14 May 2019
Psikologi Kebahagiaan
May 14, 2019Ketika saya masih kecil, saya berpikir bahwa saya akan bahagia ketika bisa duduk di bangku sekolah dan memakai seragam sekolah layaknya kakak saya. Saya melihat kakak saya yang semangat mengerjakan PR dan mengulang pelajaran di rumah.
Hingga pada waktunya, masa untuk masuk sekolah telah tiba dan saya merasakan bagaimana kehidupan di sekolah yang sesungguhnya. saya merasa semangat menjalaninya. Tapi pada akhirnya, saya merasa tertekan ketika harus menghadapi pelajaran yang paling saya benci, terutama ketika saya mulai masuk bangku SMP. Saya juga tidak menyukai beberapa guru yang terkesan killer. Waktu itu, saya tidak menyukai bidang pelajaran eksakta yang berkutat pada hitung-menghitung. Kemudian saya mulai merasa kehilangan semangat saya yang dulu menggebu.
Setelah lulus dari bangku SMP saya mulai tertarik dengan dunia pesantren. Beberapa kakak saya ada yang jebolan pesantren dan mereka mengatakan bahwa mondok itu sangat menyenangkan dan mengesankan. Tentu saja saya merasa terbius oleh apa yang mereka katakan. Benarkah mondok itu menyenangkan? Oleh karena itu, tanpa pikir panjang lagi saya mengatakan kepada orang tua saya bahwa saya ingin mondok. Maka pesantren Asy-Syifa padaherang menjadi pilihan saya.
Tapi ternyata semua tidak sesuai dengan ekspektasi. Saya berpikir pesantren adalah pilihan yang salah bagi pendidikan dan masa depan saya. Saya tertekan karena berbagai aturan yang mengikat lengkap dengan hukuman bagi para santri yang melanggar. Ditambah dengan pelajaran-pelajaran kurikulum pesantren yang bejibun. Tapi mau tidak mau saya harus menjalaninya dengan sabar dan mencoba mengikhlaskan diri.
Setelah lulus dari pendidikan pesantren, saya mulai bekerja di sebuah yayasan Yatim sebagai seorang fundrising. Tugas saya waktu itu adalah menjaring donatur sebanyak-banyaknya untuk membiayai operasional dan pendidikan anak asuh yatim di yayasan tempat saya bekerja. Saya sebagai seorang introvert merasa kurang nyaman berinteraksi dengan orang banyak dan orang baru. Sehingga disitu saya berpikir bahwa saya tidak akan pernah menikmati pekerjaan saya. Saya merasa saya telah salah dalam memilih tempat kerja. Well, sebenarnya itu bukan pilihan, tapi lebih tepatnya keharusan sebagai bentuk pengabdian. Saya harus bekerja di yayasan tersebut sebagai bentuk pengabdian dari pendidikan pesantren yang saya tempuh sebelumnya.
Singkat cerita, masa pengabdian saya habis dan saya mendapatkan beasiswa dari STAI Al-hidayah Bogor dalam program beasiswa dai. Saya mencoba menempuh pendidikan S1 Jurusan Tarbiyah meski saya sendiri kurang tertarik untuk mengambil jurusan ini. Jauh-jauh hari saya berharap bisa kuliah di jurusan sastra atau paling tidak sejarah. Mengingat betapa ketika duduk di bangku sekolah menengah saya sangat menyukai bidang study bahasa dan sejarah. Tapi apa daya, saya tidak memiliki info yang cukup memadai untuk memburu beasiswa di universitas umum. Pun pesantren tempat saya belajar juga tidak memberikan informasi, arahan dan bimbingan untuk siswa yang hendak lulus.
Di pertengahan jalan saya merasa jenuh dan ogah-ogahan. Tapi sebagaimana pepatah nasi sudah menjadi bubur, apa boleh buat. Motivator mengatakan walaupun nasi sudah menjadi bubur, paling tidak bisa menjadi bubur ayam yang lezat. Tinggal ditambahkan kacang, ayam cincang dan kecap serta bumbu lainnya, maka nasi yang sudah menjadi bubur tidak lagi perlu disesali. Maka saya berusaha untuk sabar dan menikmati kuliah ‘salah jurusan’ hingga semester akhir.
Ketika kuliah inilah saya dituntut untuk bekerja di yayasan yang berafiliasi dengan kampus. Pada saat itu saya bekerja di yayasan CRB (Cinta Remaja Bangsa) dan Rupsi (Rumah produksi Islami) yang menyediakan konten-koten audio islami untuk radio-radio islam.
Di yayasan tersebut saya bekerja sebagai tim penulis naskah. Saya sedikit terhibur bahwa disini saya bisa mengaktualisasikan diri saya sebagaimana yang saya inginkan selama ini. Yakni berkiprah di dunia literasi. Selama ini saya begitu antusias dalam aktifitas tulis menulis. Entah sudah berapa puluh naskah saya kirimkan ke media, baik media online ataupun media cetak. Saya berharap dengan bergabungnya saya di Rupsi sebagai penulis naskah bisa menghibur hati saya. Tapi ternyata kepuasan belum bersemayam di dalam hati saya. Berbeda rasanya antara menulis sesuatu yang sesuai dengan passion dengan menulis sesuatu Karena pesanan dengan aturan-aturan ketat yang harus saya taati.
Pada titik ini saya menyadari bahwa kehidupan itu tidak akan pernah menawarkan kepuasan untuk mereka yang mengejar kepuasan. Selamanya manusia tidak akan pernah puas dan tidak akan pernah terpenuhi apa yang dia harapkan. Manusia cenderung memiliki harapan. Satu harapan tercapai, maka harapan yang baru akan langsung menggantikan posisi di hatinya.
Dari sini saya belajar bahwa saya harus bersyukur dengan apa yang saya dapatkan.
Masyarakat kita cenderung menilai bahwa seolah-olah kebahagiaan itu adalah pengejaran terhadap kepuasan dalam menjalani hidup. Dan ketika dia merasakan kepedihan dan ketidaknyamanan, maka itu artinya dia gagal dalam mencapai tujuan hidup. Ironi tersebut akan menciptakan ketidakbahagiaan yang berkesinambungan, perasaan tidak mampu, perasaan lemah dan tidak berdaya serta anggapan bahwa masa depannya suram dan tidak aman. Pada akhirnya dia akan terserang depresi dan stress. Hidupnya selalu tertekan dan jiwanya kosong dari ketenangan. Ending dari semua itu, dia akan terpuruk dengan mental yang lemah serta bibir yang selalu mengeluh, ‘Kenapa hidupku selalu seperti ini?”
Spiritualitas
Theresa Corbin dalam artikelnya berjudul ‘The Psycology of Happines’ menyatakan bahwa para psikolog telah menemukan fakta bahwa orang yang kehidupannya lebih religius dan memiliki nilai iman yang kuat memiliki kehidupan yang lebih bahagia dibanding yang lainnya. Orang yang memiliki keyakinan kuat terhadap eksistensi Tuhan memiliki sisi kebahagiaan yang tidak dimiliki mereka yang rohaninya lemah atau tidak percaya Tuhan sama sekali.
Mereka yang memiliki sisi religius dalam hidupnya bisa memiliki usia yang lebih panjang, memiliki resiko depresi dan bunuh diri yang rendah serta lebih tangguh. Selain itu, masih menurut Theresa Corbin, orang yang memiliki nilai iman cenderung memiliki hubungan yang erat dengan orang di sekitarnya, lebih setia terhadap pasangan, dan keluarga yang bahagia.
Jadi, jika kita mengharapkan kebahagiaan, maka perbaharuilah nilai iman dan ketakwaan kita. Barangkali kita jauh dari rasa puas dan ketentraman karena kita telah menjauh dari Allah subhanahu wata'ala. Barangkali kita sering merasa depresi dan stres karena kita melupakan Allah subhanahu wata'ala dalam aktifitas harian kita. Barangkali kita sering dirundung sedih karena kita sudah menjauh dari Allah subhanahu wata'ala. Perlahan tapi pasti kita telah kehilangan eksistensi Allah subhanahu wata'ala di hati kita.
Doa
Mari kita tanya diri kita masing-masing, kapan terakhir kali kita mengangkat tangan untuk berdoa? Betapa ada orang yang tidak pernah mengangkat tangannya untuk berdoa kepada Allah subhanahu wata'ala. Betapa banyak orang yang melupakan Allah subhanahu wata'ala ditengah-tengah kesengsaraan dan kegersangan jiwa yang dia derita.
Doa adalah sebagai kekuatan tak nampak yang akan membawa kita pada keadaan yang jauh dari kekhawatiran dan ketakutan. Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena dia menyandarkan dirinya kepada Allah swt sebagai Sang Pengatur makhluk-Nya. Kita tidak lagi khawatir karena telah meminta kepada-Nya kebaikan untuk diri kita.
Mari kita simak sebuah hadits yang mengindikasikan betapa pentingnya doa dalam keadaan apa pun,
“Hendaklah setiap kalian meminta kepada Rabbnya semua kebutuhan, sampai-sampai ketika tali sandalnya lepas.” (HR. Tirmidzi)
Ketika kita berdoa maka kita harus yakin bahwa doa kita pasti bermanfaat untuk kita. Tidak ada doa yang tidak bermanfaat untuk mereka yang memanjatkannya. Mungkin secara kasat mata, doa kita tidak dikabulkan, tapi boleh jadi Allah swt mengabulkannya dalam bentuk lain. Mungkin doa kita belum dikabulkan dan Allah swt sedang menunggu masa yang tepat untuk mengabulkannya. Mungkin Dia akan memberikan kejutan pada kita di waktu yang tidak pernah kita sebelumnya. Mungkin doa kita tidak dikabulkan, tapi Allah swt menyimpan pahala untuk kita sehingga kita panen pahala kesabaran di akhirat kelak. Mungkin Allah swt tidak mengabulkan doa kita, tapi ternyata Allah swt menghindarkan kita dari musibah tersebab doa yang kita panjatkan.
Sadarkah kita bahwa Allah swt Malu jika ada seorang hamba berdoa, kemudian hamba tersebut menurunkan tangannya dalam keadaan hampa.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Sungguh Allah malu untuk mengembalikan tangan yang dipanjatkan kepadanya dalam kondisi kosong”. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi dan beliau hasankan)
Semoga Allah swt memberi taufik kepada kita untuk tidak bosan memanjatkan doa, meminta dan menghiba kepada-Nya. Jika kita malas untuk melakukannya, lalu kepada siapa lagi kita layak meminta?
Shalat
Kapan terakhir kali kita melaksanakan shalat? Yang saya tanyakan disini bukan shalat fardhu lima waktu dalam sehari. Karena bagaimana pun juga, tanpa ditanyakan pun, eksistensi shalat fardhu adalah satu hal yang pasti dalam kehidupan kita sebagai seorang muslim. Mereka yang mengaku muslim, tapi ternyata tidak mengerjakan shalat, atau bahkan shalat fardhunya bolong-bolong, maka perlu dipertanyakan keimanannya.
Yang saya tanyakan adalah tentang shalat tahajud, dhuha atau shalat-shalat sunnah lainnya. Kapan terakhir kali kita sujud di sepertiga malam terakhir? Kapan kita terakhir kali sujud ketika matahari sepenggalah naik? Berapa kali kita mendirikan shalat sunnah rawatib dalam sehari? Jika jawaban yang kamu berikan adalah gelengan kepala, atau bahkan tidak ingat kapan terakhir kali mendirikan shalat tahajud atau shalat dhuha saking sudah lama tidak melaksanakannya, maka sekarang adalah waktu yang tepat untuk memperbaharui hubunganmu dengan Allah subhanahu wata'ala.
Peduli Terhadap Sesama
Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allâh melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan (dalam masalah hutang), maka Allâh Azza wa Jalla memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allâh akan menutup (aib)nya di dunia dan akhirat. Allâh senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya. (HR. Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud)
Sebagai seorang muslim, maka kita harus meyakini bahwa jika kita ingin kebaikan untuk diri kita sendiri, maka pertama-tama kita harus berpikir tentang berbuat baik untuk orang lain.
Ada banyak kebahagiaan yang akan kita dapatkan ketika kita bisa berbagi dan menunjukan kepedulian kepada sesama. Akan ada kesenangan dan kegembiraan yang kentara ketika kita bisa membangun komunitas yang memberikan nilai yang positif kepada sesama. Memberikan kebahagiaan kepada orang-orang yang kurang beruntung daripada kita dan mengangkat penderitaan dan kesusahan yang mereka tanggung. Memberi membuat kita menyadari betapa kita lebih beruntung dari mereka. Bahkan dengan memberi membuat kita memiliki rasa percaya diri yang tinggi.
Jika selama ini kita focus hanya untuk mendapatkan kepuasan bagi diri sendiri, maka sekaranglah saatnya untuk mengubah titik focus kita untuk bisa membahagiakan orang lain. Ketika kita bisa membuat orang lain senang dengan aksi kita, maka disitulah kita menemukan apa yang kita harapkan; kebahagiaan dan kepuasan.
Memberi lebih baik Daripada Menerima
Richard Ryan, seorang psikolog di University of Rochester mengatakan bahwa banyak diantara kita yang berpikir bahwa kebahagiaan akan muncul dalam hidup kita ketika kita mendapatkan sesuatu untuk diri kita. Tapi ternyata justru memberi akan memunculkan rasa bahagia dan kepuasan tersendiri. Semakin banyak kita memberi, maka semakin banyak kebahagiaan yang akan mendatangi kehidupan kita.
Saya rasa konsep ini seharusnya menjadi pegangan setiap individu muslim dalam kehidupan mereka. Bahkan harus menjadikan konsep ini sebagai visi dan misi dalam kehidupannya. Dia tidak hanya berpikir tentang mendapatkan posisi dalam pekerjaan yang baik, mendapatkan gaji bulanan yang cukup bahkan lebih dan mendapatkan pasangan hidup yang sepadan. Tapi dia juga harus berpikir tentang berbagi. Bagaimana dia harus memiliki target apa yang akan dia berikan kepada orang lain di pekan ini, bulan ini, tahun ini bahkan sepanjang kehidupan kita.
Tidak Melulu Tentang Harta
Berikan apa yang akan membuat orang lain bahagia. Jika kita tidak memiliki harta atau uang yang bisa kita sumbangkan, setidaknya kita masih memiliki kaki untuk kita langkahkan ketika membantu mereka yang membutuhkan. Kita masih memiliki kedua tangan yang siap memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan tangan kita. Kita memiliki bibir yang bisa menyunggingkan senyuman untuk mereka yang sedih dan muram. Kita masih memiliki lidah yang bisa kita gunakan untuk menyapa, berbasa-basi dan memberi salam kepada orang-orang di sekitar kita, sehingga mereka merasa nyaman dengan kehadiran kita.
Saya pun merasakan betapa besar efek salam dan sapa yang saya coba terapkan. Jujur, saya lahir sebagai seorang yang pemalu dan pendiam. Saya tidak berani mengangkat muka saya ketika saya berpapasan dengan orang lain, terlebih mereka yang baru saya kenal. Saya tidak mampu menyapa dan memberi salam kepada mereka yang saya temui atau saya berpapasan dengan mereka. Bibir saya kelu.
Waktu itu saya berpikir bahwa sifat pemalu yang melekat di dalam diri saya adalah sifat bawaan yang tidak bisa diubah. Saya berlindung dalam sebuah alasan yang terkesan bisa diterima, bahwa saya seorang introvert yang tidak bisa menjadi seorang ekstrovert yang selalu energik dan pandai bergaul. Padahal, sifat introvert sendiri tidak melulu tentang pemalu dan menarik diri dari kehidupan sosial. Mungkin betul seorang introvers merasa nyaman ketika dirinya sendiri, tapi bukan berarti dia harus dann menjadi seorang yang antisosial secara penuh.
Guru saya pernah memberikan nasihatnya yang berharga kepada saya bahwa saya bisa melawan dan mengubah kelemahan saya. Saya bisa mengubah apa yang selama ini membuat saya tertekan. Perlu diketahui, sifat pemalu terkadang membuat saya tertekan. Kenapa saya tidak bisa menikmati hang out dengan teman-teman saya? Kenapa saya begitu susah untuk beradaptasi dengan orang-orang baru yang ada di sekitar kita? Dan lontarann-lontaran pertanyaan lainnya yang memenuhi benak saya.
Hingga pada akhirnya, perlahan tapi pasti saya mencoba untuk mengamalkan apa yang dinasihatkan guru saya. Saya mulai mencoba mengangkat muka dan tersenyum kepada mereka yang saya temui. Dan itu ternyata bukan hal yang mudah. Pada awalnya saya harus melawan rasa sungkan, kikuk, dan malu. Tapi lambat tapi pasti rasa itu hilang dan tak berbekas. Saya mulai mencoba menyapa dan memberi salam kepada siapa pun yang saya temui dan sekarang saya meyakini itu bukan hal yang sulit. Apa susahnya menyapa dan memberi salam? Tidak membutuhkan biaya dan tenaga. Apa susahnya tersenyum? Apa susahnya menampakan wajah yang cerah dan energik?
Selain mudah, ternyata memberi senyuman kepada orang-orang yang kita temui dipandang sebagai sedekah. Jika begitu adanya, betapa mudahnya kita bersedekah. Setiap kali kita melempar senyuman, maka disana kita sedang bersedekah. Tentunya ini bukan berarti menihilkan nilai sedekah harta. Karena ada keistimewaan dan keutamaan tersendiri terkait sedekah harta.
Mari kita simak bagaimana Rasulullah saw menyampaikan kepada kita nilai senyuman yang dianggap sebagai sedekah.
“Senyummu terhadap wajah saudaramu adalah sedekah.” (HR. Tirmidzi)
Tentang keutamaan salam, disebutkan bahwa suatu hari ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah saw, “Amalan islam apa yang paling baik?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Memberi makan (kepada orang yang butuh) dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenali dan kepada orang yang tidak engkau kenali. ” (HR. Bukhari)
Berjuang Melawan Keinginan
Tidak semua yang kita inginkan bisa dan akan terpenuhi. Terkadang ada beberapa keinginan dan harapan yang tidak bisa kita gapai. Ada mimpi yang tidak bisa menjadi kenyataan karena beberapa atau satu hal. yang harus kita lakukan hanyalah berdoa, berikhtiar serta selalu berpikir positif kepada Allah subhanahu wata'ala sebagai Sang Hakim kehidupan.
Tidak semua yang kita inginkan itu baik bagi kita. Terkadang nafsu selalu menawarkan kepada kita kenikmatan dan kebahagiaan semu yang menipu. Kita terbius oleh gemerlap dunia, sehingga kita melupakan akhirat. Terkadang yang masih abu-abu dan meragukan selalu menggoda naluri dibanding suatu yang sudah jelas hukumnya di dalam syara’. Bahkan hal yang haram sekalipun selalu diterjang dengan alasan menggapai kesenanangan dan kebahagiaan.
Maka tak heran jika Rasulullah saw menyatakan bahwa jihad terbesar adalah jihad melawan hawa nafsu. Karena memang hawa nafsu itu begitu kuat pengaruhnya terhadap jiwa yang lemah dan labil imannya. Dengan bisikan dari setan yang menunggangi nafsu dan hasrat, maka seseorang akan terjatuh kepada kubangan dosa dan kemaksiatan tanpa dia sadari. Lebih mending jika dia kemudian tersadar dan meminta ampun serta bertaubat, lalu bagaimana jika dia terlena dan tak lagi sadar bahwa dia sedang berkubang dalam kolam kemaksiatan?
Rasulullah saw bersabda,
Jihad yang paling utama adalah seseorang berjihad [berjuang] melawan dirinya dan hawa nafsunya. (HR. Ibnu An-Najjar dari Abu Dzarr, Abu Nu’aim dan Ad-Dailami)
Sebagai seorang muslim kita diajarkan untuk melawan sebagian keinginan kita. Banyak sekali keinginan yang tidak sejalan dengan keharusan kita sebagai muslim yang bertakwa. Kita ingin sekali menjalin hubungan terlarang dengan seorang wanita (pacaran), tapi kita tahu bahwa di dalam islam tidak ada istilah pacaran sehingga kita tidak akan pernah bias melakukannya. Kita ingin sekali melanjutkan tidur ketika adzan subuh berkumandang, tetapi justru syariat menekankan pentingnya shalat subuh berjamaah dan ancaman terjangkit penyakit munafik bagi mereka yang meninggalkannya. Kita ingin sekali melanjutkan menonton film, sementara adzan sudah berkumandang. Kemudian kita menekan keinginan kita untuk terus menikmati film atau game dengan melangkahkan kaki ke masjid. Kita ingin sekali makan dan minum ketika hari senin dan kamis, tapi sunnah mengajarkan kepada kita untuk berpuasa di hari tersebut sehingga kita memilih rasa lapar dan haus.
Perjuangan untuk melawan beberapa keinginan dan hasrat terkadang berat kita rasakan. Kita merasakan ada tarik menarik antara hawa nafsu dan keimanan yang bersemayam di dalam hati kita. Kita juga merasakan pergulatan antara nurani dan kehendak sehingga kita merasakan diri kita begitu tersiksa.
Tapi pada gilirannya nanti kita akan merasakan kedamaian dan ketentraman karena memilih jalan yang diridhai-Nya. Kita merasa bahagia karena memilih jalan yang membuat Allah Subhanahu wata’ala senang kepada kita. Kita merasa puas karena mampu menaklukan kehendak dan hasrat yang membuat kita jauh dari cahaya Allah Swt.
Kita akan mendapatkan lebih banyak lagi kepuasan. Tidak hanya puas karena telah membuat Allah swt senang, kita juga merasa puas karena Allah swt akan mengganti pengorbanan kita dengan sesuatu yang lebih baik dan lebih berharga nilainya dari apa yang kita tinggalkan karena ingin meraih ridho-Nya.
Sesungguhnya tidaklah Engkau meninggalkan sesuatu karena ketakwaan kepada Allah Ta’ala, kecuali Allah pasti akan memberikan sesuatu (sebagai pengganti) yang lebih baik darinya.” (HR. Ahmad no. 20739)
Jika kita masih ragu tentang balasan Allah swt bagi mereka yang memilih-Nya, maka marilah kita menyimak jejak-jejak sejarah yang bisa menjadi bukti bahwa Allah swt tidak akan pernah menyalahi janji-Nya.
Ingatlah ketika kaum muslimin Muhajirin berhijrah bersama Rasulullah saw tercinta ke Madinah. Betapa mereka harus merelakan berpisah dengan keluarga tercinta yang tidak mampu hijrah bersama mereka. Betapa mereka harus meninggalkan harta benda mereka di tanah Mekah. Betapa mereka harus menanggung kerinduan yang amat sangat di setiap malam yang mereka lalui. Tapi dari Madinah inilah Allah swt memberikan kepada mereka limpahan rizki dunia dan kemudian memuliakan mereka. Bahkan Allah swt menakdirkan mereka untuk kembali ke Mekah dalam peristiwa Fathu Mekah. Allah swt tidak benar-benar membuat mereka meninggalkan tanah kelahiran. Dia hanya membiarkan mereka berpisah dengan Mekah untuk bisa kembali lagi dengan wajah yang tegak tanpa kehinaan. Subhanallah.
Ingatlah tentang Nabi Ibrahim as yang harus rela meninggalkan ayah dan kaumnya demi terhindar dari noda kemusyrikan kaumnya yang tidak mau beriman kepada Allah swt. Lalu Allah swt pun mengaruniakan Ishaq dan Ya’qub kepada beliau serta anak keturunan yang shalih.
Pun dengan ash–habul kahfi. Para pemuda itu harus meninggalkan kaum mereka demi menghindari fitnah kesyirikan dan menyelamatkan iman mereka. Kemudian Allah swt menurunkan rahmat dan menjaga mereka.
Siapa pun yang meninggalkan dorongan untuk berbuat hal yang dilarang, syubhat dan bahkan hal yang mubah demi mencari keridhoan Allah, maka Allah akan memberi ganti yang lebih baik dari apa yang mereka tinggalkan. Dan itu sudah menjadi janji Allah. Itu juga menjadi sebuah sunnatullah yang benar adanya.
Mari kita pungkas dengan sebuah kisah yang dikisahkan oleh Imam Hambali di dalam kitab Dzailuth Thabaqaat, tentang kisah al-Qadhi Abu Bakar al-Anshary al-Bazzaz, seorang faqih yang tinggal di Mekah dan terkenal sebagai seorang yang shalih dan takut kepada Allah swt.
Dikisahkan bahwa suatu ketika al-Qadhi Abu Bakar al-Anshary merasakan kelaparan. Dia pun keluar dan berharap mendapatkan makanan yang bisa mengganjal perutnya yang perih karena menahan lapar. Namun sayangnya dia tidak mendapatkan apa pun untuk dimakan.
Ketika dia tengah berjalan, tiba-tiba dia menemukan bungkusan sutera yang diikat dengan pita dari sutera yang mahal. Dia pun membawanya pulang, dan membukanya ketika telah sampai di rumahnya. Ternyata di dalamnya terdapat kalung yang terbuat dari mutiara.
“Aku belum pernah aku melihat kalung sebagus itu. Aku segera membungkusnya kembali dan mengikatnya seperti sedia kala.” Tutur al-Qadhi Abu Bakar al-Anshary ketika mengisahkan kejadian tersebut.
Dia keluar dan tak berapa lama dia bertemu dengan seorang tua yang sedang berhaji berseru kepada orang-orang, ”Barangsiapa yang menemukan sebuah bungkusan yang ciri-cirinya begini dan begini, maka akan aku beri hadiah 500 dinar emas.”
Maka al-Qadhi berkata dalam hati, ”Saya sedang terdesak kebutuhan, apakah sebaiknya aku mengambil dinar itu, dan mengembalikan bungkusan itu kepadanya?”
Lalu dia pun berkata, ”Kemarilah, aku telah menemukannya.”
Dia pun membawa orang tua itu ke rumahnya. Kemudian al-Qadhi Abu Bakar menanyakan ciri-ciri bungkusan serta kalung mutiara dan barang serta sesuatu yang berada di dalamnya. Ternyata apa yang diutarakan si lelaki tua itu persis dengan apa yang dia temukan. Maka dia pun mengeluarkan bungkusan tersebut dan menyerahkan kepada si lelaki tua itu.
Si lelaki tua itu pun memberikan uang 500 dinar emas seperti yang dia janjikan. Kemudian al-Qadhi berkata kepadanya, ”Saya hanya menyampaikan amanah yang harus saya kembalikan kepada Anda, saya tidak meminta upah.”
Lelaki tua itu mendesaknya untuk menerima pemberiannya, sementara al-Qadhi sudah berjanji kepada dirinya untuk tidak mengambil apa pun dari lelaki tersebut.
Orang itu pergi meninggalkannya, lalu pulang ke negerinya setelah menyelesaikan hajinya. Sementara al-Qadhi masih berada dalam keadaan yang sama, miskin dan sering dilanda kelaparan. Hingga suatu hari dia memutuskan keluar dari Mekah dan mengarungi lautan dengan kapal tua bersama segolongan orang. Di tengah laut, kapal diterpa ombak dan badai yang dahsyat hingga kapalpun pecah. Orang-orang tenggelam, sementara Allah menyelamatkannya, di mana dia bisa berpegangan pada sebuah kayu, hingga pada akhirnya terdampar di sebuah pulau.
Al-Qadhi kemudian memasuki pulau itu, dan ternyata di sana tinggal kaum muslimin yang rata-rata masih awam, belum bisa membaca dan menulis. Kemudian dia mendatangi masjid, shalat dan membaca al-Qur’an. Orang-orang yang berada di masjid memerhatikannya, lalu berkumpul mengerumuninya. Setiap orang yang bertemu dengan al-Qadhi memintanya untuk mengajarkan al-Qur’an. Dia pun mengajarkan al-Qur’an kepada mereka.
“Apakah Anda bisa membaca dan menulis?” Tanya mereka.
“Ya, bisa!” Jawab al-Qadhi.
Merekapun berkata, “Kalau begitu, ajarilah kami membaca dan menulis!”
Lalu mereka datang dengan membawa anak-anak dan remaja mereka dan al-Qadhi pun mengajari mereka. Hingga beberapa waktu kemudian mereka menginginkan al-Qadhi untuk tetap tinggal di tengah-tengah mereka dan tidak perlu kembali ke Mekah. Bahkan mereka menawarkan al-Qadhi untuk menikah dengan gadis setempat yang cantik jelita.
“Di tengah kami ada gadis yatim yang baik dan kaya, kami ingin Anda menikahinya dan tetap tinggal bersama kami di Pulau ini.”
Awalnya al-Qadhi menolak, namun mereka terus membujuk hingga al-Qadhi pun menyanggupinya. Pernikahan pun digelar dan walimah dilaksanakan. Ketika itu al-Qadhi dipertemukan dengan gadis yang menjadi istrinya dan disitulah dia merasa terkejut karena melihat kalung mutiara yang pernah dia temukan di jalanan Mekah dahulu melingkar di leher si gadis.
Al-Qadhi keheranan dan terus memerhatikan kalung itu. Hingga salah seorang keluarganya berkata, “Wahai Syeikh, Anda telah menyinggung perasaannya, Anda tak sudi melihatnya, dan hanya melihat kalung yang dikenakannya.”
Buru-buru al-Qadhi berkata, “Tentang kalung itu, ada kisah yang saya alami.”
“Kisah apa itu?” Tanya mereka penasaran.
Lalu al-Qadhi bercerita kepada mereka tentang kalung dan pertemuannya dengan orang tua yang memilikinya. Usai bercerita, mereka tersentak dan meninggikan suara tahlil dan takbir. Lalu al-Qadhi bertanya, “Subhanallah, apa yang terjadi atas kalian.”
Mereka berkata, ”Sesungguhnya orang tua yang bertemu denganmu itu adalah ayah dari gadis ini. Beliau juga sempat bercerita perihal Anda setelah kembali dari haji. Beliau berkata, “Demi Allah, aku belum pernah melihat pemuda muslim sebaik orang yang mengembalikan kalung itu, ya Allah kumpulkanlah aku dengannya, aku ingin menikahkan ia dengan puteriku.”
“Sekarang beliau sudah meninggal namun doanya telah dikabulkan oleh Allah.”
Subhanallah, sungguh kisah yang sangat luar biasa. Dia rela meninggalkan upah 500 dinar meskipun itu boleh, demi kemuliaan yang lebih di sisi Allah, lalu Allah menggantikannya dengan kalung mutiara sekaligus pemiliknya. Allah memberikan ganti yang jauh lebih baik.
Kisah ini mengingatkan kita akan kaidah dari hadits yang tadi kita kutip, ”Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberikan untuknya ganti yang lebih baik.”
Ketika seseorang meninggalkan sesuatu yang mubah, demi mendapatkan keutamaan agamanya, demi mengharap pahala yang besar dari Allah, maka Allah akan menggantikan untuknya sesuatu yang lebih baik, lebih nikmat dan lebih berharga dari apa yang ditinggalkannya itu. Apalagi jika yang ditinggalkan itu adalah sesuatu yang berstatus haram dan dosa.
Bersyukur
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’ (Quran 14: 7)
Islam mengajarkan kita untuk bersyukur karena kita tidak akan pernah merasa bahagia dengan apa yang kita miliki. Kita selalu ingin meminta lebih dari apa yang kita terima sehingga memandang kecil setiap anugerah yang kita terima.
Ketika rasa syukur dihadirkan di dalam hati kita, maka kita akan selalu berada dalam ketentraman dan kebahagiaan karena menerima apa yang telah Allah swt takdirkan untuk kita. Kita bersyukur dengan keluarga yang kita miliki dan pasangan yang telah Allah swt jodohkan untuk kita. Meski kita tahu bahwa suami/istri kita memiliki banyak kekurangan jika kita ingin melihat kekurangannya. Kita bersyukur mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang cukup. Meksi kita tahu bahwa terkadang kita merasakan kelelahan karena bekerja dan berharap mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari apa yang kita miliki saat ini. Kita bersyukur bias sekolah dan menamatkan pendidikan kita di jenjang tertentu. Meski kita tahu bahwa kita gagal menembus sekolah favorit atau universitas unggulan yang kita idam-idamkan sejak kecil.
Lebih dari itu, ternyata rasa syukur memiliki korelasi yang signifikan dengan kesehatan fisik dan mental. Seorang peneliti bernama Robert A Emmons Ph.D. mengungkapkan penelitiannya yang dipublikasikan Huffington Post. Emmons menyatakan bahwa rasa terimakasih memiliki manfaat yang begitu kentara pada kesehatan psikologis (mental) dan fisik seseorang. Seorang yang cenderung selalu berterimakasih kepada pihak lain memiliki fisik dan mental yang lebih sehat disbanding mereka yang tidak atau jarang mengungkapkan rasa syukur dan terimakasihnya.
By:
Husni
Husni
Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.
you may also like
- Next Tampakan Wajah yang Bahagia, Meski Hatimu Didera Derita
- Previous Boleh Membandingkan Diri Sendiri Dengan Orang Lain, Tapi...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
New Post
recentposts
My Tweet

Blog Archive
About this blog
HusniMagazine
Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis..
husnimubarok5593@gmail.com
No comments:
Post a Comment