Langkah Meta terhenti sejenak ketika dia melihat ada
pria yang duduk di sebelah Ibu Lita,
mantan mertuanya. Siapa lagi kalau bukan anaknya, Salman. Lelaki yang telah
meninggalkann sepenggal episode di masa lalunya.
Tannpaknya Ibu Lita dan Salman sama-sama menyadari
kedatangannya. Mereka berdua tersenyum lebar dan mentapanya dengan sorot mata
yang berbinar. Sementara Razi yang berada di sampingnya langsung menghambur ke
arah neneknya.
“Nenek!! Razi rindu nenek!” teriak anak semata wayangnya.
Wajar saja dia rindu. Sudah sebulan ini dia tidak bertemu mantan mertuanya itu.
Sial! Kenapa mantan mertuanya tidak memberi tahu
tentang kehadiran Salman? Apakah dia sengaja tidak memberitahukannya dan bahkan
dengan sengaja menjebaknya dalam kondisi seperti ini. Terpaksa duduk semeja
dalam makan malam yang canggung dan menyebalkan. Dengan seorang pria yang telah
menorehkan luka di masa lalu?
Razi sibuk dengan histeria ketika dia dipeluk Salman
dan berteriak manja dengan teriakan, “Papa! Kapan papa datang?”
Meta melangkah dengan hati gamang dan dipenuhi
keraguan. dia mencium pipi mantan ibu mertuanya. Seperti biasa, dia
menyayanginya sebagaimana dia menyayangi kemurahan hati wanita itu ketika dia
masih menjadi istri Salman, anak tunggalnya.
“Hai, bagaimana kabarmu, Meta.” Rupanya elaki itu
berinisiatif lebih dulu menyapanya sebelum dia bingung memikirkan kata.
“Hai, aku baik. Kapan datang?” tanyaku dengan suara
yang bergetar dan terdengar sumbang.
“Kemarin sore.” Jawabnya pendek. Sama canggungnya dengan
pertanyaanku barusan. Dia tanpak salah
tingkah dan sepertinya tidak cukup berani untuk menatapku.
“Salman datang ke Indonesia untuk melakukan penelitian
program doktoralnya.” Kali ini mamannya melengkapi informasi.
Meta hanya mengangguk dan membulatkan bibirnya.
Kemudian duduk di samping mantan ibu mertuanya. Sementara Razi tanpaknya lebih
nyaman menempel di sisi papanya. Setelah dua tahun lamanya mereka hanya melihat
satu sama lain via video call, kali ini mereka bisa dekat secara fisik.
Tak berapa lama seorang waitress datang dengan busana
ala jepangnya dan menanyakan pesanan. Ibu Lita menanyakan pesanan mereka dan
mereka menyebutkan apa yang mereka inginkan. Pelayan itu mencatatnya dan pergi
untuk menyajikan pesanan si pengunjung.
“Meta.” Ujar Ibu Lita dengan satu helaan napas. Mata
sayunya melihat ke arah Meta dengan tatapan penuh arti.
“Ya bu?”
“Maafkan ibu karena tidak menyebutkan soal Salman
dalam acara makan malam kita.”
Salman tanpak menunduk dan bergerak tidak nyaman di
kursinya.sementara Meta bisa menebak alur dari semua hal ini.
“ Tapi jika ibu mengatakan Salman akan datang, kamu
pasti akan menolak datang dengan alasan yang kamu lontarkan. Maafkan ibu
sayang.”
“Tidak ada yang salah bu.” Jawab Meta. Walaupun dia
tahu bahwa kata-kata yang baru saja keluar dari mulutnya adalah kebohongan yang
sempurna. Jelas ini salah dan jelas dia merasa terganggu dan marah terhadap
mantan ibu mertuanya. Tapi sekali lagi, kekecewaan ini tidak akan sampai hati
dia utarakan kepada wanita paruh baya yang baik hati ini.
Wanita itu kembali menghela napas. Beberapa detik
kemudian Meta baru menyadari bahwa kedua mata sayunya berkaca-kaca. “Ibu hanya
ingin bernostalgia tentang masa lalu kita. Ibu ingin merasakan nuansa makan
malam lima tahun yang lalu. Di tempat yang sama di waktu yang sama dan dalam
keadaan yang paling tidak mungkin ibu lupakan.
Meta mengangguk dan menghela napas. Berusaha tersenyum
dan meremas tangan keriput perempuan baruh baya itu. Ekor matanya memandu dia
untuk melirik sekilas Salman. Lelaki itu tanpaknya melakukan hal yang sama dan
tanpak ada ketidaknyamanan diantara mereka berdua.
“Waktu itu Razi
belum lahir, jadi hanya kita bertiga duduk di sini.” Kali ini suara bariton
Salman melengkapi semua percakapan itu. Dan untuk kali ini dia berani menatap Meta
dan tersenyum lebar.
Meta mengangguk dan berusaha tersenyum.
“Ibu tahu kalian tidak nyaman dengan pertemuan ini.
Tapi....ibu menginginkan moment seperti ini. Jadi maafkan ibu.”
“Tak masalah bu.” Jawab Meta. Dan saat itu
kecanggungan buyar dengan datangnya si waitress mengantarkan pesanan mereka.
Mereka pun berusaha menghangatkan semua kebekuan
dengan pembicaraan normal satu sama lain. Tapi di hatinya yang terdalam Meta
merasakan kedamaian dan entah kenapa tiba-tiba timbul geletar perasaan aneh.
Geletar rasa rindu yang selama ini dia simpan dan sembunyikan. Dia tidak
memungkiri bahwa dia masih berharap bisa melihat kembali lelaki yang kini duduk
satu meter di hadapannya.
***
“Salman, kamu bisa mengantar Meta pulang kan?” tanya
Lita kepada anak lelakinya dan sorot mata tuanya menyiratkan bahwa dia tidak
menginginkan penolakan.
“Lho, kan katanya aku harus ngantar ibu ke rumah Paman
Sandi buat mengambil sampel batik.”
“Ibu naik taksi aja. Lagian Razi terus nempel sama
kamu.” Jawab Lita, “iya kan sayang?” kali ini dia menoleh kepada Razi yang
masih menggelayut manja di bahu Salman.
“Iya, Razi kangen sama Papa. Kalo bisa papa nginep di
rumah Razi.”
Lita tertawa, “Atau nanti Razi menginap di rumah
nenek. Tidur bareng papa ya.”
Razi berjingkrak-jingkrak senang. Meta menghela napas.
Ada senyum lebar di hatinya tapi dia tidak kuasa menampakan senyum gaib itu
lewat bibirnya.
Akhirnya jadilah Salman mengantarkan mereka berdua
pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan mereka tidak memiliki topik percakapan
yang bagus selain percakapan yang tidak penting hanya untuk menghilangkan
kecanggungan.
“Bagaimana kehidupanmu di Amsterdam?”
“Ya seperti itulah.
Aku sibuk dengan program doktoralku. Aku harap setelah kelar nanti bisa
kembali ke indonesia dan mengelola perusahaan konveksi ibu.”
“Baguslah kalau begitu, kamu menjadi penerus
perusahaan keluarga. Jadi pengusaha batik.”
Salman tersenyum dan kembali dengan pertanyaan,
“Bagaimana dengan kamu sendiri.”
“Tak ada perubahan yang berarti. Aku sibuk dengan
deadline di majalah. Sibuk dengan Razi yang semakin hari semakin merepotkan dan
nakal.”
“Mama! mama kan bilang aku bukan anak nakal. Kata mama
aku anak pintar, kan?” tiba-tiba mulut kecil Razi mengeluarkan protes dari jok
belakang. Salman dan Meta tertawa bersamaan.
pada akhirnya mereka bisa memulai percakapan itu
dengan normal hingga tak terasa mobil avanza itu telah sampai di depan rumah
Meta.
“Terimakasih banyak.” Ujar Meta dengan senyuman dan
bersiap membuka pintu.
“Tunggu.”
Meta membalikan badan dan menatap Salman dengan tatapan
penuh tanya serta waspada.
“Aku hanya ingin bertanya beberapa hal.”
“Ya?”
“Kita sudah berpisah selama dua tahun setengah, kalo
nggak salah.”
“Ya, memang.”
“Apakah kamu tidak berniat untuk menikah lagi?
Tidakkah ada pria lain yang mengisi kekosongan hatimu.”
Pertanyaan itu? Apa maksud dia melontarkan pertayaan
seperti itu? Meta tertegun dan tidak tahu harus menjawab apa. Tapi pada
akhirnya dia bisa menguasai dirinya dan balik bertanya dengan penuh kemenangan.
“Kamu sendiri, kenapa kamu tidak menikah lagi, tidakkah ada wanita lain yang
menarik perhatianmu? Aku kira setelah kita berpisah, kamu akan menikah dengan
Rina Hasana.”
Meta tahu pertanyaan itu pertanyaan yang tajam dan
menohok. Mana bisa dia lupa terhadap Rina, wanita yang membuat rumah tangganya
hancur. Wanita yang membuat dia berani meminta cerai dari Salman. Dua setengah
tahun yang lalu. Waktu yang bagi Meta serasa baru hari kemarin terjadi.
Salman menunduk dan menghela napas. “Aku kira kamu
sudah memaafkanku.”
“Aku sudah memaafkanmu, Salman. Tapi bukan berarti
pertanyaanku barusan sebagai indikasi aku belum memaafkanmu. Maaf, itu
pertanyaan refleks. Seharusnya aku tidak...”
“Tidak mengapa....aku memang salah. Tapi kau ingin
tahu alasan kenapa aku tidak ingin menikah lagi?”
Meta terdiam dan mencoba menebak arah pembicaraan..
Salman menghela napas panjang. “Aku selalu berharap
kita bisa merajut kehidupan kita seperti sedia kala. Aku tak ingin jauh dari
Razi dan...”
“Jika alasannya adalah karena Razi, aku sudah
memberimu hak dengan membiarkan kamu bebas menghubunginya kapan pun. Bahkan
jika kelak dia memilih bersamamu, aku rela.”
Salman menatap Meta dengan tatapan penuh arti, “Itu
saja tidak cukup.”
Meta tahu apa maksud dari semua ini. Dia hanya
menghela napas dan mencoba menahan bulir-bulir air mata yang semakin terasa
mamanas di kedua kelopak matanya.
“Meta, bisakah kita merajut ulang kehidupan kita.
Perpisahan dua tahun setengah ini kita bisa akhiri.”
Meta tak bisa menahan air matanya. antara bahagia dan
rasa rindu yang membuncah telah membobol semua sendi di hatinya.
***
“Meta...”
Itu suara lembut Salman yang kini tengah berada di
sampingnya dengan senyuman menawan dan senyuman indah yang pernah Meta lihat
dalam hidupnya.
“Meta...”
Tapi tunggu, kenapa suara Salman berubah menjadi kecil
dan terkesan seperti suara...seorang perempuan.
“Meta!’ kali ini suara Salman yang berubah menjadi
suara perempuan itu meninggi sehingga membuat Meta tergeragap. Itu bukan suara
Salman. Itu suara kakaknya, Lisa yang menyorongkan smartphone ke depan mukanya.
“Tidurmu nyenyak banget sampai-sampai panggilan masuk
pun nggak kamu dengar.”
“Dari siapa?” tanya Meta dan berusaha menahan rasa
kantuk.
“Dari mantan ibu mertuamu.” Jawab Lisa dan berlalu
dari hadapannya, meneruskan pekerjaan yang tertunda.
Meta menekan tombol, “Ya bu?”
“Meta...” seru mantan ibu mertuanya. Kemudian setelah
itu diiringi isakan yang semakin menjadi.
“Ada apa bu?” tanya Meta. Ada apa? Kenapa mantan ibu
mertuanya itu menangis di pagi buat seperti ini?
“Salman... Salman terkena musibah. Mobilnya menabrak
pohon.” isak itu memotong kata-katanya. “Dia sudah berada di rumah sa-sakit..”
isak lagi, ‘Dan dokter memintaku kesini. Dan...Dia sudah pe-pergi...”
Dunia seakan berputar dan langit seakan runtuh. Meta
tidak bisa menahan gejolak di hatinya. Ponsel itu jatuh dari tangannya menimpa
lantai. Dia menggelosor dan berpegangan di tempat tidur. Seakan semua tulang
belulangnya dilolosi. Dia seperti seonggok daging yang tidak memiliki kekuatan.
Dia menangis dengan tangisan paling pilu.
Salman, lelaki yang telah mengisi nostalgia di malam
kemarin sudah tiada? Oh Tuhan, Meta berharap andai itu hanya mimpi. Lalu
bagaimana janji mereka tentang merajut hidup mereka yang baru?
No comments:
Post a Comment