12 Nov 2018

Bahagia dengan Memberi


Buatlah orang lain tersenyum, maka kita akan menemukan kebahagiaan dari senyuman mereka yang kita tolong.
Al Jaza'u Min Jinsil 'Amal, sesungguhnya pahala itu berbanding lurus dengan amal perbuatan.

Kebahagiaan tidak hanya kita dapatkan ketika kita menerima apa yang kita inginkan, tapi juga kebahagiaan itu akan muncul ketika kita memberi apa yang orang lain harapkan. Karena ketika kita memberi kebahagiaan, maka kebahagiaan itu akan kembali kepada kita. Inilah sunnatullah yang telah Allah subhanahu wata'ala tetapkan.

Seorang Psikolog bernama Erich Fromm menulis sebuah buku berjudul To Have or To Be. Fromm menjelaskan bahwa di dalam diri manusia terdapat dua modus kehidupan.
Pertama, modus To Have (memiliki)
Kedua, modus To Be (menjadi)

Sesesorang yang memiliki modus memiliki memandang bahwa kebabahagiaan itu adalah ketika banyak memiliki hal yang dia harapkan dalam kehidupan. Ia merasa bahagia karena telah memiliki banyak harta, uang dan rumah yang besar serta kendaraan yang bagus. Ia merasa puas ketika tanahnya berada di mana-mana. Jika modus to have ini tidak terkendali, maka hal ini akan menimbulkan sifat kikir dan serakah.

Sebaliknya, seseorang dengan modus menjadi memandang bahwa bahagia itu adalah ketika dirinya merasa berarti bagi orang lain. Kebahagiaan muncul ketika dia bisa berbagi atau memberi. Dia mungkin memiliki uang atau harta yang cukup banyak, tetapi ia merasa bahagia jika harta yang dimilikinya itu bermanfaat bagi orang lain. Oleh karena itulah dia seraca rutin mengeluarkan hartanya untuk membantu orang lain yang membutuhkan dan kesusahan. Ketika dia bisa membantu orang miskin yang terlilit utang, dia merasa bahagia. Ketika bisa membantu biaya sakit bagi pasien yang tidak mampu ia merasa bahagia. Ketika bisa menjadi orang tua asuh bagi anak yatim dia juga bahagia. Ketika bersedekah dan melihat fakir miskin berseri-seri mukanya karena menerima pemberiannya, dia merasa bahagia.

Maka di dalam konteks syariat islam, kita diperintahkan untuk infaq, zakat dan sedekah supaya kita mendapatkan kebahagiaan di dalam kehidupan. Sejatinya, dengan perintah infaq, zakat dan sedekah itulah kita mendapatkan kebahagiaan yang kita harapkan. Allah subhanahu wata'ala Maha Tahu apa yang dibutuhkan hamba-hamba-Nya, maka Dia menjadikan memberi sebagai sumber kebahagiaan bagi orang yang beriman.

Bahkan keajaiban dari memberi ini tidak hanya dirasakan oleh kita sebagai muslim. Hatta, non-muslim sekalipun merasakan hal yang sama. Hal ini menunjukan bahwa ‘sunnatullah’ ini tidak hanya berlaku bagi orang beriman, tapi juga seluruh manusia. Karena memang sunnatulah dari memberi ini akan menerima balasan yang setimpal. Kita yakin bahwa pemberian kita akan mendapatkan balasan, jika tidak di dunia maka kita akan mendapatkannya di akhirat. Bagi mereka yang non-muslim, bisa saja Allah subhanahu wata'ala membalas pemberian mereka di dunia.

Pembawa acara Oprah Winfrey selalu membagi-bagikan hadiah kepada penonton di studio pada acara Oprah Winfrey Show yang dipandunya. Ketika ditanya kenapa dia selalu membagikan hadiah kepada penonton, dia menjawab bahwa dia begitu bahagia melihat wajah-wajah penonton yang gembira ketika menerima hadiah darinya. Meskipun hadiah itu tidak seberapa nilainya, tetapi ada rasa puas dan senang jika ia berhasil membuat orang lain merasa bahagia karena pemberiannya itu.

Kebahagiaan ketika memberi inilah rupanya yang mendorong orang terkaya nomor 2 (Bill Gates dengan kekayaan US$ 53 Milyar) dan nomor 3 dunia (Warren Buffet dengan kekayaan US$ 47 Milyar) menyumbangkan 50 % hartanya untuk berbagai kegiatan sosial dan kemanusiaan. Bahkan tidak hanya mencukupkan diri mereka sendiri, mereka juga mengajak orang-orang terkaya di Amerika serikat untuk melakukan hal yang sama.

Kesimpulannya, kebahagiaan itu tidak hanya timbul ketika uang terus bertambah banyak, tetapi kebahagiaan juga timbul dari memberikan hasil dari jerih payah untuk orang lain yang lebih membutuhkan. Bahkan kebahagiaan ini jauh lebih besar dan langgeng dibanding kebahagiaan ketika kita memperoleh apa yang kita harapkan berupa harta benda.

Seandainya semua orang kaya di dunia ini memiliki pemahaman seperti ini niscaya tidak akan pernah ada korban-korban kelaparan di berbagai belahan dunia. Maka tak heran jika perintah Zakat, Infaq dan sedekah di dalam islam termasuk perintah yang sangat ditekankan. Sampai-sampai Khalifah Abu Bakar ash-Shidiq radiyallahu anhu bersumpah untuk memerangi mereka yang tidak membayar zakatnya.

Menundang Keberkahan Dengan Sedekah


Ketika harta itu dikeluarkan maka keberkahan akan datang. Allah subhanahu wata'ala akan memberi kelimpahan dan kecukupan untuk mereka yang tidak pelit mengeluarkan hartanya, baik dalam bentuk zakat, infak dan sedekah. Bahkan, ketika seseorang menahan hartanya karena kekikiran, maka Allah subhanahu wata'ala akan menahan rizkinya.

Dari Asma’ binti Abi Bakr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padaku,
“Janganlah engkau menyimpan harta (tanpa mensedekahkannya). Jika tidak, maka Allah akan menahan rizki untukmu.”

Dalam riwayat lain disebutkan,
“Infaqkanlah hartamu. Janganlah engkau menghitung-hitungnya (menyimpan tanpa mau mensedekahkan). Jika tidak, maka Allah akan menghilangkan barokah rizki tersebut. Janganlah menghalangi anugerah Allah untukmu. Jika tidak, maka Allah akan menahan anugerah dan kemurahan untukmu.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Bahkan di hadits yang lain Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam menegaskan bahwa dengan sedekah itu tidak berarti harta kita berkurang. Justru dengan sedekah itulah kita telah mengundang berbagai kenikmatan dan anugerah datang kepada kita.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sedekah tidaklah mengurangi harta.”[HR. Muslim]

Semua sabda Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam tersebut selaras dengan janji Allah subhanahu wata'ala di dalam al-quran. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39).

Kemudian hal ini diperjelas di dalam ayat yang lain,
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 261)”.

Memberi bukan berarti kita telah kehilangan sesuatu hal yang telah diberikan kepada pihak lain. Tapi justru dengan memberi kita akan menjadi bahagia dan berkecukupan. Ada banyak alasan kenapa kita bahagia dengan memberi.

Dengan memberi kita akan merasakan kepuasan yang mendalam. Hal ini terjadi karena kita merasa bahwa hidup kita bernilai guna untuk orang lain. Hal ini akan mengundang perasaan tenang, tentram dan senang karena melihat orang lain tersenyum tersebab kita. Kebahagiaan yang telah kita berikan kepada orang lain akan kembali kepada kita.

Memberi juga bisa meningkatkan kepercayaan diri. dengan memberi kita tidak merasa minder karena kita merasa memiliki kontribusi yang baik untuk orang lain. Tapi ini bukan berarti kita boleh bersikap sombong dan bangga diri dengan pemberian kita. Justru hal ini bisa menyebabkan pahala kita hilang, pemberian yang kita berikan kering dan kita hanya menuai kehinaan, baik dimata Allah subhanahu wata'ala maupun manusia.

Dengan memberi kita juga memiliki nilai jiwa sosial yang tinggi sehingga hal ini membantu kita untuk selalu dekat dengan sesama. Ada ikatan yang tercipta dan membuat kita bahagia karena terikat secara batiniah. Selain dekat dengan sesama, memberi juga bisa merekatkan hubungan kita dengan Sang Pencipta. Sehingga memberi secara tidak langsung akan meningkatkan nilai spiritualitas kita. Bahkan memberi adalah manifestasi spiritualitas yang baik. Silakan telaah kembali kunci pertama tentang spiritualitas dan kebahagiaan.

Tidak Selalu Berbentuk Harta Benda


Sebenarnya, mendapatkan kebahagiaan memberi itu tidak melulu diperoleh ketika kita memberikan harta benda atau uang. Apa pun yang bisa kita berikan, maka itu akan menjadi sumber pahala dan sumber kebahagiaan dalam kehidupan kita. Yang terpenting dari semua itu adalah kita bisa membantu meringankan beban yang mereka rasakan dan berusaha memberi kontribusi yang baik untuk sesama manusia.

