Buatlah orang lain tersenyum, maka kita akan menemukan kebahagiaan dari senyuman mereka yang kita tolong.
Al Jaza'u Min Jinsil 'Amal, sesungguhnya pahala itu berbanding lurus dengan amal perbuatan.
Kebahagiaan tidak hanya kita dapatkan ketika kita menerima apa yang
kita inginkan, tapi juga kebahagiaan itu akan muncul ketika kita memberi apa
yang orang lain harapkan. Karena ketika kita memberi kebahagiaan, maka
kebahagiaan itu akan kembali kepada kita. Inilah sunnatullah yang telah Allah
subhanahu wata'ala tetapkan.
Seorang Psikolog bernama Erich Fromm menulis sebuah buku berjudul To
Have or To Be. Fromm menjelaskan bahwa di dalam diri manusia terdapat dua
modus kehidupan.
Pertama, modus To Have (memiliki)
Kedua, modus To Be (menjadi)
Sesesorang yang memiliki modus memiliki memandang bahwa
kebabahagiaan itu adalah ketika banyak memiliki hal yang dia harapkan dalam
kehidupan. Ia merasa bahagia karena telah memiliki banyak harta, uang dan rumah
yang besar serta kendaraan yang bagus. Ia merasa puas ketika tanahnya berada di
mana-mana. Jika modus to have ini tidak terkendali, maka hal ini akan
menimbulkan sifat kikir dan serakah.
Sebaliknya, seseorang dengan modus menjadi memandang bahwa bahagia
itu adalah ketika dirinya merasa berarti bagi orang lain. Kebahagiaan muncul
ketika dia bisa berbagi atau memberi. Dia mungkin memiliki uang atau harta yang
cukup banyak, tetapi ia merasa bahagia jika harta yang dimilikinya itu bermanfaat
bagi orang lain. Oleh karena itulah dia seraca rutin mengeluarkan hartanya
untuk membantu orang lain yang membutuhkan dan kesusahan. Ketika dia bisa
membantu orang miskin yang terlilit utang, dia merasa bahagia. Ketika bisa
membantu biaya sakit bagi pasien yang tidak mampu ia merasa bahagia. Ketika
bisa menjadi orang tua asuh bagi anak yatim dia juga bahagia. Ketika bersedekah
dan melihat fakir miskin berseri-seri mukanya karena menerima pemberiannya, dia
merasa bahagia.
Maka di dalam konteks syariat islam, kita diperintahkan untuk
infaq, zakat dan sedekah supaya kita mendapatkan kebahagiaan di dalam
kehidupan. Sejatinya, dengan perintah infaq, zakat dan sedekah itulah kita
mendapatkan kebahagiaan yang kita harapkan. Allah subhanahu wata'ala Maha Tahu
apa yang dibutuhkan hamba-hamba-Nya, maka Dia menjadikan memberi sebagai sumber
kebahagiaan bagi orang yang beriman.
Bahkan keajaiban dari memberi ini tidak hanya dirasakan oleh kita
sebagai muslim. Hatta, non-muslim sekalipun merasakan hal yang sama. Hal ini
menunjukan bahwa ‘sunnatullah’ ini tidak hanya berlaku bagi orang beriman, tapi
juga seluruh manusia. Karena memang sunnatulah dari memberi ini akan menerima
balasan yang setimpal. Kita yakin bahwa pemberian kita akan mendapatkan
balasan, jika tidak di dunia maka kita akan mendapatkannya di akhirat. Bagi
mereka yang non-muslim, bisa saja Allah subhanahu wata'ala membalas pemberian
mereka di dunia.
Pembawa acara Oprah Winfrey selalu membagi-bagikan hadiah kepada
penonton di studio pada acara Oprah Winfrey Show yang dipandunya. Ketika
ditanya kenapa dia selalu membagikan hadiah kepada penonton, dia menjawab bahwa
dia begitu bahagia melihat wajah-wajah penonton yang gembira ketika menerima
hadiah darinya. Meskipun hadiah itu tidak seberapa nilainya, tetapi ada rasa
puas dan senang jika ia berhasil membuat orang lain merasa bahagia karena
pemberiannya itu.
Kebahagiaan ketika memberi inilah rupanya yang mendorong orang
terkaya nomor 2 (Bill Gates dengan kekayaan US$ 53 Milyar) dan nomor 3 dunia
(Warren Buffet dengan kekayaan US$ 47 Milyar) menyumbangkan 50 % hartanya untuk
berbagai kegiatan sosial dan kemanusiaan. Bahkan tidak hanya mencukupkan diri
mereka sendiri, mereka juga mengajak orang-orang terkaya di Amerika serikat
untuk melakukan hal yang sama.
Kesimpulannya, kebahagiaan itu tidak hanya timbul ketika uang terus
bertambah banyak, tetapi kebahagiaan juga timbul dari memberikan hasil dari
jerih payah untuk orang lain yang lebih membutuhkan. Bahkan kebahagiaan ini
jauh lebih besar dan langgeng dibanding kebahagiaan ketika kita memperoleh apa
yang kita harapkan berupa harta benda.
Seandainya semua orang kaya di dunia ini memiliki pemahaman seperti
ini niscaya tidak akan pernah ada korban-korban kelaparan di berbagai belahan
dunia. Maka tak heran jika perintah Zakat, Infaq dan sedekah di dalam islam
termasuk perintah yang sangat ditekankan. Sampai-sampai Khalifah Abu Bakar
ash-Shidiq radiyallahu anhu bersumpah untuk memerangi mereka yang tidak
membayar zakatnya.
Menundang Keberkahan
Dengan Sedekah
Ketika harta itu dikeluarkan maka keberkahan akan datang. Allah
subhanahu wata'ala akan memberi kelimpahan dan kecukupan untuk mereka yang
tidak pelit mengeluarkan hartanya, baik dalam bentuk zakat, infak dan sedekah.
Bahkan, ketika seseorang menahan hartanya karena kekikiran, maka Allah
subhanahu wata'ala akan menahan rizkinya.
Dari Asma’ binti Abi Bakr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda padaku,
“Janganlah engkau menyimpan harta (tanpa mensedekahkannya). Jika
tidak, maka Allah akan menahan rizki untukmu.”
Dalam riwayat lain disebutkan,
“Infaqkanlah hartamu. Janganlah engkau menghitung-hitungnya
(menyimpan tanpa mau mensedekahkan). Jika tidak, maka Allah akan menghilangkan
barokah rizki tersebut. Janganlah menghalangi anugerah Allah untukmu. Jika
tidak, maka Allah akan menahan anugerah dan kemurahan untukmu.” (HR. Bukhori
dan Muslim)
Bahkan di hadits yang lain Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam
menegaskan bahwa dengan sedekah itu tidak berarti harta kita berkurang. Justru
dengan sedekah itulah kita telah mengundang berbagai kenikmatan dan anugerah
datang kepada kita.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sedekah tidaklah mengurangi harta.”[HR. Muslim]
Semua sabda Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam tersebut
selaras dengan janji Allah subhanahu wata'ala di dalam al-quran. Sebagaimana
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan
menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39).
Kemudian hal ini diperjelas di dalam ayat yang lain,
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat
gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 261)”.
Memberi bukan berarti kita telah kehilangan sesuatu hal yang telah
diberikan kepada pihak lain. Tapi justru dengan memberi kita akan menjadi
bahagia dan berkecukupan. Ada banyak alasan kenapa kita bahagia dengan memberi.
Dengan memberi kita akan merasakan kepuasan yang mendalam. Hal ini
terjadi karena kita merasa bahwa hidup kita bernilai guna untuk orang lain. Hal
ini akan mengundang perasaan tenang, tentram dan senang karena melihat orang
lain tersenyum tersebab kita. Kebahagiaan yang telah kita berikan kepada orang
lain akan kembali kepada kita.
Memberi juga bisa meningkatkan kepercayaan diri. dengan memberi
kita tidak merasa minder karena kita merasa memiliki kontribusi yang baik untuk
orang lain. Tapi ini bukan berarti kita boleh bersikap sombong dan bangga diri
dengan pemberian kita. Justru hal ini bisa menyebabkan pahala kita hilang,
pemberian yang kita berikan kering dan kita hanya menuai kehinaan, baik dimata
Allah subhanahu wata'ala maupun manusia.
Dengan memberi kita juga memiliki nilai jiwa sosial yang tinggi
sehingga hal ini membantu kita untuk selalu dekat dengan sesama. Ada ikatan
yang tercipta dan membuat kita bahagia karena terikat secara batiniah. Selain
dekat dengan sesama, memberi juga bisa merekatkan hubungan kita dengan Sang
Pencipta. Sehingga memberi secara tidak langsung akan meningkatkan nilai
spiritualitas kita. Bahkan memberi adalah manifestasi spiritualitas yang baik.
Silakan telaah kembali kunci pertama tentang spiritualitas dan kebahagiaan.
Tidak Selalu Berbentuk
Harta Benda
Sebenarnya, mendapatkan kebahagiaan memberi itu tidak melulu diperoleh
ketika kita memberikan harta benda atau uang. Apa pun yang bisa kita berikan,
maka itu akan menjadi sumber pahala dan sumber kebahagiaan dalam kehidupan
kita. Yang terpenting dari semua itu adalah kita bisa membantu meringankan
beban yang mereka rasakan dan berusaha memberi kontribusi yang baik untuk
sesama manusia.
Seorang mahasiswa atau pelajar yang pandai tidak segan membagi
ilmunya kepada teman-teman yang lambat daya tangkapnya. Dengan sabar dia
terangkan satu materi kepada temannya hingga temannya paham. tentu dia akan
merasa senang melihat senyum kepuasan di bibir temannya. Dia bahagia telah
membagi ilmunya.
Seorang istri/ suami merasa bahagia ketika dia telah melayani
pasanganannya sehingga pasangannya merasa puas dan cinta kepadanya. Seorang suami
akan bahagia ketika dia memberi uang belanja kepada istrinya dan memberi hadiah
kepada anak yang dia cintai. Pun seorang anak yang berbakti akan sangat bahagia
ketika mampu membantu finansial orang tuanya yang kekurangan.
Memberikan perhatian juga termasuk ke dalam kategori memberi yang bisa
mendatangkan kebahagiaan. Kita sering melihat mereka yang bersikap acuh tak
acuh kepada lawan bicaranya. Seseorang akan merasa bahagia ketika lawan bicara
tidak hanya mendengarkan dengan telinganya, tapi juga dengan matanya. Ia akan
senang ketika lawan bicara tidak sibuk dengan smartphonenya.
Senyuman, sapaan dan salam juga termasuk dari bagian memberi yang
membuat kita bahagia. Senyuman itu bahkan menular dan mendatangkan aura positif
kepada kita dan kepada mereka yang melihat senyuman kita.
Oleh karena kebermanfaatan yang tidak bisa dianggap sepele inilah,
syariat Islam menganjurkan kita untuk menebar salam dan menebar senyuman kepada
saudara kita.
Suatu hari ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah shollallahu
'alaihi wasallam dan bertanya, “Amalan islam apa yang paling baik?” Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Memberi makan (kepada orang
yang butuh) dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenali dan kepada
orang yang tidak engkau kenali. ” (HR. Bukhari)
Kemudian di hadits yang lain Rasulullah shollallahu 'alaihi
wasallam menyebutkan tentang keutamaan senyuman,
“Senyummu terhadap wajah
saudaramu adalah sedekah.” (HR. Tirmidzi).
Sebaiknya tidak mencukupkan diri kita dengan mendengarkan, senyuman
ataupun salam. Jika kita memiliki uang yang lebih, cobalah sesekali untuk
mentraktir teman-teman kita. Sehingga mereka senang dan persahabatan menjadi
hangat.
Ada satu kisah menarik yang bisa menginspirasi kita tentang
kebahagiaan akan kembali kepada kita ketika kita memberikan kebahagiaan pada
orang lain.
Dikisahkan ada sekelompok orang menghadiri seminar. Tiba tiba
pembicara berhenti dan mulai memberi setiap orang sebuah balon. Masing-masing
diminta menuliskan namanya di atasnya dengan menggunakan spidol. Kemudian semua
balon dikumpulkan dan diletakkan di ruangan lain.
Setelah itu, sang trainer meminta para peserta untuk menemukan
balon yang mereka tulis nama mereka di atasnya dalam waktu 5 menit.
Semua orang dengan panik mencari balon milik mereka, mendorong,
bertabrakan satu sama lain, dan terjadi kekacauan. Pada akhir menit kelima,
tidak ada yang bisa menemukan balon mereka sendiri.
Setelah itu, sang trainer meminta para peserta untuk mengumpulkan
balon secara acak dan memberikannya kepada orang yang namanya tertulis di
dalamnya. Dalam beberapa menit semua orang memiliki balon mereka sendiri.
Ini persis terjadi dalam hidup kita. Semua orang dengan panik
mencari kebahagiaan di sekitar, tidak tahu di mana tempatnya. Padahal,
kebahagiaan kita terletak pada kebahagiaan orang lain. Beri mereka kebahagiaan
mereka, kita akan mendapatkan kebahagiaan kita sendiri. Dan inilah tujuan hidup
manusia.
Balasan Sesuai Amal
Ketika kita memberi kebahagiaan maka kita akan memperoleh
kebahagiaan yang sama, bahkan lebih. Pun sebaliknya, ketika kita telah membuat
orang lain rugi dan menderita, maka bisa saja kita akan memperoleh kerugian dan
penderitaan yang sama, lambat atau cepat.
Oleh karena itulah, jika kita ingin menerima kebaikan dari orang
lain, maka berilah kebaikan yang sama. Bukan berarti kita memberi karena
mengharap pamrih atau balasan sejenis. Kita harus melakukannya dengan ikhlas.
Tapi Allah subhanahu wata'ala sudah berjanji dan janji-Nya pasti ditepati.
Janji dari Allah subhanahu wata'ala adalah kebaikan akan berbuah kebaikan.
Ada kisah ilustrasi menarik terkait hubungan timbal balik antara
kebaikan.
Ada seorang petani yang sehari-hari berjualan tepung gandum hasil
olahannya sendiri. Salah satu pelanggan yang selalu menggunakan tepung
buatannya adalah si penjual roti.
Suatu hari si penjual roti merasa penasaran apakah tepung yang ia
beli selama ini beratnya sudah tepat. Entah darimana datangnya rasa ingin tahu
tersebut, yang jelas ia betul-betul mau memastikan detik itu juga. Ia khawatir
si penjual gandum berbuat curang dan mengurangi takarannya.
Maka diambilnya tepung seberat satu kilo yang ia beli dari si
petani, dan ditimbanglah beratnya. Betapa terkejutnya ia, tepung itu hanya 800
gram! Itu berarti si penjual tepung telah berbuat curang, dia telah mengurangi
timbangan. Betapa marahnya si penjual roti.
Tanpa menunggu lama, sembari dikuasai rasa kesal, si penjual roti
segera berlari menuju kediaman si petani dan menuduhnya telah berbuat tidak
jujur. Sedangkan si petani sendiri justru merasa heran karena ia selalu
menimbang dengan takaran yang pas. Tidak dilebih-lebihkan dan tidak pula
dikurang-kurangi.
Singkat cerita, kasus petani dan penjual roti ini dibawa ke
pengadilan. Kini keduanya berhadapan dengan hakim yang sedang bertanya tentang
kejadian tersebut.
"Tuan petani mengapa tepung gandum milikmu tidak tepat takarannya?
Apa kamu sudah menimbangnya?" tanya si hakim kepada si petani.
"Maaf Tuan hakim, saya sebenarnya tidak punya timbangan,"
jawab si petani gandung dengan polos.
Si hakim dan si penjual roti terperangah.
"Lalu bagaimana kamu mengetahui takaran tepungmu ini?"
tanya si hakim dengan mimik heran.
"Aku hanya menggunakan neraca sebagai alat ukur," tanya
si petani gandum.
"Bagaimana caramu menggunakannya?"
"Begini, setiap hari aku membeli roti dari si tukang roti ini.
Aku lihat di kemasan roti itu beratnya satu kilo gram. Maka roti itulah yang
aku gunakan sebagai patokan di sebelah kanan neraca, sedangkan di sebelah kiri
aku pakai untuk tepung. Jika keduanya telah seimbang, berarti tepungku juga
seberat satu kilo. Bukankah begitu Tuan hakim?"
Sampai sini pasti anda sudah paham alur kisah ini. Penjual roti
yang ikut mendengarkan penjelasan petani itu terkejut sekali. Akhirnya ia
mengakui bahwa ia memang mengurangi timbangan roti yang ia jual. Sang hakim pun
menutup kasus ini dan menyatakan si petani tidak bersalah.
Kisah ilustrasi ini mengandung pembelajaran bagi kita semua, bahwa
perbuatan tidak baik yang kita lakukan kepada orang lain, akibatnya hanya akan
kembali kepada diri kita sendiri.
Ketika kita berbuat hal buruk, baik itu perkataan ataupun
perbuatan, maka lambat laun, secara pasti keburukan itu akan kembali kepada
kita. Dan jika pun tidak di dunia, maka di akhirat kita akan memperoleh
balasannya yang berlipat-lipat.
Oleh karena itu perhatikanlah apa yang kita ucap dan apa yang kita
lakukan. Semoga dengan begitu kita berhati-hati. Dan tetaplah berbuat kebaikan
serta meminta kepada Allah subhanahu wata'ala untuk diistiqomahkan dalam
kebaikan.
Ikhlas Ketika Memberi
Memberi itu harus didasari dengan keikhlasan dan tanpa mengharap
pamrih. Memberi tanpa ada landasan ikhlas didalamnya tidak akan mendapatkan
kebahagiaan didalamnya. Alih-alih mendapatkan kebahagiaan ketika memberi,
justru mereka dilanda resah. Resah karena ternyata si penerima pemberian kita
tidak berterimakasih kepada kita. Resah karena ternyata sikap mereka tidak
berubah dan mereka tidak memberikan apa yang kita harapkan, karena kita mengharapkan
timbal balik yang saling menguntungkan. Bahkan kita marah dan murka ketika si
penerima pemberian kita malah bersikap buruk kepada kita. Disinilah keikhlasan
kita diuji. Maka, memberilah dengan ikhlas karena disinilah letak hakikat
kebahagiaan memberi.
Ustadz saya ketika di pondok dulu pernah menasihati saya bahwa
memberi dengan ikhlas itu bisa dianalogikan seperti buang hajat. Kita tidak
pernah menyesal ketika buang hajat walaupun kemarin makan sate paling enak. Karena
kita mengikhlaskan untuk ‘membuangnya’.
Ada kisah menarik tentang pentingya ikhlas ketika memberi. Mari kita
simak kisahnya.
Di suatu pondok yang sederhana, hiduplah seorang guru tua dengan
istrinya. Sang guru sudah puluhan tahun mengajar di sebuah sekolah yang tak
terlalu jauh dari rumahnya. Guru ini sangat baik hati dan dihormati oleh
murid-muridnya.
Suatu hari, seorang mantan muridnya datang ke rumahnya. Ia membawa
seikat ubi yang diamanahkan oleh ayahnya sebagai oleh-oleh pada sang guru.
"Pak guru, saya membawa ubi. Hanya ini yang saya dan keluarga punya untuk
membalas kebaikan bapak," ujarnya.
Melihat muridnya yang lugu dan tulus, sang guru tersentuh.
"Kok repot-repot, Nak? Duduk di sini dulu ya. Kamu pasti capek jauh-jauh
dari desa bawa ubi. Bapak ke belakang dulu," ujar sang guru.
Pria paruh baya itu pun berjalan ke belakang dan menemui istrinya.
"Bu, kita punya apa? Ini muridku bawa ubi," kata pria itu. Sang istri
melihat ke dapurnya. Tidak ada apa-apa selain alat masak, bumbu dapur dan air
minum. "Punya apa kita, Pak? Wong kita cuma punya kambing peliharaan bapak
itu di belakang," jawab istrinya.
Guru itu pun mengangguk-angguk, "Oo.. Ya sudah ini ubinya
disimpan. Buatkan muridku minum ya, Bu. Kita kasih kambing saja," kata
pria itu. Istrinya mengangguk dan membuatkan teh hangat untuk muridnya.
Sementara pria itu mengambil kambing peliharaannya.
"Ini, Nak. Bawa pulang, ya? Bilang terima kasih pada
bapakmu," kata pria itu. Muridnya terkejut, tapi ia sangat berterima kasih
pada gurunya yang memang baik hati itu. Tak lama, ia pun pulang dari pondok
gurunya.
Di jalan, murid ini bertemu dengan temannya. Teman tersebut
bertanya dari mana ia mendapat kambing. Murid yang lugu itupun menceritakan
bagaimana ia membawa ubi hingga dapat kambing. Mendengar cerita itu, murid yang
satu ini tergiur mendapat pemberian yang sama dari gurunya. Ia pun segera
pulang dan menceritakan kejadian itu pada ayahnya.
Sang ayah yang juga tergiur berkata, "Wah, mungkin kalau kamu
bawa kambing, nanti kamu akan diberi sapi, Nak." Begitu pikir ayah dan
anak ini. Kalau mereka memberi yang besar, maka mereka akan menerima yang lebih
besar lagi.
Maka, sore itu pergilah murid yang satu ini membawa kambing ke
rumah gurunya. Sang guru kaget, baru saja ia memberi kambing pada muridnya,
sekarang ia menerima kambing lain yang menggantikan kambingnya. Maka buru-buru
ia menemui istrinya, "Istriku, kita dapat kambing lagi. Alhamdulillah.
Kita cuma punya ubi, ya? Ya sudah berikan saja ubinya untuk muridku,"
ujarnya.
Maka sang guru keluar membawa 3 ikat ubi yang diberikan murid
pertamanya tadi. Melihat apa yang diberikan gurunya, murid kedua ini terkejut.
Antara agak kecewa dan harus tetap senyum di depan gurunya. Maka ia pun pulang
dengan membawa 3 ikat ubi, bukan sapi seperti yang dia harapkan.
Matematika manusia tidak bisa disamakan dengan matematika Tuhan
dalam kebaikan. Berbuat adalah baik bila disertai dengan keikhlasan. Bila
mengharapkan balasan dan ganjaran, belum ikhlas namanya. Berbuat baik
semata-mata karena Tuhan menyukai perbuatan baik itu. Dan lupakan apa yang
sudah kita perbuat, biar hati tenang dan biar Tuhan yang mengurus selebihnya.
Kotak Inspirasi
Tulislah hal-hal yang ingin kamu lakukan untuk bisa membahagiakan
orang-orang disekitarmu
Aku____ingin membahagiakan orang-orang yang aku cintai, orang-orang
disekitarku dan kepada umat manusia pada umumnya dengan cara
1._____________________________________
2. _____________________________________
3. _____________________________________
4. _____________________________________
5. _____________________________________
No comments:
Post a Comment