16 Oct 2018

Nostalgia Satu Malam


Langkah Meta terhenti sejenak ketika dia melihat ada pria yang duduk di sebelah  Ibu Lita, mantan mertuanya. Siapa lagi kalau bukan anaknya, Salman. Lelaki yang telah meninggalkann sepenggal episode di masa lalunya.
Tannpaknya Ibu Lita dan Salman sama-sama menyadari kedatangannya. Mereka berdua tersenyum lebar dan mentapanya dengan sorot mata yang berbinar. Sementara Razi yang berada di sampingnya langsung menghambur ke arah neneknya.

“Nenek!! Razi rindu nenek!” teriak anak semata wayangnya. Wajar saja dia rindu. Sudah sebulan ini dia tidak bertemu mantan mertuanya itu.

Sial! Kenapa mantan mertuanya tidak memberi tahu tentang kehadiran Salman? Apakah dia sengaja tidak memberitahukannya dan bahkan dengan sengaja menjebaknya dalam kondisi seperti ini. Terpaksa duduk semeja dalam makan malam yang canggung dan menyebalkan. Dengan seorang pria yang telah menorehkan luka di masa lalu?

Razi sibuk dengan histeria ketika dia dipeluk Salman dan berteriak manja dengan teriakan, “Papa! Kapan papa datang?”
Meta melangkah dengan hati gamang dan dipenuhi keraguan. dia mencium pipi mantan ibu mertuanya. Seperti biasa, dia menyayanginya sebagaimana dia menyayangi kemurahan hati wanita itu ketika dia masih menjadi istri Salman, anak tunggalnya.

“Hai, bagaimana kabarmu, Meta.” Rupanya elaki itu berinisiatif lebih dulu menyapanya sebelum dia bingung memikirkan kata.
“Hai, aku baik. Kapan datang?” tanyaku dengan suara yang bergetar dan terdengar sumbang.
“Kemarin sore.” Jawabnya pendek. Sama canggungnya dengan pertanyaanku barusan.  Dia tanpak salah tingkah dan sepertinya tidak cukup berani untuk menatapku.
“Salman datang ke Indonesia untuk melakukan penelitian program doktoralnya.” Kali ini mamannya melengkapi informasi.
Meta hanya mengangguk dan membulatkan bibirnya. Kemudian duduk di samping mantan ibu mertuanya. Sementara Razi tanpaknya lebih nyaman menempel di sisi papanya. Setelah dua tahun lamanya mereka hanya melihat satu sama lain via video call, kali ini mereka bisa dekat secara fisik.

Tak berapa lama seorang waitress datang dengan busana ala jepangnya dan menanyakan pesanan. Ibu Lita menanyakan pesanan mereka dan mereka menyebutkan apa yang mereka inginkan. Pelayan itu mencatatnya dan pergi untuk menyajikan pesanan si pengunjung.

“Meta.” Ujar Ibu Lita dengan satu helaan napas. Mata sayunya melihat ke arah Meta dengan tatapan penuh arti.

“Ya bu?”

“Maafkan ibu karena tidak menyebutkan soal Salman dalam acara makan malam kita.”

Salman tanpak menunduk dan bergerak tidak nyaman di kursinya.sementara Meta bisa menebak alur dari semua hal ini.

“ Tapi jika ibu mengatakan Salman akan datang, kamu pasti akan menolak datang dengan alasan yang kamu lontarkan. Maafkan ibu sayang.”

“Tidak ada yang salah bu.” Jawab Meta. Walaupun dia tahu bahwa kata-kata yang baru saja keluar dari mulutnya adalah kebohongan yang sempurna. Jelas ini salah dan jelas dia merasa terganggu dan marah terhadap mantan ibu mertuanya. Tapi sekali lagi, kekecewaan ini tidak akan sampai hati dia utarakan kepada wanita paruh baya yang baik hati ini.

Wanita itu kembali menghela napas. Beberapa detik kemudian Meta baru menyadari bahwa kedua mata sayunya berkaca-kaca. “Ibu hanya ingin bernostalgia tentang masa lalu kita. Ibu ingin merasakan nuansa makan malam lima tahun yang lalu. Di tempat yang sama di waktu yang sama dan dalam keadaan yang paling tidak mungkin ibu lupakan.

Meta mengangguk dan menghela napas. Berusaha tersenyum dan meremas tangan keriput perempuan baruh baya itu. Ekor matanya memandu dia untuk melirik sekilas Salman. Lelaki itu tanpaknya melakukan hal yang sama dan tanpak ada ketidaknyamanan diantara mereka berdua.

 “Waktu itu Razi belum lahir, jadi hanya kita bertiga duduk di sini.” Kali ini suara bariton Salman melengkapi semua percakapan itu. Dan untuk kali ini dia berani menatap Meta dan tersenyum lebar.
Meta mengangguk dan berusaha tersenyum.

“Ibu tahu kalian tidak nyaman dengan pertemuan ini. Tapi....ibu menginginkan moment seperti ini. Jadi maafkan ibu.”

“Tak masalah bu.” Jawab Meta. Dan saat itu kecanggungan buyar dengan datangnya si waitress mengantarkan pesanan mereka.

Mereka pun berusaha menghangatkan semua kebekuan dengan pembicaraan normal satu sama lain. Tapi di hatinya yang terdalam Meta merasakan kedamaian dan entah kenapa tiba-tiba timbul geletar perasaan aneh. Geletar rasa rindu yang selama ini dia simpan dan sembunyikan. Dia tidak memungkiri bahwa dia masih berharap bisa melihat kembali lelaki yang kini duduk satu meter di hadapannya.

***

“Salman, kamu bisa mengantar Meta pulang kan?” tanya Lita kepada anak lelakinya dan sorot mata tuanya menyiratkan bahwa dia tidak menginginkan penolakan.

“Lho, kan katanya aku harus ngantar ibu ke rumah Paman Sandi buat mengambil sampel batik.”
“Ibu naik taksi aja. Lagian Razi terus nempel sama kamu.” Jawab Lita, “iya kan sayang?” kali ini dia menoleh kepada Razi yang masih menggelayut manja di bahu Salman.

“Iya, Razi kangen sama Papa. Kalo bisa papa nginep di rumah Razi.”