Seorang mahasiswa atau pelajar yang pandai tidak segan membagi ilmunya kepada teman-teman yang lambat daya tangkapnya. Dengan sabar dia terangkan satu materi kepada temannya hingga temannya paham. tentu dia akan merasa senang melihat senyum kepuasan di bibir temannya. Dia bahagia telah membagi ilmunya.

Seorang istri/ suami merasa bahagia ketika dia telah melayani pasanganannya sehingga pasangannya merasa puas dan cinta kepadanya. Seorang suami akan bahagia ketika dia memberi uang belanja kepada istrinya dan memberi hadiah kepada anak yang dia cintai. Pun seorang anak yang berbakti akan sangat bahagia ketika mampu membantu finansial orang tuanya yang kekurangan.

Memberikan perhatian juga termasuk ke dalam kategori memberi yang bisa mendatangkan kebahagiaan. Kita sering melihat mereka yang bersikap acuh tak acuh kepada lawan bicaranya. Seseorang akan merasa bahagia ketika lawan bicara tidak hanya mendengarkan dengan telinganya, tapi juga dengan matanya. Ia akan senang ketika lawan bicara tidak sibuk dengan smartphonenya.
Senyuman, sapaan dan salam juga termasuk dari bagian memberi yang membuat kita bahagia. Senyuman itu bahkan menular dan mendatangkan aura positif kepada kita dan kepada mereka yang melihat senyuman kita.

Oleh karena kebermanfaatan yang tidak bisa dianggap sepele inilah, syariat Islam menganjurkan kita untuk menebar salam dan menebar senyuman kepada saudara kita.

Suatu hari ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam dan bertanya, “Amalan islam apa yang paling baik?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Memberi makan (kepada orang yang butuh) dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenali dan kepada orang yang tidak engkau kenali. ” (HR. Bukhari)

Kemudian di hadits yang lain Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam menyebutkan tentang keutamaan senyuman,

 “Senyummu terhadap wajah saudaramu adalah sedekah.” (HR. Tirmidzi).

Sebaiknya tidak mencukupkan diri kita dengan mendengarkan, senyuman ataupun salam. Jika kita memiliki uang yang lebih, cobalah sesekali untuk mentraktir teman-teman kita. Sehingga mereka senang dan persahabatan menjadi hangat.

Ada satu kisah menarik yang bisa menginspirasi kita tentang kebahagiaan akan kembali kepada kita ketika kita memberikan kebahagiaan pada orang lain.

Dikisahkan ada sekelompok orang menghadiri seminar. Tiba tiba pembicara berhenti dan mulai memberi setiap orang sebuah balon. Masing-masing diminta menuliskan namanya di atasnya dengan menggunakan spidol. Kemudian semua balon dikumpulkan dan diletakkan di ruangan lain.

Setelah itu, sang trainer meminta para peserta untuk menemukan balon yang mereka tulis nama mereka di atasnya dalam waktu 5 menit.

Semua orang dengan panik mencari balon milik mereka, mendorong, bertabrakan satu sama lain, dan terjadi kekacauan. Pada akhir menit kelima, tidak ada yang bisa menemukan balon mereka sendiri.
Setelah itu, sang trainer meminta para peserta untuk mengumpulkan balon secara acak dan memberikannya kepada orang yang namanya tertulis di dalamnya. Dalam beberapa menit semua orang memiliki balon mereka sendiri.

Ini persis terjadi dalam hidup kita. Semua orang dengan panik mencari kebahagiaan di sekitar, tidak tahu di mana tempatnya. Padahal, kebahagiaan kita terletak pada kebahagiaan orang lain. Beri mereka kebahagiaan mereka, kita akan mendapatkan kebahagiaan kita sendiri. Dan inilah tujuan hidup manusia.

Balasan Sesuai Amal

Ketika kita memberi kebahagiaan maka kita akan memperoleh kebahagiaan yang sama, bahkan lebih. Pun sebaliknya, ketika kita telah membuat orang lain rugi dan menderita, maka bisa saja kita akan memperoleh kerugian dan penderitaan yang sama, lambat atau cepat.

Oleh karena itulah, jika kita ingin menerima kebaikan dari orang lain, maka berilah kebaikan yang sama. Bukan berarti kita memberi karena mengharap pamrih atau balasan sejenis. Kita harus melakukannya dengan ikhlas. Tapi Allah subhanahu wata'ala sudah berjanji dan janji-Nya pasti ditepati. Janji dari Allah subhanahu wata'ala adalah kebaikan akan berbuah kebaikan.

Ada kisah ilustrasi menarik terkait hubungan timbal balik antara kebaikan.

Ada seorang petani yang sehari-hari berjualan tepung gandum hasil olahannya sendiri. Salah satu pelanggan yang selalu menggunakan tepung buatannya adalah si penjual roti.

Suatu hari si penjual roti merasa penasaran apakah tepung yang ia beli selama ini beratnya sudah tepat. Entah darimana datangnya rasa ingin tahu tersebut, yang jelas ia betul-betul mau memastikan detik itu juga. Ia khawatir si penjual gandum berbuat curang dan mengurangi takarannya.

Maka diambilnya tepung seberat satu kilo yang ia beli dari si petani, dan ditimbanglah beratnya. Betapa terkejutnya ia, tepung itu hanya 800 gram! Itu berarti si penjual tepung telah berbuat curang, dia telah mengurangi timbangan. Betapa marahnya si penjual roti.

Tanpa menunggu lama, sembari dikuasai rasa kesal, si penjual roti segera berlari menuju kediaman si petani dan menuduhnya telah berbuat tidak jujur. Sedangkan si petani sendiri justru merasa heran karena ia selalu menimbang dengan takaran yang pas. Tidak dilebih-lebihkan dan tidak pula dikurang-kurangi.

Singkat cerita, kasus petani dan penjual roti ini dibawa ke pengadilan. Kini keduanya berhadapan dengan hakim yang sedang bertanya tentang kejadian tersebut.

"Tuan petani mengapa tepung gandum milikmu tidak tepat takarannya? Apa kamu sudah menimbangnya?" tanya si hakim kepada si petani.

"Maaf Tuan hakim, saya sebenarnya tidak punya timbangan," jawab si petani gandung dengan polos.
Si hakim dan si penjual roti terperangah.

"Lalu bagaimana kamu mengetahui takaran tepungmu ini?" tanya si hakim dengan mimik heran.
"Aku hanya menggunakan neraca sebagai alat ukur," tanya si petani gandum.

"Bagaimana caramu menggunakannya?"

"Begini, setiap hari aku membeli roti dari si tukang roti ini. Aku lihat di kemasan roti itu beratnya satu kilo gram. Maka roti itulah yang aku gunakan sebagai patokan di sebelah kanan neraca, sedangkan di sebelah kiri aku pakai untuk tepung. Jika keduanya telah seimbang, berarti tepungku juga seberat satu kilo. Bukankah begitu Tuan hakim?"

Sampai sini pasti anda sudah paham alur kisah ini. Penjual roti yang ikut mendengarkan penjelasan petani itu terkejut sekali. Akhirnya ia mengakui bahwa ia memang mengurangi timbangan roti yang ia jual. Sang hakim pun menutup kasus ini dan menyatakan si petani tidak bersalah.

Kisah ilustrasi ini mengandung pembelajaran bagi kita semua, bahwa perbuatan tidak baik yang kita lakukan kepada orang lain, akibatnya hanya akan kembali kepada diri kita sendiri.

Ketika kita berbuat hal buruk, baik itu perkataan ataupun perbuatan, maka lambat laun, secara pasti keburukan itu akan kembali kepada kita. Dan jika pun tidak di dunia, maka di akhirat kita akan memperoleh balasannya yang berlipat-lipat.

Oleh karena itu perhatikanlah apa yang kita ucap dan apa yang kita lakukan. Semoga dengan begitu kita berhati-hati. Dan tetaplah berbuat kebaikan serta meminta kepada Allah subhanahu wata'ala untuk diistiqomahkan dalam kebaikan.

Ikhlas Ketika Memberi


Memberi itu harus didasari dengan keikhlasan dan tanpa mengharap pamrih. Memberi tanpa ada landasan ikhlas didalamnya tidak akan mendapatkan kebahagiaan didalamnya. Alih-alih mendapatkan kebahagiaan ketika memberi, justru mereka dilanda resah. Resah karena ternyata si penerima pemberian kita tidak berterimakasih kepada kita. Resah karena ternyata sikap mereka tidak berubah dan mereka tidak memberikan apa yang kita harapkan, karena kita mengharapkan timbal balik yang saling menguntungkan. Bahkan kita marah dan murka ketika si penerima pemberian kita malah bersikap buruk kepada kita. Disinilah keikhlasan kita diuji. Maka, memberilah dengan ikhlas karena disinilah letak hakikat kebahagiaan memberi.

