Namanya Alzair. Dia orang Medan dengan tutur katanya yang
khas. Pekan-pekan pertama kehadirannya di Ma’had menjadi satu kesempatan bagi
kami orang-orang Sunda untuk ngerjain si orang Medan ini. Ide itu tiba-tiba
menyembul di benak ketika si Alzair bertanya, “Kawan, apa bahasa Sundanya ‘Pak,
saya mau ngambil air minum?’ Hmm, rupanya dia ingin sok akrab dengan memakai
bahasa sunda.
Kami memasang senyum paling sadis sedunia. Maka seseorang
dari kami menyeletuk, “Bahasa sundanya ‘saya mau ngambil air minum’ itu ‘hayu
gelut jeung aing.’
‘Hayu gelut jeung Aing.’ Alzair mengulang kalimat yang
barusaja terlontar dari salah satu mulut si jahil.
“Coba ulangi, nanti lupa lagi.” Pintaku.
“Hayu gelut jeung aing.” Dia mengulang kalimatnya. Takut benar
dia lupa kalimat tersebut. Tanpa ba bi bu, Alzair langsung ngeloyor pergi dan
kamu semua tertawa terpingkal-pingkal. Di dalam benak kami sudah bisa
membayangkan bagaimana ekspresi si Bapak penjaga dapur dan bagaimana ekspresi
bingung si Zair.
Beberapa menit kemudian si Alzair kembali dengan wajah
bingung. “Kenapa si Bapak seperti marah begitu. Aku tak mengerti kenapa dia
jadi melotot begitu.”
Dan dia mengerti dia tengah dikerjai.
Sebelum Alzair, ada kisah yang persis sama. Tapi berbeda
tokoh dan latar tempat. Tepatnya terjadi ketika di Madrasah Aliyah dulu.
Ada seorang teman –saya lupa namanya- yang berasal dari
Maluku. Dia baru stay beberapa bulan di pesantren. Pun, dia bertanya tentang
bahasa Sunda. Aneh kan, orang di pesantren harus belajar bahasa arab dan
inggris, ini malah antusias belajar bahasa sunda. Yah begitulah.
‘Apa bahasa Sundanya minta sabun.’ Tanya si orang Maluku
kepada temannya yang orang sunda. Dia ceritanya mau minta sabun ke akhwat yang
bertugas di dapur. Kami memang diberi sabun gratis dari mahad dan harus diambil
lewat akhwat yang bertugas piket di dapur.
“Bahasa sundanya, ‘Kuring bogoh ka anjeun.’” Jawab si teman
sunda dengan senyum paling jahat yang dia punya.
Si teman Maluku mengulang kalimat tersebut supaya tidak
lupa. Setelah yakin dia bisa melafalkannya dia pun segera melesat ke dapur. Dan
beberapa saat kemudian dia kembali. Sabun sudah ada di tangan, tapi wajahnya
tertekuk. ‘Kamu sengaja menipuku ya. dia malah ngomel-ngomel kepadaku.’
Si teman orang sunda tertawa dan minta maaf sebelum urusan
jadi genting. Biasanya orang Maluku cepat tersulut emosinya.
“Tapi sabunnya kau dapatkan juga kan.”
“Iya, setelah aku bilang pake bahasa Indonesia.”
Begitulah, semoga tulisan ini tidak menginspirasimu untuk
menjahili temanmu yang tidak pernah mengerti bahasa ibumu.
Mencari Goreng Patut
Ketika saya berbagi cerita ‘Hayu Gelut Jeung Aing’ di grup
KBM, teman-teman langsung ramai berbagi pengalamn tentang serunya ‘ngerjain
orang non-sunda’ yang tidak paham bahasa sunda sama sekali. Beberapa cerita
membuat saya tersenyum simpul, sebagian cerita membuat kulit perut saya sakit saking
menahan tawa.
Berikut dua Cerita yang saya suka
Mencari Goreng Patut (Vera Eriska)
Kakak iparku pernah dikerjain suaminya. Suatu pagi, dia mau
pergi ke pasar. Dia bilang ke suami, “Pah, aku mau ke pasar, mau titip apa?”
“Beliin aku goreng patut aja.” jawab si suami.
“Goreng patut itu apaan sih pah? Apakah sejenis keong tutut?”
“Udah, nanti juga orang pasar tahu.” Jawab suami dengan
senyum simpul. Senyum itu menyimpan makna. Tapi istri mana tahu bahwa ada
kejahilan dibalik senyum sang suami.
Singkat cerita, berangkatlah kakak iparku ke pasar dan di
akhir sesi belanja mencoba mencari goreng patut. Apa hasilnya? Jangankan mendapatkan
‘goreng patut’, yang ada dia malah diketawain banyak pedagang.
Goreng patut=jelek banget
=
Punten Kehed (Edmond Piliang)
Saya dikerjain teman-teman ketika pertama kali tinggal di
Bandung dulu. Kasusnya agak mirip sih. Saya tanya sama teman, “Kalo permisi
basa sundanya apa ya?”
Temanku jawab, “Kalo lewat depan orang bilang aja ‘Punten
Kehed.’
No comments:
Post a Comment