Banyak orang yang beranggapan bahwa belajar sejarah itu njlimet. Mereka membayangkan tentang tanggal dan tahun yang terjalin dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain dengan sederet nama-nama tokoh sejarah yang membingungkan.
Tapi bagi saya, sejarah adalah ilmu yang mengasyikan untuk disimak dan kembali digali. Seakan-akan kita dibawa untuk menelusuri masa silam yang terkubur bersama waktu. Kita seakan menjelajahi lorong waktu dan mencoba membangun imaji yang utuh tentang peristiwa yang terjadi di masa lalu.
Saya kira, belajar sejarah tidak melulu harus berkutat dengan arsip-arsip kuno atau buku-buku teks tebal yang melelahkan. Hatta, saya sendiri banyak belajar sejarah dari novel-novel sejarah yang saya baca. Saya punya kecenderungan menyukai cerita-cerita fiksi dengan latar sejarah masa lalu. Ya, fiksi. Ada yang salah dengan fiksi? Saya kira fiksi sejarah tidak 100 persen fiksi. Semua jalinan kisah yang dihadirkan dan nama tokoh-tokohnya terkadang nyata adanya. Hanya saja cerita tersebut dibumbui dialog dan deskripsi serta narasi yang memikat.
Saya banyak mendapatkan wawasan berharga dari novel Tembang Ilalang, Stienjie, Janji Para lelaki, The Queen from the East, Runtuhnya Menara Azan, dan novel-novel sejarah lainnya. Saya kira, membaca novel sejarah bukanlah pekerjaan yang sia-sia. Karena kita bukan menyimak kisah picisan yang kering makna. Kita sedang menyimak kisah yang kembali dibangun dan disusun lewat sudut pandang penulis dengan seni penuturan sastra.
Saya mengetahui berbagai informasi yang beragam tentang masa penjajahan Belanda dan Jepang dari novel-novel tersebut. Semuanya valid dan bisa dipercaya dengan adanya bukti-bukti yang tidak bisa dibantah.
Baiklah, malam tadi saya baru saja menamatkan novel ‘Runtuhnya Menara Azan karya Yanti Soeparmo terbitan Mizania. Well, sebenarnya novel ini novel jadul yang sudah terbit 9 tahun yang lalu. Tapi karena saya baru membacanya kemarin (itu pun mendapatkan novelnya dari bazar di pameran) dan saya juga menemukan belum banyak mereviewnya, maka saya mencoba untuk mereviewnya disini.
Runtuhnya Menara Azan berkisah tentang perlawanan umat muslim Cilegon di tahun 1888 terhadap pemerintahan Hindia Belanda yang telah membuat mereka melarat dengan menyita tanah-tanah dan sawah mereka. Mereka tidak lagi mampu membayar pajak yang tinggi.
Menariknya, Runtuhnya Menara Azan menghadirkan kisah yang berkelindan antara romantisme, ideologi, dan perlawanan dengan begitu apik dan memikat. Kita diajak meloncat dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain dengan setting yang membuat kita larut dalam cerita.
Novel ini memikat hati saya karena mengungkap sejarah masa lalu Batavia. Bagaimana daerah Glodok dari dulu adalah tempat para peranakan cina, bahkan sampai sekarang kita bisa melihat etnis cina yang mendominasi Glodok. Saya juga terkesima dengan fakta bahwa di masa penjajahan masyarakat dibagi ke dalam tiga kelas sosial. Kelas pertama adalah orang Belanda dan Eropa, kelas kedua orang-orang cina dan Arab, dan kelas ketiga alias kelas paling hina dina adalah orang-orang pribumi (inlander dalam istilah belanda zaman tersebut). Anak keturunan darah campuran indo-belanda juga masuk ke dalam kelas sosial ketiga karena bagi orang belanda di masa itu, mereka adalah anak haram dari para gundik (nyai) simpanan orang Belanda. Hmm, mungkin di masa sekarang orang bertampang indo diburu untuk jadi artis sinetron, tapi di masa tersebut, orang bertampang indo adalah aib yang menyakitkan. Aib bagi orang Belanda sehingga kebanyakan pria Belanda totok tidak mau mengakui dan memelihara gundik dan anak keturunannya. Aib juga bagi keluarga pribumi sehingga seringkali para ‘anak haram’ bertambang indo itu harus menetap di panti-panti Yatim yang dikelola misionaris.
Dari ‘Runtuhnya Menara Azan’ saya juga memahami bahwa ada segelintir orang Belanda yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang mencekik rakyat pribumi. Novel ini menggambarkan sosok muda Andrian dan kekasihnya Corrie. Mereka berdua memiliki sikap yang berbeda terhadap pribumi. Mereka memiliki nurani yang menyatakan bahwa ada yang salah dengan bangsanya. Saya jadi teringat dengan tokoh Multatuli alias Dowes Deker dengan novelnya Max Havelaar yang mengkritisi penjajahan bangsanya sendiri.
Nah, kamu penasaran? Sayangnya novel ini sudah jarang ditemukan di pasaran. Saya juga mencari versi ebooknya dan hasilnya adalah nihil. Buat kamu yang penasaran tentang fakta-fakta menarik yang diungkap di novel ini bisa menonton chanel Youtube saya untuk review buku tersebut.
No comments:
Post a Comment