8 Dec 2019

Kenapa Kau Tak Menatapku?


“Bisakah saya bergabung menjadi member?” suara itu membuyarkan lamunan Jo. Dia tergerap dan kembali menegakan punggungnya dari sandaran kursi. Beberapa detik kemudian dia menyadari ada sosok lelaki yang berdiri di depan mejanya. Tubuhnya tinggi besar dengan rambut ikalnya yang diikat. Jo bisa menduga bahwa dia pria arab. Tapi Jo merasa heran Karena lelaki itu menundukan kepala dan tidak menatapnya sama sekali.

“Ya, tentu. Silakan isi dulu formulirnya.” Ujar Jocelyn. Mengangsurkan form isian yang selalu tersedia di kotak formulir untuk member baru.

Pria itu mengambil formulir yang diangsurkan dan mengisinya. Kemudian menyerahkannya kembali dengan wajah yang tertunduk. Meraih dompet dari saku tas kecilnya dan mengeluarkan 30 dollar untuk biaya registrasi awal, sebagaimana yang tercantum di dalam formulir.

“Terimakasih.” Ujar Jocelyn, menerima uang pendaftaran dan mengambil kembali formulir. Untuk setiap bulannya, anda hanya perlu membayar 10 dollar saja.” Terangnya kemudian.

Lelaki itu mengangguk dan berlalu dari hadapan Jocelyn. Lagi-lagi tanpa melihat dirinya. Jo merasa heran, tapi rasa heran itu kemudian menjelma menjadi pertanyaan demi pertanyaan. Yang Jo tahu, saling bersitatap satu sama lain adalah aturan dari kesopanan ketika dua orang berkomunikasi. Ya, setidaknya terkesan tidak sopan seandainya kamu bertemu dan berbicara dengan seseorang, sementara kau tidak menatap wajah yang mengajakmu bicara, begitulah kesimpulan Jo. Tapi bisa saja dia pria pemalu yang tidak memiliki kepercayaan diri, sisi hati yang lain menimpalinya.

Ah, apa peduliku. Lebih baik aku mengisi waktuku dengan mencoba melakukan exercise.

Jo bangkit dari kursi meja resepsionis untuk mencoba beberapa gerakan ringan. Keuntungan tersendiri bagi dirinya bekerja di gymnastic. Setidaknya, dia bisa mengikuti program diet dan penurunan berat badan tanpa perlu membayar sejumlah uang. Bahkan dia menerima uang hanya dengan modal duduk di atas meja sembari mengangsurkan formulir untuk anggota baru dan mencatat pemasukan dari para anggota yang rutin datang setiap hari. Meski ada juga yang datang sekali dalam sepekan. Jika tidak terlalu banyak tamu yang datang, Jo lebih leluasa untuk memanjakan dirinya dengan semua peralatan work out yang bisa dia coba.

Hm, ia melihat pria arab tadi sedang memulai exercisenya dengan menarik tali Rowing machine sehingga otot dada dan bisepnya tercetak dengan jelas di kaus hitamnya. Sementara keringat mulai berleleran di dahinya.

Jocyelin memilih untuk menggunakan chest press yang berada di seberang rowing machine yang dipakai pria tadi. Dia mulai duduk di atasnya dan menggenggam pegangan chest press. Tapi beberapa saat kemudian pria tadi meliriknya sekilas dan setelah itu pergi dari hadapannya. Meninggalkan rowing machine dan beralih mencoba treadmill dengan posisi membelakanginya.

Jo hanya mengangkat bahu dan melanjutkan aktivitasnya. Tapi diam-diam Jo berpikir bahwa pria itu seorang rasis atau mungkin membenci kulit putih atau…ah, Jo heran sendiri kenapa dia masih memikirkannya.

***

Hari berikutnya, lelaki bertampang arab itu kembali datang, lagi-lagi dengan tatapan yang tertunduk ke lantai. Seakan-akan dia menemukan ada sebongkah emas yang bertengger di atas sepatu sportnya.
“Hai, selamat pagi. Bagaimana kabarmu hari ini?” tanya Jo, berusaha untuk ramah dengan senyuman yang mengembang di bibirnya.

Lelaki itu hanya meliriknya sekilas dan tersenyum tipis, “Selamat pagi.” Balasnya pendek dan pelan. Kemudian setelah itu dia mulai menyibukan dirinya diantara peralatan workout.

Berhari-hari Jo menerima perilaku yang sama dari lelaki bertampang arab itu. Apa salahnya? Kenapa pria itu seakan-akan begitu jijik kepadanya. Atau bahkan mungkin lelaki itu takut kepadanya. Tapi bagaimana itu bisa terjadi.

Jo tidak habis pikir. Semua lelaki yang berkunjung ke gymnastic selalu bersikap ramah kepadanya. Bahkan banyak diantara mereka yang melontarkan berbagai macam joke dan menggodanya. Sesekali mereka mengobrol dengan Jo untuk melepas lelah sehabis menguras tenaga diantara treadmill dan angkat beban. Tapi pria itu, datang hanya meliriknya sekilas, dan pulang begitu saja, seakan-akan dirinya hanyalah patung pajangan yang ditempatkan di kursi resepsionis.

Karena tak tahan dengan kondisi seperti itu yang terus menerus, suatu hari Jo mendatangi lelaki itu, tepat ketika lelaki itu hendak pergi dengan menyampirkan tas kecilnya di bahu kanan.

“Bisakah kita mengobrol sebentar?” tanya Jo dengan perasaan was-was. Dia berharap lelaki itu tidak menolak permintaannya.

“Ya?” timpal lelaki itu dengan mimik yang bertanya-tanya.

Tiba-tiba saja Jo sulit untuk memulai pembicaraan, tenggorokannya tercekat dan bimbang, apakah dia harus mengatakannya? Tapi pada akhirnya dia memutuskan untuk bicara dengan jujur, “Kenapa kau tak pernah menatapku?”

“Maksudmu?” tanya pria itu. Kali ini dia menampakan gerak yang mengindikasikan kegelisahannya.
“Kenapa kamu selalu menundukan kepala dan tak pernah menatapku ketika aku bicara?” tanya Jo. Lihatlah, bahkan sekarang pun lelaki itu menunduk.

Lelaki itu menghela napas panjang, kemudian perlahan dia mengangkat tatapannya dan untuk pertama kalinya lelaki itu menatap mata Jo, “Karena kamu tidak layak aku lihat?”

“Kenapa?” ada nada tersinggung dari tanya yang dilontarkan Jo. Apakah dirinya sosok yang menjijikan sehingga lelaki itu memilih menatap lantai atau sepatunya daripada menatap dirinya.

“Jangan tersinggung.” Lelaki itu kembali menundukan kepala. “Aku tidak bermaksud menyinggungmu. Ini karena pakaianmu. Agamaku melarangku untuk melihat semua bagian tubuh wanita yang terbuka, selain yang pantas untuk dilihat. Dan pakaianmu aku pikir membuatku malu.”
Jo tersentak kaget. Dia mengalihkan tatapan matanya yang penuh rasa kaget ke tubuh langsingnya. Sebegitu parahnya lelaki itu menilai dirinya.

“Maafkan aku.” Ujar lelaki itu dan berlalu pergi.

Jo kembali mengamati dirinya. Kaus ketat yang dia kenakan memperlihatkan lekuk tubuh dan pusarnya. Dia juga memakai legging selutut berwarna hitam yang menempel di tubuhnya layaknya kulit kedua. Apakah ini parah? Setelah itu, Jo masih mengingat, tatapan-tatapan lapar dan antusias dari para lelaki pengunjung gymnastic. Menatap belahan dadanya, menatap bokongnya dan menjawil pipinya. Baru kali ini Jo merasa dirinya begitu murah dan tak memiliki harga diri. Bagaimana pun juga dia merasa berterimakasih kepada lelaki itu. Kemudian terbitlah tanya.

Siapa namanya?

Apa agamanya?



Terinspirasi video inspiratif berbahasa inggris di youtube

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment