Seorang bocah menelepon ayahnya yang sudah bercerai dengan ibunya.
Pagi itu ibunya yang sakit tidak bisa mengantar anaknya ke sekolah. Jarak rumah ke sekolah jauh. Tubuh si anak lemah.
Anak: "Ayah, antarkan aku sekolah."
Ayah: "Ibumu ke mana?"
Anak: "Ibu sakit, Ayah. Kali ini aku minta Ayah yang mengantarkan aku ke sekolah
Ayah: "Ayah tidak bisa. Ayah nanti terlambat ke kantor. Kamu naik angkot atau ojek saja."
Anak: "Ayah, uang Ibu hanya tinggal sepuluh ribu. Ibu sakit, kami pun belum makan pagi. Tak ada apa-apa di rumah.
Kalau aku pakai uang itu untuk ongkos, kasihan Ibu sakit dan belum makan. Juga, adik-adik nanti makan apa, Ayah?"
Ayah: "Ya sudah, kamu jalan kaki saja ke sekolah, Ayah juga dulu ke sekolah jalan kaki. Kamu anak laki-laki, harus kuat."
Anak: "Ya sudah, terima kasih, Ayah."
Si anak mengakhiri pembicaraan dengan ayahnya. Dihapusnya air mata yang berada di sudut matanya, lalu ia berbalik masuk kamar. Ketika ibunya menatap wajahnya, ia tersenyum
Ibu:"Άpa kata ayahmu, Nak?"
Anak: "Kata Ayah Iya', Bu. Ayah kali ini yang antar aku ke sekolah."
Ibu: "Baguslah, Nak. Sekolahmu jauh, kamu akan kelelahan kalau harus berjalan kaki. Doakan Ibu lekas sembuh ya, biar besok Ibu bisa mengantar kamu ke sekolah."
Anak: "Iya, Bu. Ibu tenang saja, Ayah yang antar. Aku ditunggu Ayah di depan gang.
Ibu: "Berangkatlah, Nak."
Tahun berganti tahun, kenangan itu tertanam di hati si anak. Ia sekolah sampai pascasarjana berkat beasiswa. Setelah lulus, ia bekerja di perusahaan asing dengan gaji yang besar. Dengan penghasilannya, ia membiayai hidup ibunya dan membantu menyekolahkan adik-adiknya sampai sarjana.
Suatu hari ayahnya menelepon
Anak: "Ada apa, Ayah?"
Ayah: "Nak, Ayah sakit, tidak ada yang membantu mengantarkan Ayah ke rumah sakit."
Anak: "Memang istri Ayah ke mana?"
Ayah: "Sudah pergi, Nak, sejak Ayah sakit-sakitan
Anak: "Ayah, aku sedang kerja. Ayah ke rumah sakit pakai taksi saja."
Ayah: "Kenapa kamu begitu? Siapa yang akan mengurus pendaftaran dan mencarikan kamar di rumah sakit? Apakah supir taksi? Kamu anak Ayah masa orangtua sakit kamu tidak mau bantu mengurüs?!
Anak: "Ayah, bukankah Ayah yang mengajariku untuk mengurus diri sendiri? Bukankah Ayah yang mengajariku bahwa pekerjaan lebih penting daripada istri sakit dan anak? Ayah, aku masih ingat, suatu pagi aku menelepon Ayah minta diantar ke sekolah.
Waktu itu Ibu sakit. Ibu yang selalu mengantar kami, anak-anaknya. Dia mengurus kami seorang diri. Ayah menyuruhku pergi jalan kaki padahal tubuhku lemah, sekolahku jauh. Ayah bilang anak laki-laki harus kuat.
Ayah pun dulu berialan kaki ke sekolah. Ayah lakukan demikian maka aku pun harus lakukan hal yg sama. Saat aku sakit pun hanya Ibu yang mengurusku. Saat aku membutuhkan Ayah, aku ingat nasihat Ayah, anak laki-laki harus kuat.
Ayah tahu? Hari itu kali pertamanya aku berbohong kepada Ibu. Aku bilang ayah yang akan mengantar ke sekolah dan memintaku menunggu di depan gang. Ayah tahu? Aku jalan kaki seperti yang ayah suruh.
Di tengah jalan Ibu menyusul dengan sepeda. Ibu tahu warna jiwaku bukan pembohong. Dalam kondisi demam Ibu mengayuh sepeda mengantarkanku ke sekolah. Ayah yang mengajariku bahwa pekerjaan itu utama. Ayah mengajariku kalau ayah saja bisa, walaıu tubuhku lemah, aku pun harus bisa."
Si ayah gemetar di seberang telepon. Baru disadarinya betapa dalam luka yang ia torehkan di hati anaknya.
NB: Kisah ini bukan mengajarkan kita untuk balas dendam terhadap keburukan orang tua, tapi untuk menjadi renungan bagi orang tua dalam mendidik anak-anaknya.
No comments:
Post a Comment