Dikisahkan bahwa pada suatu hari, di Masjidil Haram seorang guru tengah menyampaikan ilmu kepada murid-muridnya.
Dengan lugas, jelas dan komunikatif, guru tersebut mengajarkan materi fiqih, muamalah, jinayah, dan hukum-hukum. Namun, ada yang ganjil dalam majelis itu, ternyata sang guru tampak jauh lebih muda daripada murid-muridnya.
Bahkan, di tengah prosesi belajar mengajar, ia sempat meminta izin untuk minum, padahal siang itu adalah Bulan Ramadhan.
Sontak saja “ulah” sang guru menuai protes dari murid-murid yang berada di sekitarnya. Mereka merasa aneh dengan tingkah nyeleneh gurunya.
“Kenapa engkau minum, padahal ini bulan Ramadhan?” tanya para murid dengan nada heran.
Dengan singkat sang guru menjawab, “Karena aku belum wajib berpuasa.”
Ya, si guru belum memasuki usia baligh sehingga tidak diwajibkan berpuasa.
Lalu, siapakah guru yang terlihat nyeleneh tersebut? Ternyata, ia adalah Muhammad Idris Asy-Syafi’i, yang lebih dikenal dengan Imam Syafi’I rahimahullah. Seorang ulama besar yang menjadi peletak dasar mazhab yang diikuti sebagian besar umat islam di dunia.
Disebutkan bahwa Imam asy-Syafii rahimahullah adalah seorang mufti atau orang yang mengeluarkan fatwa atau semacam hakim agung di usianya yang masih muda.
Perlu diketahui bahwa pada usia belum baligh, Imam Syafi’i sudah menjadi ulama yang disegani. Usia sembilan tahun sudah hafal Al-Quran. Usia sepuluh tahun, isi kitab Al Muwatha’ karya Imam Malik yang berisi lebih dari seribu hadits pilihan juga mampu dihafalnya dengan sempurna.
Pada usia 15 tahun, ia telah menduduki jabatan mufti di Kota Makkah. Yakni, sebuah jabatan prestisius pada masa itu. Bahkan, di bawah usia 15 tahun, Imam Syafi’i sudah dikenal mumpuni dalam bidang bahasa dan sastra Arab.
Di usia yang terbilang muda, Imam Syafi’I rahimahullah juga hebat dalam membuat syair, jago qiraat, serta diakui memiliki pengetahuan yang luas tentang adat istiadat Arab yang asli. Subhanallah. Sungguh anugerah yang besar untuk umat islam.
Dari sepenggal kisah hidup sang Imam Syafi’I tersebut kita bisa mendapat pelajaran yang berharga, bahwa kehidupan seseorang itu ditentukan oleh kerja keras dan usahanya. Dan yang terpenting adalah usaha dan kerja keras untuk mendapatkan keridhoan dari Allah, dan memberi manfaat untuk sesama. Sebagaimana yang dilakukan Imam Syafi’i. kecil-kecil sudah jadi mufti dan ulama.
Setiap diri kita memiliki waktu dan kesempatan yang sama. Hanya saja kita menyikapinya dengan sikap yang berbeda-beda. Itulah kenapa kita memiliki hasil yang berbeda. Kita sama-sama memiliki waktu 24 jam dalam sehari semalam, 7 hari dalam sepekan, 30 hari dalam sebulan. Akan tetapi, setiap orang berbeda-beda dalam memanfaatkan waktu sehingga hasil dan kualitas hidup mereka juga berbeda. Termasuk hasil di akhirat juga berbeda. Ada yang masuk ke dalam surga, ada yang mampir ke neraka, bahkan ada yang kekal di neraka. Naudzubillah.
Sebagai penutup marilah kita simak kisah syaikh Muhammad al-Arifi untuk menjadi bahan renungan bersama.
Suatu hari, Syaikh Abdullah Bin Baz tengah mengisi ceramah di sebuah masjid. Saat itu Muhammad al-arifi juga turut menyimak. Setelah kajian bubar, Muhammad al-Arifi bertemu dengan seorang lelaki tua. Mereka mengobrol hingga lelaki itu berkata, “Kamu tahu tidak, aku dahulu satu kelas dengan Syaikh bin Baz. Aku juga bahkan sering berdiskusi dengannya.”
Maka bergumam Muhammad al-Arifi di hatinya, “Lalu kenapa engkau tidak seperti beliau? Bukankah engkau satu kelas dengan beliau?”
Jangan sampai kita hanya menjadi pengagum dan cukup menjadi penonton, sementara orang lain sudah melakukan banyak kebaikan dan menebar manfaat untuk orang lain.
Semoga menginspirasi
Artikel ini pernah dimuat di akun Plukme penulis >> https://www.plukme.com/post/memaksimalkan-potensi-5bb7018dabd7c
No comments:
Post a Comment