkulit cokelat ini. Oh, biarkan saja aku rasis. Ketika kesal
begini kadang aku tidak peduli.
“Hai,
tidakkah kau makan sarapanmu. Kenapa kau melamun saja?”
“Apa
urusanmu bertanya? Aku bahkan tidak butuh perhatianmu.”
“Karena aku
bodyguardmu.”
“Kamu hanya
sopirku. Tak lebih. Jangan harap!”
Dia kembali
tersenyum lebar dan kembali fokus mengemudi.
Ya tuhan,
kenapa pria ini tampak begitu menyebalkan. Andai saja Abuya lebih sayang anak
perempuannya dibanding supirnya yang kurang ajar ini, sudah pasti dia sudah
enyah sejak setahun yang lalu. Sayangnya, justru abuya meminta lelaki ini
memperpanjang kontrak kerjanya hingga empat tahun. Enak betul.
“Ayolah, makan
sarapanmu. Jika tidak aku akan menepikan kendaraan di bahu jalan dan
menyuapimu.”
Oke,
daripada lelaki menyebalkan ini mengoceh. Lebih baik aku memakan sarapanku
sekarang. Aku membuka kotak sarapan yang diberikan mama dan mulai menyantapnya.
Javed tersenyum
senang.
***
Empat puluh
menit kemudian kami telah sampai di depan salman alfarisi school. Javed
merapatkan mobil menuju gerbang sekolah yang lebar. Dan aku langsung membuka
pintu tanpa perlu mengatakan apa pun. Bahkan aku tak perlu menatapnya lagi.
“Hai!” lelaki itu memanggilku dari belaka ng
“Apa lagi?”
“Kau
melupakan tas sekolahmu.” Serunya. Kemudian dia menunjuk jok belakang dengan
dagunya yang klimis. “Sebenarnya kau mau sekolah atau bermain?” sindirnya
kemudian.
Aku
merengut. Membuka kembali pintu mobil dan menyambar tas yang tergeletak di atas
jok.
“Jika ada
murid yang nakal. Bilang padaku.”
“Aku bukan
anak pengadu!”
“Oke,
selamat belajar manis.” Serunya sembari melambai dan memutar balik kendaraan
dari halaman depan sekolah.
Aku
menghembuskan napas panjang. Dan tentu saja lelaki itu akan datang kembali
nanti siang untuk menjemputku pulang. Tapi terkadang aku lebih memilih pulang
bersama Laila, teman sebangkuku. Tidak sepertiku, yang menjemput Laila adalah
ayahnya, Tuan bahadur yang berprofesi sebagai dosen di universitas terbuka
terdekat dari sekolah kami.
Kau tahu,
ketika memilih pulang bersama Laila dan ayahnya, aku seakan sukses mengerjai si
lelaki brengsek itu. Aku bisa membayangkan dia datang ke sekolah, menunggu
berjam-jam lamanya dan tidak mendapatiku keluar dari gerbang sekolah. Aku tahu
dia akan menghubungiku, tapi aku lebih memilih mematikan telpon genggamku. Itu
adalah pembalasanku karena tingkah lakunya yang kurang ajar.
Siang ini
pun aku berencana pulang bersama laila alih-alih dengan lelaki kurang ajar
tersebut.
“Hai Zara.”
Baru saja aku memikirkan Laila, dia sudah muncul dari arah depan. Tuan bahadur
tersenyum dan melambai dari lotusnya.
“Hai,
selamat pagi, Laila.”
“Selamat
pagi. Mana sopirmu yang ganteng itu?”
“Apa?
Ganteng? Kau bilang sopirku ganteng? Apakah matamu rabun?”
Laila
menyikut rusukku, “Pstt! Jangan keras-keras, nanti ayahku mendengarnya.”
“Kupikir
lebih banyak lelaki yang menarik untuk dipandang daripada lelaki pakistan
berkulit gelap itu.” Seruku dengan nada sarkastis. Lebih tepatnya rasis.
Laila
terdiam sesaat dan menatapku dengan tatapan tajam dan penuh arti. “Bagaimana
mungkin kau berkomentar seperti itu. Kamu tak jauh beda seperti penjajah yang
rasis.”
Sekarang aku
menyesal melontarkan ejekan kepada javed. Bukan karena rasa bersalahku
kepadanya, tapi rasa maluku kepada Laila yang tidak suka dengan komentarku
barusan.
“Jangan
salahkan aku, Laila. Aku membenci pria itu karena dia sering bertindak kurang
ajar kepadaku.”
“Seperti apa
contohnya?” tanya Laila penasaran. Kali ini kami sudah memasuki gerbang sekolah
dan sesekali menyapa teman-teman kami.
“Dia sering
menggodaku. Memanggilku dengan sebutan ‘nona manis’ dan semacamnya.”
“Tapi dia
tidak berusaha memperkosamu kan?”
“Yang benar
saja. Jika itu benar-benar terjadi, aku akan meminta abuya untuk membunuhnya.
“Hm, kejam
sekali.”
“Ayolah,
daripada kau tertarik dengan pria itu, kau bisa berkenalan dengan murid lelaki
Ali school di facebook dan meminta nomor whatsaap mereka.” Aku mecoba
mengalihkan pembicaraan hanya karena khawatir Laila masih protes dengan
komentar rasisku.
“Pada
akhirnya aku mengetahui sisi nakalmu, Zara. Apakah kau pernah melakukannya?”
“Ya, aku
pernah melakukannya tiga kali. Maksudku, aku berkenalan dengan tiga murid
lelaki dari Ali school. Aku mengenal mereka lewat facebook dan kami mengobrol
semalam suntuk.”
“Sepertinya
asyik.”
“Cobalah. Oh
iya, bisakah aku pulang bersamamu nanti siang? Aku malas pulang bersama Javed.”
“Bagaimana
kalau kita bertukar sopir. Kau pulang bersama ayahku dan aku pulang bersama
sopirmu itu.” Seloroh Laila.
“Yang benar
saja, Laila. Nanti aku malah jatuh cinta kepada ayahmu yang tua dan botak itu.”
Laila dan
aku tertawa berbarengan, sampai-sampai teman-teman kami mengerling demi melihat
tawa kami yang lepas begitu saja.
***
Siangnya,
Laila menepati janjinya. Dia mengizinkanku pulang bersamanya. Tepat pukul 2
siang, Tuan bahadur sudah memarkirkan lotusnya di halaman sekolah kami. Senang rasanya
bisa pulang dengan obrolan yang tak ada habisnya antara kami bertiga. Tuan
bahadur bertanya tentang keluargaku, tentang bisnis abuya dan bahkan dia
berencana untuk berkunjung ke rumah kami.
“Apakah
kakak lelakimu, husein sudah akan menikah dalam waktu dekat?” tanya tuan
bahadur di tengah-tengah percakapan kami di dalam lotusnya.
“Sepertinya
tidak. Dia masih kuliah di semester 5. Dan abuya juga belum pernah menyinggung
tentang pernikahan kakakku.” Jawabku dengan dahi berkerut. Aku sendiri tidak tahu
pasti kenapa tuan Bahadur bertanya tentang rencana pernikahan kakakku. Sementara laila hanya diam saja.
Tiba-tiba
telpon selulerku berdecit di dalam saku abaya. Shit! Pasti Javed menghubungiku.
Aku merogoh saku abaya dan menghidupkan
layar. Benar saja, nama ‘The Fucking idiot’ muncul di layarku. Aku menekan ikon
gagang telpon merah, menolak untuk bicara. Sebagai gantinya aku mengiriminya
pesan, ‘Aku pulang bersama Laila. Putar balik saja.’
Tak berapa
lama, muncul balasan.
‘Kenapa kau
tak bilang dulu. Setidaknya aku tidak perlu repot menyetir selama 40 menit
lamanya.’
‘Bukan
urusanku!’
Bersambung
No comments:
Post a Comment