Lita tertawa, “Atau nanti Razi menginap di rumah nenek. Tidur bareng papa ya.”
Razi berjingkrak-jingkrak senang. Meta menghela napas. Ada senyum lebar di hatinya tapi dia tidak kuasa menampakan senyum gaib itu lewat bibirnya.
Akhirnya jadilah Salman mengantarkan mereka berdua pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan mereka tidak memiliki topik percakapan yang bagus selain percakapan yang tidak penting hanya untuk menghilangkan kecanggungan.
“Bagaimana kehidupanmu di Amsterdam?”
“Ya seperti itulah.  Aku sibuk dengan program doktoralku. Aku harap setelah kelar nanti bisa kembali ke indonesia dan mengelola perusahaan konveksi ibu.”
“Baguslah kalau begitu, kamu menjadi penerus perusahaan keluarga. Jadi pengusaha batik.”
Salman tersenyum dan kembali dengan pertanyaan, “Bagaimana dengan kamu sendiri.”
“Tak ada perubahan yang berarti. Aku sibuk dengan deadline di majalah. Sibuk dengan Razi yang semakin hari semakin merepotkan dan nakal.”
“Mama! mama kan bilang aku bukan anak nakal. Kata mama aku anak pintar, kan?” tiba-tiba mulut kecil Razi mengeluarkan protes dari jok belakang. Salman dan Meta tertawa bersamaan.
pada akhirnya mereka bisa memulai percakapan itu dengan normal hingga tak terasa mobil avanza itu telah sampai di depan rumah Meta.
“Terimakasih banyak.” Ujar Meta dengan senyuman dan bersiap membuka pintu.
“Tunggu.”
Meta membalikan badan dan menatap Salman dengan tatapan penuh tanya serta waspada.
“Aku hanya ingin bertanya beberapa hal.”
“Ya?”
“Kita sudah berpisah selama dua tahun setengah, kalo nggak salah.”
“Ya, memang.”
“Apakah kamu tidak berniat untuk menikah lagi? Tidakkah ada pria lain yang mengisi kekosongan hatimu.”
Pertanyaan itu? Apa maksud dia melontarkan pertayaan seperti itu? Meta tertegun dan tidak tahu harus menjawab apa. Tapi pada akhirnya dia bisa menguasai dirinya dan balik bertanya dengan penuh kemenangan. “Kamu sendiri, kenapa kamu tidak menikah lagi, tidakkah ada wanita lain yang menarik perhatianmu? Aku kira setelah kita berpisah, kamu akan menikah dengan Rina Hasana.”
Meta tahu pertanyaan itu pertanyaan yang tajam dan menohok. Mana bisa dia lupa terhadap Rina, wanita yang membuat rumah tangganya hancur. Wanita yang membuat dia berani meminta cerai dari Salman. Dua setengah tahun yang lalu. Waktu yang bagi Meta serasa baru hari kemarin terjadi.
Salman menunduk dan menghela napas. “Aku kira kamu sudah memaafkanku.”
“Aku sudah memaafkanmu, Salman. Tapi bukan berarti pertanyaanku barusan sebagai indikasi aku belum memaafkanmu. Maaf, itu pertanyaan refleks. Seharusnya aku tidak...”
“Tidak mengapa....aku memang salah. Tapi kau ingin tahu alasan kenapa aku tidak ingin menikah lagi?”
Meta terdiam dan mencoba menebak arah pembicaraan..
Salman menghela napas panjang. “Aku selalu berharap kita bisa merajut kehidupan kita seperti sedia kala. Aku tak ingin jauh dari Razi dan...”
“Jika alasannya adalah karena Razi, aku sudah memberimu hak dengan membiarkan kamu bebas menghubunginya kapan pun. Bahkan jika kelak dia memilih bersamamu, aku rela.”
Salman menatap Meta dengan tatapan penuh arti, “Itu saja tidak cukup.”
Meta tahu apa maksud dari semua ini. Dia hanya menghela napas dan mencoba menahan bulir-bulir air mata yang semakin terasa mamanas di kedua kelopak matanya.
“Meta, bisakah kita merajut ulang kehidupan kita. Perpisahan dua tahun setengah ini kita bisa akhiri.”
Meta tak bisa menahan air matanya. antara bahagia dan rasa rindu yang membuncah telah membobol semua sendi di hatinya.
***
“Meta...”
Itu suara lembut Salman yang kini tengah berada di sampingnya dengan senyuman menawan dan senyuman indah yang pernah Meta lihat dalam hidupnya.
“Meta...”
Tapi tunggu, kenapa suara Salman berubah menjadi kecil dan terkesan seperti suara...seorang perempuan.
“Meta!’ kali ini suara Salman yang berubah menjadi suara perempuan itu meninggi sehingga membuat Meta tergeragap. Itu bukan suara Salman. Itu suara kakaknya, Lisa yang menyorongkan smartphone ke depan mukanya.
“Tidurmu nyenyak banget sampai-sampai panggilan masuk pun nggak kamu dengar.”
“Dari siapa?” tanya Meta dan berusaha menahan rasa kantuk.
“Dari mantan ibu mertuamu.” Jawab Lisa dan berlalu dari hadapannya, meneruskan pekerjaan yang tertunda.
Meta menekan tombol, “Ya bu?”
“Meta...” seru mantan ibu mertuanya. Kemudian setelah itu diiringi isakan yang semakin menjadi.
“Ada apa bu?” tanya Meta. Ada apa? Kenapa mantan ibu mertuanya itu menangis di pagi buat seperti ini?
“Salman... Salman terkena musibah. Mobilnya menabrak pohon.” isak itu memotong kata-katanya. “Dia sudah berada di rumah sa-sakit..” isak lagi, ‘Dan dokter memintaku kesini. Dan...Dia sudah pe-pergi...”
Dunia seakan berputar dan langit seakan runtuh. Meta tidak bisa menahan gejolak di hatinya. Ponsel itu jatuh dari tangannya menimpa lantai. Dia menggelosor dan berpegangan di tempat tidur. Seakan semua tulang belulangnya dilolosi. Dia seperti seonggok daging yang tidak memiliki kekuatan. Dia menangis dengan tangisan paling pilu.
Salman, lelaki yang telah mengisi nostalgia di malam kemarin sudah tiada? Oh Tuhan, Meta berharap andai itu hanya mimpi. Lalu bagaimana janji mereka tentang merajut hidup mereka yang baru?
Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment