(POV SARDI)
AKU bisa menebak bahwa kalian-wahai para
jomblo- memiliki satu mimpi yang selalu mengganggu benak kalian. Mimpi apa lagi
kalau bukan kawin. Ok, sepertinya kawin terlalu kasar dan terkadang konotasinya
juga jelek. Jadi saya memakai istilah menikah saja. Kalian mengharapkan menikah
dengan gadis yang kalian impikan, yang akan mendampingi sisa hidup kalian dan
hidup dengan bahagia forever layaknya kisah di negeri-negeri dongeng.
Sebagaimana Maher Zain bilang, ‘for the rest of my life, I will be with you.’
Hai kalian para jomblo, perlu kalian tahu
bahwa kalian selama ini hanya mengkhayalkan enaknya hidup berumahtangga.
Padahal menikah itu bukan hanya soal romantisme dan mesra-mesraan. Berani taruhan,
akan ada masanya kamu merasa jenuh, stagnan dan merasa bosan dengan kehidupan
rumah tanggamu. Kamu akan merasa bosan dengan pasangan hidupmu dan merasa, ‘Kok
dia nggak semanis dulu ya, kok dia nggak secantik dulu ya, kok dia nggak
semanja dan semesra dulu ya.’
Selama kita hidup, selalu ada perubahan.
Termasuk dalam hubungan relasi suami istri dan kehidupan berumahtangga. Dan
itulah yang aku alami sekarang.
Masa mesra-mesraan layaknya si Dilan sama si
Milea sudah berlalu semenjak bertahun-tahun yang lalu. Sekarang aku nggak
merasa setruman yang menggelenyar ketika menyentuh istriku. Pun sepertinya
istriku juga biasa-biasa aja.
Dulu, di bulan-bulan pertama semenjak akad
nikah kami selalu memanggil satu sama lain denggan panggilan mesra. Aku
memanggil istriku, ‘Yang, Beb, Darling, Honey.’ Dan istriku juga demikian.
Ketika punya anak pertama, maka aku
mengganti panggilan untuk istriku dengan ‘Ma’ dan istriku memanggil diriku,
‘Pa.’ Masa iya, mau bilang Beb, Darling dan Yang di hadapan anakku.
Terkadang, jika kami bertengkar, istriku akan
langsung memanggil namaku dengan bentakan. Begitu juga diriku.
“Sardi! Sudah berkali-kali aku bilang, nyimpen
handuk itu di tempatnya, bukan di atas kasur. Dasar lelaki!”
Mau tak mau aku ngedumel dan melempar tamblet
yang bertengger di kedua tanganku ke atas kasur dan mengambil onggokan handuk
hijau milikku di atas kasur, beranjak ke luar dan menyimpannya ke jemuran. “Dasar cerewet! Ngerti tong Mil,
suami itu cape pulang kerja.”
“Emangnya berapa ton sih berat handuk Sardi!”
“Kan kamu juga lagi nggak ngapa-ngapain. Dari
tadi nonton tivi. Mana yang ditonton nggak mutu lagi. Tayangan gosip mulu yang
diplototin!”
“Saya juga cape seharian ngurus rumah, kamu
pikir jadi ibu rumah tangga itu gampang?”
“Yang jelas nggak secape kerja di kantor.”
“Siapa bilang? Dari bangun pagi saya harus
nyuci pakaian kotor, termasuk pakaianmu, seragam kerjamu. Abis itu nyiapin
sarapan buat kamu dan anak-anak, bersih-bersih, nyapu, ngepel lantai, nyuci
piring, jemur pakaian, nyiram tanaman. Setelah itu harus ngantar si bungu ke
sekolah, menunggu sampai dia pulang. Sorenya ngambil jemuran, nyetrika, nyiapin
makan malam. Bahkan kalau kamu pulang telat, aku nyiapin air panas buat mandi
kamu.”
“Et dah, ngomongnya panjang banget, kayak
gerbong kereta. Jadi kamu nggak ikhlas ya jadi istri.”
Istriku mendengus bukan kesal, “Bukannya nggak
ikhlas, tapi biar kamu nyadar. Jangan remehkan pekerjaanku di rumah.”
“Kamu juga jangan remehkan kerja saya di
kantor. Tanpa saya, dapur kita nggak bisa ngebul. Siapa yang mau biayain
pendidikan anak-anak sekolah. Saya!”
“Tuh, siapa yang nggak ikhlas. Sekarang kamu
mengungkit-ungkit jasa kamu. Lagian tanpa kamu pun aku bisa nyari uang kok.
Bisnis onlineku lumayan laris.”
Hmmm, memang susah kalau sudah debat dengan
makhluk yang bernama perempuan. Jadi saya sarankan kepadamu untuk tidak
meladeni genderang perang mulut yang ditabuh istrimu. Daripada pusing tujuh
keliling, lebih baik nyari jalan aman saja.
Itu adalah satu dari ratusan pertengkaran yang
biasa terjadi antara aku dengan istriku, Mila.
Apa? Kau menganggap kehidupan rumah tanggaku
tidak harmonis dan berada di ambang kehancuran? Tidak juga sih. soalnya
pertengkaran kami nggak pernah sampai berlanjut ke taraf yang mengkhawatirkan.
Semarah-marahnya aku, tak pernah melontarkan kata cerai atau semisalnya. Misal,
“Pulang ke rumah orang tuamu! Kita pisah saja!’ dan sejenisnya. Kata ustadz,
itu sudah bisa jatuh talak.
Pun si Mila-maksudku istriku- dia juga tidak
pernah meminta cerai ketika kita marahan dan saling bentak. Sebagaimana lirik
lagu, ‘Pulangkan saja...aku pada orangtuaku...”
Aku berani bertaruh si Mila tidak akan berani
meminta cerai. Pertama, tidak ada lelaki yang seganteng aku. Hmmm, bolehlah
narsis dikit. Kedua, Mila tahu diri bahwa dirinya tidak terlalu menarik dengan
tubuh gembrotnya sehingga dia merasa khawatir jika pisah denganku, tidak ada
lelaki lain yang tertarik untuk menikah dengan dirinya. Ketiga, walaupun lumrah
perempuan marah meminta cerai, Mila takut jika ‘minta cerai’ yang tak lebih
hanya luapan amarah sekilas ditanaggapi serius. Karena dia menangkap ada
tanda-tanda aku sudah ingin mengganti istri disamping ganti presiden. Tapi
nyatanya tidak. aku tidak pernah berpikir untuk menceraikan istriku bagaimana
pun keadaan dia dan keadaan diriku.
Semua ketidakberesan ini sebenarnya timbul
dari ketidaksingkronan sifat dan karakter diantara kami berdua. Karakter kami
tidak akan pernah bisa disatukan. Mungkin jika diungkapkan secara hiperbolis,
perbedaan karakter dan sifat kami sejauh langit dan bumi. Bahkan mungkin sejauh
bintang timur dengan planet bumi yang berjarak ratusan tahun cahaya. Oke,
sepertinya aku terlalu hiperbolis dan berlebihan.
Biar aku kasih contoh perbedaan apa saja yang
ada antara aku dan Mila.
Pertama, dalam soal makanan aku tidak suka
pedas dan lebih suka yang manis-manis. Sementara si Mila maniak makanan yang
pedas dan asin. Andai aku bisa masak sendiri, sepertinya aku lebih memilih
masak khusus untuk diriku sendiri. Sayangnya aku tidak bisa masak sekaligus
malas untuk belajar masak. Si Mila terkadang susah diajak kompromi.
Ujung-ujungnya aku sering makan diluar. Syukurnya, ibu mertuaku memarahi anak
perempuannya itu habis-habisan setelah sayan mengadukan ketidakadilannya kepada
ibunya sendiri.
“Dasar si tukang ngadu!” serunya suatu malam
setelah dimarahi ibunya siang sebelumnya. “Mana ngadunya sama mertua lagi,
nggak tau malu.”
“Biar kamu nyadar.” Balasku enteng sembari
mencomot talas bogor yang tersedia di atas meja ruang tamu. Talas bogor itu
bukan bikinan istriku, itu sengaja aku beli di pinggir jalan. Mana mau istriku
masak yang manis-manis. Sudah kubilang dia anti makanan yang manis-manis. Entah
karena faktor kekhawatiran berat badannya bertambah atau karena apa. Mitos
bilang, terlalu sering makan makanan yang manis itu bisa menambah berat badan.
Aku mah mana peduli, memang aslinya punya tubuh kerempeng, jadi tak akan takut
sama namanya obesitas.
Kedua, terkadang aku mikir pasangan Sardi-Mila
itu pasangan paling paradoksal di dunia. Bayangkan saja, aku yang punya tubuh
kerempeng bak sebatang lidi dan setipis triplek ini kok bisa-bisanya berjodoh
dengan si Mila yang gembrot bak gajah yang doyan makan. gajah diet aja gede, apalagi gajah yang doyan
makan. Jika kami bergandengan tangan (dan ini moment yang langka mengingat kami
bukan pasangan yang doyan adegan romantis yang diumbar kecuali di atas ranjang)
maka kami lebih mirip angka 10. Aku angka satu dan Mila angka Nolnnya. Tapi
begitulah cinta, menyatukan dua insan yang berbeda, ciee...sok puitis ya.
Ketiga, aku termasuk tipe orang urakan yang
sembarangan dan berantakan. Sementara si Mila, dibalik kegembrotannya, dia
adalah seorang istri yang menganut aliran bersih rapi jali. Sampah seupil yanga
tak sengaja aku buang di lantai aja bisa membuat Mila kelojotan dan kesurupan.
Belum lagi masalah handuk yang tidak kembali ke jemuran sehabis dipakai.
Bisa-bisa gendang telingaku pecah karena omelannya.
Omong-omong, aku tadi sempat menyinggung bahwa
istriku, Si Mila gembrot. Nah, untuk cerita yang satu ini biar aku ceritakan
nanti. Aku sudah mengantuk setelah seharian bergulat dengan urusan kerja di
kantor. Aku harus segera tidur di sofa. Lha, kamu pasti bertanya-tanya kenapa
aku tidur di sofa.
Well, sebenarnya aku lebih nyaman ‘pisah
ranjang’ kecuali jika ada panggilan bernama ‘kebutuhan biologis suami-istri.’
Lagi-lagi ini karena masalah perbedaan. Aku memiliki kebiasaan ngorok. Si Mila
bilang, jika aku tidur, suara ngorokku
bisa terdengar sampai halaman depan. Ah dasar, memang suka terlalu
berlebihan si Mila ini. Dia bilang tidak bisa tidur jika aku terlelap di
sampingnya. Aku juga memiliki pengalaman trauma tidur di samping istriku. Mila
memiliki kebiasaan motah ketika tidur. Bayangkan saja, badan segede gajahnya
itu bisa berubah-ubah posisi semaunya sendiri. Aku pernah setengah mati
kehabisan napas karena tangannya yang gede itu mencengkeram leherku. Buset dah,
dia pikir mungkin ni leher bantal guling. Di kesempatan lain, telapak kakinya
bertengger di hidungku. Bahkan aku pernah jatuh dari atas ranjang karena
tersenggol pinggulnya yang semok. Hasilnya ada satu benjol di dahiku. Edan dah.
Jadi, kami dengan kesadaran masing-masing
harus rela ‘pisah ranjang’. Tapi si Mila kadang kalau ada maunya suka nyamperin
di sofa. “Yang....” Ujarnya dengan senyum
lebar. Kata Yang... itu adalah kode dia sedang ingin kasih sayang.
Karena biasanya dia memanggilku dengan tiga tanda seru setelah menyebut
langsung namaku. ‘Sardi!!!’
“Yang...”
Tuh kan, si Mila sudah berdiri di ambang pintu
kamar. Oke, aku harus menyudahi
ceritaku. Saatnya berbakti kepada istri. Eh salah ya, harusnya istri
yang berbakti kepada suami. Tapi suka-suka gue lah.
Bye....
No comments:
Post a Comment