18 May 2020

#Part 1- The Lost Memory



Di mata abuya, sopir keluarga kami, Javed adalah seorang lelaki yang sangat pantas untuk dipercaya. Di depan abuya, lelaki Pakistan berusia 30 tahun itu sangat sopan, penurut  dan tidak pernah bertindak macam-macam. Abuya selalu meminta javed untuk mengantarnya ke pabrik kain miliknya, sementara ummi selalu memintanya untuk mengantar belanja. Dan tentu saja Javed punya tugas khusus untuk mengantarkan aku ke sekolah putri di Salman al-Farisi school. Kemudian di akhir pekan, dia dengan setia mengantarkan kami  ke restoran al-Barj atau kedai halwayat untuk makan malam.
Tidak ada cela yang bisa dilihat oleh keluargaku, kecuali di mataku sendiri. bagiku, Javed selayaknya tidak pantas menjadi sopir pribadi keluarga kami. Tapi agaknya, abuya dan ummi lebih percaya dia daripada putrinya sendiri. aku muak sekali.
“Ya bintu, kau lama sekali. Lihatlah, Javed sudah menantimu di halaman depan. Bahkan kendaraan sudah dinyalakan sejak 10 menit yang lalu. Tidak bisakah kau cepat sedikit?” suara ummi merepet dari arah samping ruang kamarku. Kemudian kepalanya menyembul dari balik daun pintu. “Sedang apa kau.”
“Oke, ini aku sudah selesai.” Seruku agak kesal.
Sungguh, aku lebih baik tidak berangkat sekolah daripada diantar Javed. Setidaknya, aku telah beberapa kali meminta kepada abuya untuk mengizinkan aku berangkat bersama kakak lelakiku, Husein. Toh dia bisa mengantarku barang sepuluh menit ke sekolah, sebelum dia berbelok menuju arah universitas terbuka. Setidaknya 4 hari dalam sepekan aku tidak diantar oleh lelaki tak tahu diri itu. Ya, yang aku sebut lelaki tak tahu diri itu Javed. Nanti aku akan ceritakan kepadamu kenapa aku menyebutnya begitu.
“Ayolah Zara, kau akan terlambat.” Suara ummi masih terdengar, tapi suaranya terdengar sayup dari lantai bawah. Aku mendecakan lidah, sementara tanganku menyambar tas yang tersampir di kursi belajarku. Kemudian dengan setengah berlari menuruni tangga menuju lantai bawah.
“Sepertinya kau akan terlambat. Jadi bawa saja sarapannya, dan makan di perjalanan.” Ummi muncul dari arah pintu dapur. “Aku sudah buatkan sandwich untukmu. Dan sebotol susu.”
Aku tidak mengatakan apa-apa. Mengambil sarapan di kotak bekal yang diangsurkan ummi kepadaku. Kemudian berlalu, menuruni tangga landai menuju mobil yang sudah menyala sedari tadi.
“Kau sudah siap?” lelaki itu bertanya sembari mengerlingkan matanya seperti mata lelaki nakal di flm-film hollywood. Dan aku tidak perlu repot-repot meresponnya. Aku membuka pintu di belakang dan membantingnya dengan keras.
“Kau sangat cantik pagi ini.” Pujiannya tak lebih dari suara yang menjijikan.
“Tidak bisakah kau segera tancap gas tanpa perlu melontarkan omong kosong itu?” bentakku.
“Hai, manis. Kenapa kau marah begitu. Tidak bisakah kau tersenyum. Bagaimana mungkin sepagi ini kau marah-marah tak karuan. Apakah abuya memarahimu?”
“Bisakah kau diam?”
Dia kembali mengerlingkan matanya dan mulai menancap gas. Meninggalkan rumah kami di  qurtoba, berbelok menuju king Saud road yang lengang
Oke, sekarang bahkan aku tidak berselera untuk menyantap sarapanku. Hanya karena celotehan lelaki berkulit cokelat ini. Oh, biarkan saja aku rasis. Ketika kesal begini kadang aku tidak peduli.
“Hai, tidakkah kau makan sarapanmu. Kenapa kau melamun saja?”
“Apa urusanmu bertanya? Aku bahkan tidak butuh perhatianmu.”
“Karena aku bodyguardmu.”
“Kamu hanya sopirku. Tak lebih. Jangan harap!”
Dia kembali tersenyum lebar dan kembali fokus mengemudi.
Ya tuhan, kenapa pria ini tampak begitu menyebalkan. Andai saja Abuya lebih sayang anak perempuannya dibanding supirnya yang kurang ajar ini, sudah pasti dia sudah enyah sejak setahun yang lalu. Sayangnya, justru abuya meminta lelaki ini memperpanjang kontrak kerjanya hingga empat tahun. Enak betul.
“Ayolah, makan sarapanmu. Jika tidak aku akan menepikan kendaraan di bahu jalan dan menyuapimu.”
Oke, daripada lelaki menyebalkan ini mengoceh. Lebih baik aku memakan sarapanku sekarang. Aku membuka kotak sarapan yang diberikan mama dan mulai menyantapnya.
Javed tersenyum senang.
***
Empat puluh menit kemudian kami telah sampai di depan salman alfarisi school. Javed merapatkan mobil menuju gerbang sekolah yang lebar. Dan aku langsung membuka pintu tanpa perlu mengatakan apa pun. Bahkan aku tak perlu menatapnya lagi.
“Hai!”  lelaki itu memanggilku dari belaka ng
“Apa lagi?”
“Kau melupakan tas sekolahmu.” Serunya. Kemudian dia menunjuk jok belakang dengan dagunya yang klimis. “Sebenarnya kau mau sekolah atau bermain?” sindirnya kemudian.
Aku merengut. Membuka kembali pintu mobil dan menyambar tas yang tergeletak di atas jok.
“Jika ada murid yang nakal. Bilang padaku.”
“Aku bukan anak pengadu!”
“Oke, selamat belajar manis.” Serunya sembari melambai dan memutar balik kendaraan dari halaman depan sekolah.
Aku menghembuskan napas panjang. Dan tentu saja lelaki itu akan datang kembali nanti siang untuk menjemputku pulang. Tapi terkadang aku lebih memilih pulang bersama Laila, teman sebangkuku. Tidak sepertiku, yang menjemput Laila adalah ayahnya, Tuan bahadur yang berprofesi sebagai dosen di universitas terbuka terdekat dari sekolah kami.
Kau tahu, ketika memilih pulang bersama Laila dan ayahnya, aku seakan sukses mengerjai si lelaki brengsek itu. Aku bisa membayangkan dia datang ke sekolah, menunggu berjam-jam lamanya dan tidak mendapatiku keluar dari gerbang sekolah. Aku tahu dia akan menghubungiku, tapi aku lebih memilih mematikan telpon genggamku. Itu adalah pembalasanku karena tingkah lakunya yang kurang ajar.
Siang ini pun aku berencana pulang bersama laila alih-alih dengan lelaki kurang ajar tersebut.
“Hai Zara.” Baru saja aku memikirkan Laila, dia sudah muncul dari arah depan. Tuan bahadur tersenyum dan melambai dari lotusnya.
“Hai, selamat pagi, Laila.”
“Selamat pagi. Mana sopirmu yang ganteng itu?”
“Apa? Ganteng? Kau bilang sopirku ganteng? Apakah matamu rabun?”
Laila menyikut rusukku, “Pstt! Jangan keras-keras, nanti ayahku mendengarnya.”
“Kupikir lebih banyak lelaki yang menarik untuk dipandang daripada lelaki pakistan berkulit gelap itu.” Seruku dengan nada sarkastis. Lebih tepatnya rasis.
Laila terdiam sesaat dan menatapku dengan tatapan tajam dan penuh arti. “Bagaimana mungkin kau berkomentar seperti itu. Kamu tak jauh beda seperti penjajah yang rasis.”
Sekarang aku menyesal melontarkan ejekan kepada javed. Bukan karena rasa bersalahku kepadanya, tapi rasa maluku kepada Laila yang tidak suka dengan komentarku barusan.
“Jangan salahkan aku, Laila. Aku membenci pria itu karena dia sering bertindak kurang ajar kepadaku.”
“Seperti apa contohnya?” tanya Laila penasaran. Kali ini kami sudah memasuki gerbang sekolah dan sesekali menyapa teman-teman kami.
“Dia sering menggodaku. Memanggilku dengan sebutan ‘nona manis’ dan semacamnya.”
“Tapi dia tidak berusaha memperkosamu kan?”
“Yang benar saja. Jika itu benar-benar terjadi, aku akan meminta abuya untuk membunuhnya.
“Hm, kejam sekali.”
“Ayolah, daripada kau tertarik dengan pria itu, kau bisa berkenalan dengan murid lelaki Ali school di facebook dan meminta nomor whatsaap mereka.” Aku mecoba mengalihkan pembicaraan hanya karena khawatir Laila masih protes dengan komentar rasisku.
“Pada akhirnya aku mengetahui sisi nakalmu, Zara. Apakah kau pernah melakukannya?”
“Ya, aku pernah melakukannya tiga kali. Maksudku, aku berkenalan dengan tiga murid lelaki dari Ali school. Aku mengenal mereka lewat facebook dan kami mengobrol semalam suntuk.”
“Sepertinya asyik.”
“Cobalah. Oh iya, bisakah aku pulang bersamamu nanti siang? Aku malas pulang bersama Javed.”
“Bagaimana kalau kita bertukar sopir. Kau pulang bersama ayahku dan aku pulang bersama sopirmu itu.” Seloroh Laila.
“Yang benar saja, Laila. Nanti aku malah jatuh cinta kepada ayahmu yang tua dan botak itu.”
Laila dan aku tertawa berbarengan, sampai-sampai teman-teman kami mengerling demi melihat tawa kami yang lepas begitu saja.
***
Siangnya, Laila menepati janjinya. Dia mengizinkanku pulang bersamanya. Tepat pukul 2 siang, Tuan bahadur sudah memarkirkan lotusnya di halaman sekolah kami. Senang rasanya bisa pulang dengan obrolan yang tak ada habisnya antara kami bertiga. Tuan bahadur bertanya tentang keluargaku, tentang bisnis abuya dan bahkan dia berencana untuk berkunjung ke rumah kami.
“Apakah kakak lelakimu, husein sudah akan menikah dalam waktu dekat?” tanya tuan bahadur di tengah-tengah percakapan kami di dalam lotusnya.
“Sepertinya tidak. Dia masih kuliah di semester 5. Dan abuya juga belum pernah menyinggung tentang pernikahan kakakku.” Jawabku dengan dahi berkerut. Aku sendiri tidak tahu pasti kenapa tuan Bahadur bertanya tentang rencana pernikahan kakakku.  Sementara laila hanya diam saja.
Tiba-tiba telpon selulerku berdecit di dalam saku abaya. Shit! Pasti Javed menghubungiku.  Aku merogoh saku abaya dan menghidupkan layar. Benar saja, nama ‘The Fucking idiot’ muncul di layarku. Aku menekan ikon gagang telpon merah, menolak untuk bicara. Sebagai gantinya aku mengiriminya pesan, ‘Aku pulang bersama Laila. Putar balik saja.’
Tak berapa lama, muncul balasan.
‘Kenapa kau tak bilang dulu. Setidaknya aku tidak perlu repot menyetir selama 40 menit lamanya.’
‘Bukan urusanku!’
Bersambung

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment