18 Apr 2019

[Balada Suami Istri Koplak] Istriku Gembrot


(POV SARDI)

AKU bisa menebak bahwa kalian-wahai para jomblo- memiliki satu mimpi yang selalu mengganggu benak kalian. Mimpi apa lagi kalau bukan kawin. Ok, sepertinya kawin terlalu kasar dan terkadang konotasinya juga jelek. Jadi saya memakai istilah menikah saja. Kalian mengharapkan menikah dengan gadis yang kalian impikan, yang akan mendampingi sisa hidup kalian dan hidup dengan bahagia forever layaknya kisah di negeri-negeri dongeng. Sebagaimana Maher Zain bilang, ‘for the rest of my life, I will be with you.’

Hai kalian para jomblo, perlu kalian tahu bahwa kalian selama ini hanya mengkhayalkan enaknya hidup berumahtangga. Padahal menikah itu bukan hanya soal romantisme dan mesra-mesraan. Berani taruhan, akan ada masanya kamu merasa jenuh, stagnan dan merasa bosan dengan kehidupan rumah tanggamu. Kamu akan merasa bosan dengan pasangan hidupmu dan merasa, ‘Kok dia nggak semanis dulu ya, kok dia nggak secantik dulu ya, kok dia nggak semanja dan semesra dulu ya.’

Selama kita hidup, selalu ada perubahan. Termasuk dalam hubungan relasi suami istri dan kehidupan berumahtangga. Dan itulah yang aku alami sekarang.

Masa mesra-mesraan layaknya si Dilan sama si Milea sudah berlalu semenjak bertahun-tahun yang lalu. Sekarang aku nggak merasa setruman yang menggelenyar ketika menyentuh istriku. Pun sepertinya istriku juga biasa-biasa aja.

Dulu, di bulan-bulan pertama semenjak akad nikah kami selalu memanggil satu sama lain denggan panggilan mesra. Aku memanggil istriku, ‘Yang, Beb, Darling, Honey.’ Dan istriku juga demikian. Ketika punya anak  pertama, maka aku mengganti panggilan untuk istriku dengan ‘Ma’ dan istriku memanggil diriku, ‘Pa.’ Masa iya, mau bilang Beb, Darling dan Yang di hadapan anakku.

Terkadang, jika kami bertengkar, istriku akan langsung memanggil namaku dengan bentakan. Begitu juga diriku.

“Sardi! Sudah berkali-kali aku bilang, nyimpen handuk itu di tempatnya, bukan di atas kasur. Dasar lelaki!”

Mau tak mau aku ngedumel dan melempar tamblet yang bertengger di kedua tanganku ke atas kasur dan mengambil onggokan handuk hijau milikku di atas kasur, beranjak ke luar dan menyimpannya  ke jemuran. “Dasar cerewet! Ngerti tong Mil, suami itu cape pulang kerja.”

“Emangnya berapa ton sih berat handuk Sardi!”

“Kan kamu juga lagi nggak ngapa-ngapain. Dari tadi nonton tivi. Mana yang ditonton nggak mutu lagi. Tayangan gosip mulu yang diplototin!”

“Saya juga cape seharian ngurus rumah, kamu pikir jadi ibu rumah tangga itu gampang?”

“Yang jelas nggak secape kerja di kantor.”

“Siapa bilang? Dari bangun pagi saya harus nyuci pakaian kotor, termasuk pakaianmu, seragam kerjamu. Abis itu nyiapin sarapan  buat kamu dan anak-anak,  bersih-bersih, nyapu, ngepel lantai, nyuci piring, jemur pakaian, nyiram tanaman. Setelah itu harus ngantar si bungu ke sekolah, menunggu sampai dia pulang. Sorenya ngambil jemuran, nyetrika, nyiapin makan malam. Bahkan kalau kamu pulang telat, aku nyiapin air panas buat mandi kamu.”

“Et dah, ngomongnya panjang banget, kayak gerbong kereta. Jadi kamu nggak ikhlas ya jadi istri.”

Istriku mendengus bukan kesal, “Bukannya nggak ikhlas, tapi biar kamu nyadar. Jangan remehkan pekerjaanku di rumah.”

“Kamu juga jangan remehkan kerja saya di kantor. Tanpa saya, dapur kita nggak bisa ngebul. Siapa yang mau biayain pendidikan anak-anak sekolah. Saya!”

“Tuh, siapa yang nggak ikhlas. Sekarang kamu mengungkit-ungkit jasa kamu. Lagian tanpa kamu pun aku bisa nyari uang kok. Bisnis onlineku lumayan laris.”

Hmmm, memang susah kalau sudah debat dengan makhluk yang bernama perempuan. Jadi saya sarankan kepadamu untuk tidak meladeni genderang perang mulut yang ditabuh istrimu. Daripada pusing tujuh keliling, lebih baik nyari jalan aman saja.

Itu adalah satu dari ratusan pertengkaran yang biasa terjadi antara aku dengan istriku, Mila.

Apa? Kau menganggap kehidupan rumah tanggaku tidak harmonis dan berada di ambang kehancuran? Tidak juga sih. soalnya pertengkaran kami nggak pernah sampai berlanjut ke taraf yang mengkhawatirkan. Semarah-marahnya aku, tak pernah melontarkan kata cerai atau semisalnya. Misal, “Pulang ke rumah orang tuamu! Kita pisah saja!’ dan sejenisnya. Kata ustadz, itu sudah bisa jatuh talak.

Pun si Mila-maksudku istriku- dia juga tidak pernah meminta cerai ketika kita marahan dan saling bentak. Sebagaimana lirik lagu, ‘Pulangkan saja...aku pada orangtuaku...”

Aku berani bertaruh si Mila tidak akan berani meminta cerai. Pertama, tidak ada lelaki yang seganteng aku. Hmmm, bolehlah narsis dikit. Kedua, Mila tahu diri bahwa dirinya tidak terlalu menarik dengan tubuh gembrotnya sehingga dia merasa khawatir jika pisah denganku, tidak ada lelaki lain yang tertarik untuk menikah dengan dirinya. Ketiga, walaupun lumrah perempuan marah meminta cerai, Mila takut jika ‘minta cerai’ yang tak lebih hanya luapan amarah sekilas ditanaggapi serius. Karena dia menangkap ada tanda-tanda aku sudah ingin mengganti istri disamping ganti presiden. Tapi nyatanya tidak. aku tidak pernah berpikir untuk menceraikan istriku bagaimana pun keadaan dia dan keadaan diriku.

Semua ketidakberesan ini sebenarnya timbul dari ketidaksingkronan sifat dan karakter diantara kami berdua. Karakter kami tidak akan pernah bisa disatukan. Mungkin jika diungkapkan secara hiperbolis, perbedaan karakter dan sifat kami sejauh langit dan bumi. Bahkan mungkin sejauh bintang timur dengan planet bumi yang berjarak ratusan tahun cahaya. Oke, sepertinya aku terlalu hiperbolis dan berlebihan.

Biar aku kasih contoh perbedaan apa saja yang ada antara aku dan Mila.

Pertama, dalam soal makanan aku tidak suka pedas dan lebih suka yang manis-manis. Sementara si Mila maniak makanan yang pedas dan asin. Andai aku bisa masak sendiri, sepertinya aku lebih memilih masak khusus untuk diriku sendiri. Sayangnya aku tidak bisa masak sekaligus malas untuk belajar masak. Si Mila terkadang susah diajak kompromi. Ujung-ujungnya aku sering makan diluar. Syukurnya, ibu mertuaku memarahi anak perempuannya itu habis-habisan setelah sayan mengadukan ketidakadilannya kepada ibunya sendiri.

“Dasar si tukang ngadu!” serunya suatu malam setelah dimarahi ibunya siang sebelumnya. “Mana ngadunya sama mertua lagi, nggak tau malu.”

“Biar kamu nyadar.” Balasku enteng sembari mencomot talas bogor yang tersedia di atas meja ruang tamu. Talas bogor itu bukan bikinan istriku, itu sengaja aku beli di pinggir jalan. Mana mau istriku masak yang manis-manis. Sudah kubilang dia anti makanan yang manis-manis. Entah karena faktor kekhawatiran berat badannya bertambah atau karena apa. Mitos bilang, terlalu sering makan makanan yang manis itu bisa menambah berat badan. Aku mah mana peduli, memang aslinya punya tubuh kerempeng, jadi tak akan takut sama namanya obesitas.

Kedua, terkadang aku mikir pasangan Sardi-Mila itu pasangan paling paradoksal di dunia. Bayangkan saja, aku yang punya tubuh kerempeng bak sebatang lidi dan setipis triplek ini kok bisa-bisanya berjodoh dengan si Mila yang gembrot bak gajah yang doyan makan.  gajah diet aja gede, apalagi gajah yang doyan makan. Jika kami bergandengan tangan (dan ini moment yang langka mengingat kami bukan pasangan yang doyan adegan romantis yang diumbar kecuali di atas ranjang) maka kami lebih mirip angka 10. Aku angka satu dan Mila angka Nolnnya. Tapi begitulah cinta, menyatukan dua insan yang berbeda, ciee...sok puitis ya.

Ketiga, aku termasuk tipe orang urakan yang sembarangan dan berantakan. Sementara si Mila, dibalik kegembrotannya, dia adalah seorang istri yang menganut aliran bersih rapi jali. Sampah seupil yanga tak sengaja aku buang di lantai aja bisa membuat Mila kelojotan dan kesurupan. Belum lagi masalah handuk yang tidak kembali ke jemuran sehabis dipakai. Bisa-bisa gendang telingaku pecah karena omelannya.

Omong-omong, aku tadi sempat menyinggung bahwa istriku, Si Mila gembrot. Nah, untuk cerita yang satu ini biar aku ceritakan nanti. Aku sudah mengantuk setelah seharian bergulat dengan urusan kerja di kantor. Aku harus segera tidur di sofa. Lha, kamu pasti bertanya-tanya kenapa aku tidur di sofa.

Well, sebenarnya aku lebih nyaman ‘pisah ranjang’ kecuali jika ada panggilan bernama ‘kebutuhan biologis suami-istri.’ Lagi-lagi ini karena masalah perbedaan. Aku memiliki kebiasaan ngorok. Si Mila bilang, jika aku tidur, suara ngorokku  bisa terdengar sampai halaman depan. Ah dasar, memang suka terlalu berlebihan si Mila ini. Dia bilang tidak bisa tidur jika aku terlelap di sampingnya. Aku juga memiliki pengalaman trauma tidur di samping istriku. Mila memiliki kebiasaan motah ketika tidur. Bayangkan saja, badan segede gajahnya itu bisa berubah-ubah posisi semaunya sendiri. Aku pernah setengah mati kehabisan napas karena tangannya yang gede itu mencengkeram leherku. Buset dah, dia pikir mungkin ni leher bantal guling. Di kesempatan lain, telapak kakinya bertengger di hidungku. Bahkan aku pernah jatuh dari atas ranjang karena tersenggol pinggulnya yang semok. Hasilnya ada satu benjol di dahiku. Edan dah.

Jadi, kami dengan kesadaran masing-masing harus rela ‘pisah ranjang’. Tapi si Mila kadang kalau ada maunya suka nyamperin di sofa. “Yang....” Ujarnya dengan senyum  lebar. Kata Yang... itu adalah kode dia sedang ingin kasih sayang. Karena biasanya dia memanggilku dengan tiga tanda seru setelah menyebut langsung namaku. ‘Sardi!!!’

“Yang...”

Tuh kan, si Mila sudah berdiri di ambang pintu kamar. Oke, aku harus menyudahi  ceritaku. Saatnya berbakti kepada istri. Eh salah ya, harusnya istri yang berbakti kepada suami. Tapi suka-suka gue lah.
Bye....
Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment