“Bisakah saya
bergabung menjadi member?” suara itu membuyarkan lamunan Jo. Dia tergerap dan
kembali menegakan punggungnya dari sandaran kursi. Beberapa detik kemudian dia
menyadari ada sosok lelaki yang berdiri di depan mejanya. Tubuhnya tinggi besar
dengan rambut ikalnya yang diikat. Jo bisa menduga bahwa dia pria arab. Tapi Jo
merasa heran Karena lelaki itu menundukan kepala dan tidak menatapnya sama
sekali.
“Ya, tentu. Silakan isi dulu formulirnya.” Ujar Jocelyn.
Mengangsurkan form isian yang selalu tersedia di kotak formulir untuk member
baru.
Pria itu mengambil formulir yang diangsurkan dan mengisinya.
Kemudian menyerahkannya kembali dengan wajah yang tertunduk. Meraih dompet dari
saku tas kecilnya dan mengeluarkan 30 dollar untuk biaya registrasi awal,
sebagaimana yang tercantum di dalam formulir.
“Terimakasih.” Ujar Jocelyn, menerima uang pendaftaran dan
mengambil kembali formulir. Untuk setiap bulannya, anda hanya perlu membayar 10
dollar saja.” Terangnya kemudian.
Lelaki itu mengangguk dan berlalu dari hadapan Jocelyn.
Lagi-lagi tanpa melihat dirinya. Jo merasa heran, tapi rasa heran itu kemudian
menjelma menjadi pertanyaan demi pertanyaan. Yang Jo tahu, saling bersitatap
satu sama lain adalah aturan dari kesopanan ketika dua orang berkomunikasi. Ya,
setidaknya terkesan tidak sopan seandainya kamu bertemu dan berbicara dengan
seseorang, sementara kau tidak menatap wajah yang mengajakmu bicara, begitulah
kesimpulan Jo. Tapi bisa saja dia pria pemalu yang tidak memiliki kepercayaan
diri, sisi hati yang lain menimpalinya.
Ah, apa peduliku. Lebih baik aku mengisi waktuku dengan
mencoba melakukan exercise.
Jo bangkit dari kursi meja resepsionis untuk mencoba
beberapa gerakan ringan. Keuntungan tersendiri bagi dirinya bekerja di
gymnastic. Setidaknya, dia bisa mengikuti program diet dan penurunan berat
badan tanpa perlu membayar sejumlah uang. Bahkan dia menerima uang hanya dengan
modal duduk di atas meja sembari mengangsurkan formulir untuk anggota baru dan
mencatat pemasukan dari para anggota yang rutin datang setiap hari. Meski ada
juga yang datang sekali dalam sepekan. Jika tidak terlalu banyak tamu yang
datang, Jo lebih leluasa untuk memanjakan dirinya dengan semua peralatan work
out yang bisa dia coba.
Hm, ia melihat pria arab tadi sedang memulai exercisenya
dengan menarik tali Rowing machine sehingga otot dada dan bisepnya tercetak
dengan jelas di kaus hitamnya. Sementara keringat mulai berleleran di dahinya.
Jocyelin memilih untuk menggunakan chest press yang berada di
seberang rowing machine yang dipakai pria tadi. Dia mulai duduk di atasnya dan
menggenggam pegangan chest press. Tapi beberapa saat kemudian pria tadi
meliriknya sekilas dan setelah itu pergi dari hadapannya. Meninggalkan rowing
machine dan beralih mencoba treadmill dengan posisi membelakanginya.
Jo hanya mengangkat bahu dan melanjutkan aktivitasnya. Tapi
diam-diam Jo berpikir bahwa pria itu seorang rasis atau mungkin membenci kulit
putih atau…ah, Jo heran sendiri kenapa dia masih memikirkannya.
***
Hari berikutnya, lelaki bertampang arab itu kembali datang, lagi-lagi
dengan tatapan yang tertunduk ke lantai. Seakan-akan dia menemukan ada
sebongkah emas yang bertengger di atas sepatu sportnya.
“Hai, selamat pagi. Bagaimana kabarmu hari ini?” tanya Jo,
berusaha untuk ramah dengan senyuman yang mengembang di bibirnya.
Lelaki itu hanya meliriknya sekilas dan tersenyum tipis, “Selamat
pagi.” Balasnya pendek dan pelan. Kemudian setelah itu dia mulai menyibukan
dirinya diantara peralatan workout.
Berhari-hari Jo menerima perilaku yang sama dari lelaki
bertampang arab itu. Apa salahnya? Kenapa pria itu seakan-akan begitu jijik
kepadanya. Atau bahkan mungkin lelaki itu takut kepadanya. Tapi bagaimana itu
bisa terjadi.
Jo tidak habis pikir. Semua lelaki yang berkunjung ke
gymnastic selalu bersikap ramah kepadanya. Bahkan banyak diantara mereka yang
melontarkan berbagai macam joke dan menggodanya. Sesekali mereka mengobrol
dengan Jo untuk melepas lelah sehabis menguras tenaga diantara treadmill dan
angkat beban. Tapi pria itu, datang hanya meliriknya sekilas, dan pulang begitu
saja, seakan-akan dirinya hanyalah patung pajangan yang ditempatkan di kursi
resepsionis.
Karena tak tahan dengan kondisi seperti itu yang terus
menerus, suatu hari Jo mendatangi lelaki itu, tepat ketika lelaki itu hendak
pergi dengan menyampirkan tas kecilnya di bahu kanan.
“Bisakah kita mengobrol sebentar?” tanya Jo dengan perasaan
was-was. Dia berharap lelaki itu tidak menolak permintaannya.
“Ya?” timpal lelaki itu dengan mimik yang bertanya-tanya.
Tiba-tiba saja Jo sulit untuk memulai pembicaraan,
tenggorokannya tercekat dan bimbang, apakah dia harus mengatakannya? Tapi pada
akhirnya dia memutuskan untuk bicara dengan jujur, “Kenapa kau tak pernah
menatapku?”
“Maksudmu?” tanya pria itu. Kali ini dia menampakan gerak
yang mengindikasikan kegelisahannya.
“Kenapa kamu selalu menundukan kepala dan tak pernah
menatapku ketika aku bicara?” tanya Jo. Lihatlah, bahkan sekarang pun lelaki
itu menunduk.
Lelaki itu menghela napas panjang, kemudian perlahan dia
mengangkat tatapannya dan untuk pertama kalinya lelaki itu menatap mata Jo, “Karena
kamu tidak layak aku lihat?”
“Kenapa?” ada nada tersinggung dari tanya yang dilontarkan
Jo. Apakah dirinya sosok yang menjijikan sehingga lelaki itu memilih menatap
lantai atau sepatunya daripada menatap dirinya.
“Jangan tersinggung.” Lelaki itu kembali menundukan kepala. “Aku
tidak bermaksud menyinggungmu. Ini karena pakaianmu. Agamaku melarangku untuk
melihat semua bagian tubuh wanita yang terbuka, selain yang pantas untuk
dilihat. Dan pakaianmu aku pikir membuatku malu.”
Jo tersentak kaget. Dia mengalihkan tatapan matanya yang
penuh rasa kaget ke tubuh langsingnya. Sebegitu parahnya lelaki itu menilai
dirinya.
“Maafkan aku.” Ujar lelaki itu dan berlalu pergi.
Jo kembali mengamati dirinya. Kaus ketat yang dia kenakan
memperlihatkan lekuk tubuh dan pusarnya. Dia juga memakai legging selutut
berwarna hitam yang menempel di tubuhnya layaknya kulit kedua. Apakah ini
parah? Setelah itu, Jo masih mengingat, tatapan-tatapan lapar dan antusias dari
para lelaki pengunjung gymnastic. Menatap belahan dadanya, menatap bokongnya
dan menjawil pipinya. Baru kali ini Jo merasa dirinya begitu murah dan tak
memiliki harga diri. Bagaimana pun juga dia merasa berterimakasih kepada lelaki
itu. Kemudian terbitlah tanya.
Siapa namanya?
Apa agamanya?
Terinspirasi video inspiratif berbahasa inggris di youtube
No comments:
Post a Comment