Ustadz saya ketika di pondok dulu pernah menasihati saya bahwa memberi dengan ikhlas itu bisa dianalogikan seperti buang hajat. Kita tidak pernah menyesal ketika buang hajat walaupun kemarin makan sate paling enak. Karena kita mengikhlaskan untuk ‘membuangnya’.

Ada kisah menarik tentang pentingya ikhlas ketika memberi. Mari kita simak kisahnya.

Di suatu pondok yang sederhana, hiduplah seorang guru tua dengan istrinya. Sang guru sudah puluhan tahun mengajar di sebuah sekolah yang tak terlalu jauh dari rumahnya. Guru ini sangat baik hati dan dihormati oleh murid-muridnya.

Suatu hari, seorang mantan muridnya datang ke rumahnya. Ia membawa seikat ubi yang diamanahkan oleh ayahnya sebagai oleh-oleh pada sang guru. "Pak guru, saya membawa ubi. Hanya ini yang saya dan keluarga punya untuk membalas kebaikan bapak," ujarnya.

Melihat muridnya yang lugu dan tulus, sang guru tersentuh. "Kok repot-repot, Nak? Duduk di sini dulu ya. Kamu pasti capek jauh-jauh dari desa bawa ubi. Bapak ke belakang dulu," ujar sang guru.
Pria paruh baya itu pun berjalan ke belakang dan menemui istrinya. "Bu, kita punya apa? Ini muridku bawa ubi," kata pria itu. Sang istri melihat ke dapurnya. Tidak ada apa-apa selain alat masak, bumbu dapur dan air minum. "Punya apa kita, Pak? Wong kita cuma punya kambing peliharaan bapak itu di belakang," jawab istrinya.

Guru itu pun mengangguk-angguk, "Oo.. Ya sudah ini ubinya disimpan. Buatkan muridku minum ya, Bu. Kita kasih kambing saja," kata pria itu. Istrinya mengangguk dan membuatkan teh hangat untuk muridnya. Sementara pria itu mengambil kambing peliharaannya.

"Ini, Nak. Bawa pulang, ya? Bilang terima kasih pada bapakmu," kata pria itu. Muridnya terkejut, tapi ia sangat berterima kasih pada gurunya yang memang baik hati itu. Tak lama, ia pun pulang dari pondok gurunya.

Di jalan, murid ini bertemu dengan temannya. Teman tersebut bertanya dari mana ia mendapat kambing. Murid yang lugu itupun menceritakan bagaimana ia membawa ubi hingga dapat kambing. Mendengar cerita itu, murid yang satu ini tergiur mendapat pemberian yang sama dari gurunya. Ia pun segera pulang dan menceritakan kejadian itu pada ayahnya.

Sang ayah yang juga tergiur berkata, "Wah, mungkin kalau kamu bawa kambing, nanti kamu akan diberi sapi, Nak." Begitu pikir ayah dan anak ini. Kalau mereka memberi yang besar, maka mereka akan menerima yang lebih besar lagi.

Maka, sore itu pergilah murid yang satu ini membawa kambing ke rumah gurunya. Sang guru kaget, baru saja ia memberi kambing pada muridnya, sekarang ia menerima kambing lain yang menggantikan kambingnya. Maka buru-buru ia menemui istrinya, "Istriku, kita dapat kambing lagi. Alhamdulillah. Kita cuma punya ubi, ya? Ya sudah berikan saja ubinya untuk muridku," ujarnya.

Maka sang guru keluar membawa 3 ikat ubi yang diberikan murid pertamanya tadi. Melihat apa yang diberikan gurunya, murid kedua ini terkejut. Antara agak kecewa dan harus tetap senyum di depan gurunya. Maka ia pun pulang dengan membawa 3 ikat ubi, bukan sapi seperti yang dia harapkan.

Matematika manusia tidak bisa disamakan dengan matematika Tuhan dalam kebaikan. Berbuat adalah baik bila disertai dengan keikhlasan. Bila mengharapkan balasan dan ganjaran, belum ikhlas namanya. Berbuat baik semata-mata karena Tuhan menyukai perbuatan baik itu. Dan lupakan apa yang sudah kita perbuat, biar hati tenang dan biar Tuhan yang mengurus selebihnya.

Kotak Inspirasi

Tulislah hal-hal yang ingin kamu lakukan untuk bisa membahagiakan orang-orang disekitarmu
Aku____ingin membahagiakan orang-orang yang aku cintai, orang-orang disekitarku dan kepada umat manusia pada umumnya dengan cara
1._____________________________________
2. _____________________________________
3. _____________________________________
4. _____________________________________
5. _____________________________________

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment