24 Oct 2018

Ilham


Keringat membahasi sekujur tubuhnya, terutama di punggunnya yang ringkih sehingga membuat kaus katun berwarna abu-abu itu terasa lengket di sepanjang garis punggung dan bahu. Sementara kedua tangannya juga ikut basah oleh keringat sialan itu. Sehingga setir yang dia pegang jadi licin. Pun peluh mengalir di dahi menyusuri garis hidungnya yang tajam dan menetes diujungnya. 

Mencoba mempermaikan andrenalinnya yang semakin memuncak seiring menit yang berlalu.

Satu meter di hadapannya, jurang lebar mengangga. Siap memeluk tubuhnya kapan pun dia mau. Kapan pun dia siap menerjunkan tubuhnya yang menjadi sarang kanker sial itu ke dalam bebatuan curam.

Jantungnya berdegup semakin kencang dan membuat tangannya yang tirus semakin bergetar tidak karuan.

Oh tuhan, kenapa aku segugup ini. Tidakkah kau mengizinkanku untuk segera mengakhiri kehidupanku yang sial ini.

“Maafkan saya Aldi. Saya tidak bisa berbuat banyak lagi. Paling tidak kamu memiliki kehidupan selama dua bulan kedepan. Nikmati hidupmu dan berdoalah kepada Tuhan supaya Dia mendatangkan keajaiban.”


Itu adalah kata-kata Dokter Franz yang selalu tergiang-ngiang di benaknya. Kanker hati itu telah melumat rogan hatinya, merambat ke paru-paru dan sebentar lagi jantung akan menjadi sasaran keganasannya. Dan seiring dengan berkembangnya sel-sel kanker itu, seiring harapan hidupnya yang semakin menipis. Menenggelamkan harapan ke dalam lautan rasa putus asa yang membuatnya tidak lagi memiliki cahaya kehidupan.

Tapi ada sisi spiritualitas yang mencoba ia hadirkan di hatinya. Dia berdoa kepada Tuhan sesering yang dia bisa. Dan selama itu juga dia mencoba harus menelan rasa kecewa. Sel-sel kanker itu seakan mengejeknya dengan mengatakan, ‘doa-doamu tidak akan berdaya melawan kekuatan kami. Kau harus mati.’

“Daripada aku menderita dengan rasa sakit ini, lebih baik aku mati saja.” itu adalah pikiran terakhir yang selalu menggodanya. Karena pikiran gila itu juga kini lelaki ringkih itu telah berada di ketinggian. Di pinggir jalan berbatu yang hanya dibatasi oleh pagar kecil dan rapuh. Siap menyerahkan diri pada pangkuan jurang dan tebing yang curam.

Tapi hatinya kembali ragu. Entahlah. Benak lelaki itu seakan menghadirkan slide demi slide yang menyajikan secara visual semua anak didiknya lengkap dengan senyuman mereka.

‘Pa aldi, Rini belum paham tentang rumus ini.’

‘Pa Aldi, Anita harus ikut lomba baca sajak berbahasa Sunda. Ajarin ya, kan bapak suka mengisi jurnal berbahasa Sunda.’

Itu adalah diantara suara-suara yang mengusik relung hatinya yang paling dalam. Suara, celotehan, tawa, kerlingan, seulas senyum dan cekikikan anak didiknya membuat dia menghela nafas dan kembali terisak-isak. Dia memukul setir dan menangis sejadi-jadinya. Satu sisi hatinya mencoba menggoda untuk segera menekan pedal gas supaya bisa segera menjemput haribaan maut. Di sisi yang lain godaan untuk menahan kakinya untuk tidak menginjak pedal gas semakin menjadi. Mengingatkan tentang keceriaan anak didiknya.

‘Coba kau pikir, bagaimana mungkin kau akan meninggalkan semua anak didikmu. Apa yang mereka rasakan jika mereka tahu bahwa kau mati konyol karena bunuh diri, meninggalkan mereka. Kau telah egois untuk membunuh dirimu sendiri. masih ada kehidupan lain yang harus kau pikirkan. Kehidupan dan asa anak-anak didikmu.’

Entahlah, suara itu tiba-tiba saja mengisi relung hatinya. Mencoba menyugesti dirinya untuk bersikap tenang dan membatalkan rencana bunuh dirinya yang konyol.

‘Mereka akan sangat sedih ketika kau meninggalkan mereka. Gunakan dua bulan yang tersisa untuk lebih dekat dengan mereka.’

Suara itu belum berhenti membujuknya. Aldi menghela napas dan menyeka keringat dan air mata yang bercampur di wajahnya.

‘Kau pernah melihat senyum malu-malu Fatimah.’ Tiba-tiba suara sugesti itu mencoba mengingatkannya kepada guru muda bernama Fatimah. Yang baru tiga bulan lamanya bergabung di sekolah tempatnya mengajar.

‘Kau diam-diam juga menyadari dia mencintaimu. Apa yang akan dia pikirkan tentang dirimu jika kau membunuh dirimu di sebuah jurang? Bukankah kau sudah terlanjur dikenal sebagai lelaki yang selalu optimis dan tersenyum. Jangan kau korbankan citra dirimu.’

Aldi menggeleng keras. Mencoba mengenyahkan semua keraguan. Kembali meletakan tangannya di setir. Tapi suara itu belum menyerah.

‘Terserah kau. Yang jelas, mau mati sekarang ataupun nanti, kau tetap akan mati. Hanya saja, cara yang berbeda juga akan meninggalkan kesan yang berbeda. Setelah ini, anak didikmu, Fatimah dan orang-orang lain akan menganggapmu sebagai lelaki yang konyol, lemah dan pesimis. Sekarang kau bisa memilih.’

Aldi menangis. Tangisan yang kedua. Kali ini aku memutar kemudi dan menuruni bukit itu dengan hati yang lebih tenang.

***




Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment