14 May 2019

Tampakan Wajah yang Bahagia, Meski Hatimu Didera Derita


“Bagaimana kabarmu?”

“Alhamdulillah, aku baik-baik saja.”

Kurang lebih seperti itulah yang menjadi awal percakapan dua sahabat yang sudah lama tidak berjumpa. Atau ketika sesama anggota keluarga yang berjauhan  saling bertanya kabar satu sama lain. 

Yang akan saya bahas disini bukan pentingnya menyapa dan menanyakan kabar kepada sahabat kita yang jauh atau pentingnya komunikasi ketika menjalani LDR. Yang saya akan bahas disini adalah tentang ‘kebohongan’ yang kita buat ketika kita ditanya tentang kabar kita.

Benarkah kita baik-baik saja? Benarkah kita sedang dalam keadaan bahagia. Saya yakin betapa banyak diantara kita yang memendam masalah dan banyak menghadapi problem dalam hidupnya, tapi dia tidak akan mengatakan itu kepada orang lain. Baiklah, mungkin kita sering merasakan kebahagiaan dan kesenangan. Tapi ketika dilanda masalah, kita semua tahu bahwa tidak layak kita menyatakan semua  itu kepada orang-orang yang menayakan kabar kita. Mungkin hanya orang-orang tertentu yang kita percayai yang tahu permasalahan kita.

Apa sebabnya hal ini bisa terjadi? Ini semua terjadi karena kita tidak ingin orang-orang mengasihani kita. Kita merasa bahwa ketika orang-orang mengasihani kita seakan satu bagian harga diri kita telah hilang. Yah, meskipun ada orang yang mengharap belas kasihan orang lain dan tidak sungkan menumpahkan unek-unek dan keluh kesahnya kepada semua orang. Tapi pada umumnya orang tidak akan pernah sembarangan berbagi dukanya kepada orang lain. 

Oleh karena itulah saya terkadang merasa risih ketika bertemu seseorang yang menceritakan kesengsaraannya kepada saya. Mungkin tidak mengapa jika hal itu terjadi dalam rangka konsultasi atau untuk mendapatkan pencerahan. Tapi itu tidak wajar ketika setiap bertemu dia menceritakan penderitaanya dengan mimik menyedihkan. Kemudian setelah itu dia berkeluh kesah dengan putus asa.

Di era media sosial seperti sekarang ini pun kita sering menemukan orang seperti itu. Betapa media sosial mereka telah mengambil alih fungsi buku jurnal/diari. Mereka bebas berkeluh kesah di media sosial dengan emoticon yang menyedihkan. Kemudian orang-orang ramai bekomentar mengumbar simpati.

Tapi apa yang dia dapatkan?

Orang-orang mungkin bersimpati, tapi apa hasilnya? Apakah dia bisa terbebas dari rasa sedih dan masalahnya? oleh karena itu, tahanlah diri kita dari keluh kesah yang tidak berkesudahan. Jangan bagi kisah pedih kita kepada semua orang, kecuali kepada orang-orang tertentu yang kita percayai. Mungkin kita menceritakan kepedihan kita untuk meminta solusi atau mungkin dia orang kepercayaan kita sebagai tempat menumpahkan keluh kesah disamping berkeluh kesah dan meminta kepada Allah subhanahu wata'ala. Itu tidak masalah.

Pola Pikir Bahagia

Kepedihan dan kesedihan itu datang karena  terkadang kita mengundangnya untuk datang. Masalah itu ada terkadang karena kita mengundangnya dalam kehidupan kita. 

Misal, kita terlilit utang yang begitu besar. Ternyata utang tersebut bersumber dari pinjaman berbunga yang nilainya selalu naik setiap bulan sepanjang kita tidak mampu membayarnya. Ini masalah besar. Dan masalah ini timbul karena kita telah memilih jalan riba. Bukankah Allah subhanahu wata'ala sudah memperingatkan bahaya riba?

Kita merasa sedih dan hancur ketika kita putus dengan pacar kita. Dia pergi dengan lelaki lain dan meninggalkan kita sendiri. Kemudian kita berkata, “Ya Allah, kenapa hal ini bisa terjadi dalam hidupku?” Tidakkah kita ingat bagaimana kita diperingatkan tentang bahaya zina dan haramnya pacaran. Kemudian kita abai dan menutup telinga kita dari  peringatan tersebut bahkan pura-pura tidak tahu. Tapi ketika giliran patah hati kita bertanya tentang penderitaan kita kepada Allah subhanahu wata'ala. Sungguh lucu.

“Dan segala musibah yang menimpa kalian adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian. Dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan kalian)” (QS. Asy-Syuuraa: 30).

Al-Baghawi di dalam tafsirnya mengatakan bahwa tidak ada satupun musibah yang menimpa seorang hamba, demikian pula musibah yang lebih besar (dan luas) darinya, kecuali karena sebab dosa yang Allah mengampuninya hanya dengan (cara menimpakan) musibah tersebut (kepadanya) atau  Allah hendak mengangkat derajatnya (kepada suatu derajat kemuliaan) hanya dengan (cara menimpakan) musibah tersebut (kepadanya)” (Tafsir Al-Baghawi: 4/85)

Ketika masalah itu datang menghampiri hidup kita, maka yang harus pertama kali kita lakukan adalah intropeksi. Barangkali masalah itu timbul karena dosa atau kemaksiatan yang telah kita lakukan kepada Allah subhanahu wata'ala. Terkadang, masalah itu datang bukan hanya sebatas ujian dari Allah subhanahu wata'ala untuk menguji keimanan kita, tapi dia datang untuk memperingatkan kita agar segera kembali ke jalur yang benar. Supaya kita sadar dari dosa-dosa kita dan menyadari kekeliruan yang telah kita perbuat. Bukan hanya sebatas peringatan, musibah dan penderitaan tersebut sebagai cara yang Allah subhanahu wata'ala lakukan untuk menghapus dosa-dosa kita


Berpikir Bahagia

William Shakespeare berkata, "Tidak ada yang baik atau buruk, tetapi berpikir membuatnya demikian."
Udara yang dingin dan hujan yang disertai badai ribut bukankah cuaca yang buruk. karena terkadang pelaut terampil pun bisa menaklukan hujan badai di tengah samudera. Baik dan buruk itu tergantung bagaimana reaksi kita terhadap satu kondisi yang tengah kita hadapi. Bagaimana cara kita menafsirkan masalah adalah kunci dari kesimpulan baik dan buruknya sesuatu.

Ketika mindset kita selalu terkondisikan dalam pola pikir yang negatif, maka itu artinya kita akan sering mengalami penderitaan dan menganggap bahwa hidup kita tidak akan pernah memiliki jeda dalam menghadapi masalah. Ketika kita selalu berpikir positif, masalah sebanyak apa pun akan dipandang ringan dan bahkan ada beberapa masalah yang justru dia anggap sebagai anugerah dari Allah subhanahu wata'ala.

Pernah ada seorang sahabat yang mengeluh kepada saya tentang kehidupannya yang dia katakan penuh penderitaan. Dia merasa lelah dengan kesibukannya di tempat kerja. Meskipun gajinya besar, tapi dia merasa tidak puas. Disamping itu, dia  tidak menemukan jalan keluar, tidak ada pekerjaan lain yang dia dapatkan. Mana mungkin dia resign tanpa pernah tahu hendak kemana dia melabuhkan kehidupan setelah itu. Kemudian saya berkata kepadanya, ‘Harusnya kamu bersyukur lho. Betapa banyak orang yang menginginkan posisi yang sedang kamu miliki saat ini. Banyak orang yang depresi karena tidak kunjung mendapatkan pekerjaan yang menegakan muka mereka. Sehingga mereka harus menganggur dengan pandangan sinis dari keluarganya. Jalani dan nikmati saja dulu, dan mintalah kebaikan dari Allah subhanahu wata'ala.”

Belajar dari Masalah 

Sejak SMA saya sangat suka mempelajari ilmu psikologi. Bagi saya, suatu hal yang menarik ketika kita tidak hanya membaca dalam bentuk tulisan literasi, tapi kita juga membaca manusia. Membaca karakter, sifat dan kecenderungan mereka. Meskipun pada akhirnya saya tidak mengambil kuliah jurusan psikologi, paling tidak saya mendapatkan banyak ilmu dan wawasan dari buku psikologi yang saya baca. Lebih dari pada itu, tidak menutup kemungkinan saya membutuhkan wawasan ilmu psikologi, toh saya juga kuliah di jurusan tarbiyah yang salah satu mata pelajarannya adalah psikologi pendidikan.

Ketika saya mempelajari psikologi, maka disana saya bukan hanya membaca orang lain, tapi juga membaca diri sendiri dan belajar bagaimana mematangkan jiwa saya. Saya juga semakin sadar bagaimana orang lain melihat saya dan apa yang mereka harapkan dari saya.

Alasan saya menyukai bidang ilmu psikologi adalah karena terkadang saya menjadi keranjang curhat teman-teman saya ketika duduk di bangku SMP dan SMA. Entahlah, mereka begitu rela dan percaya menitipkan unek-unek mereka kepada saya. Saya seakan menjadi konsultan bagi mereka. Pada saat itu saya merasa bahagia bisa menjadi bagian dari kehidupan mereka. Menjadi bagian dari masalah dan keluhan mereka. Nasihat yang saya berikan kepada mereka pun bisa menjadi pengalaman dan pelajaran bagi diri saya sendiri. Mungkin saat itu saya ditakdirkan untuk bersama orang-orang yang berbagi kehidupan mereka dengan saya. Bahkan terkadang dari apa yang mereka tuturkan menginspirasi saya untuk menulis cerpen.

Dari kisah demi kisah yang saya dengar dari mereka, pada akhirnya saya sadar bahwa tidak ada manusia yang tidak lepas dari masalah. Tidak ada orang yang sepi dari halang rintang sepanjang hidupnya. Karena itulah hakikat kehidupan yang sebenarnya. Jika tidak ingin menghadapi masalah maka itu artinya kita tidak memiliki keberanian untuk hidup. Menjalani hidup membutuhkan keberanian, tekad yang kuat dan kesabaran yang panjang dan berkesinambungan.

Cobalah kita perhatikan bagaimana monitor pasien ICU di rumah sakit. Disana kita melihat gelombang hijau yang menjadi penanda kehidupan seseorang. Gelombang hijau naik dan turun sebagai tanda bahwa masih ada detak jantung sebagai penanda kehidupan si pasien. Tapi ketika gelombang hijau itu lurus, tidak naik dan turun, itu artinya kehidupan telah lenyap.

Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari sini? Kita menjadi sadar bahwa hidup itu selalu bergelombang, naik dan turun secara berkesinambungan. Hidup selalu penuh dengan dinamika dan berputar terus menerus. Ketika kehidupan kita sepi dari masalah dan segala dinamikanya, maka itu artinya kita telah mati. Kita akan istirahat dari masalah ketika hayat sudah tidak lagi dikandung badan. Maka, bersabarlah dalam menghadapi setiap permasalahn dalam kehidupan kita. 

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment