Keringat
membahasi sekujur tubuhnya, terutama di punggunnya yang ringkih sehingga
membuat kaus katun berwarna abu-abu itu terasa lengket di sepanjang garis punggung
dan bahu. Sementara kedua tangannya juga ikut basah oleh keringat sialan itu. Sehingga
setir yang dia pegang jadi licin. Pun peluh mengalir di dahi menyusuri garis
hidungnya yang tajam dan menetes diujungnya.
Mencoba mempermaikan andrenalinnya
yang semakin memuncak seiring menit yang berlalu.
Satu meter
di hadapannya, jurang lebar mengangga. Siap memeluk tubuhnya kapan pun dia mau.
Kapan pun dia siap menerjunkan tubuhnya yang menjadi sarang kanker sial itu ke
dalam bebatuan curam.
Jantungnya berdegup
semakin kencang dan membuat tangannya yang tirus semakin bergetar tidak karuan.
Oh tuhan,
kenapa aku segugup ini. Tidakkah kau mengizinkanku untuk segera mengakhiri
kehidupanku yang sial ini.
“Maafkan
saya Aldi. Saya tidak bisa berbuat banyak lagi. Paling tidak kamu memiliki
kehidupan selama dua bulan kedepan. Nikmati hidupmu dan berdoalah kepada Tuhan
supaya Dia mendatangkan keajaiban.”
Itu adalah
kata-kata Dokter Franz yang selalu tergiang-ngiang di benaknya. Kanker hati itu
telah melumat rogan hatinya, merambat ke paru-paru dan sebentar lagi jantung
akan menjadi sasaran keganasannya. Dan seiring dengan berkembangnya sel-sel
kanker itu, seiring harapan hidupnya yang semakin menipis. Menenggelamkan harapan
ke dalam lautan rasa putus asa yang membuatnya tidak lagi memiliki cahaya
kehidupan.
Tapi ada
sisi spiritualitas yang mencoba ia hadirkan di hatinya. Dia berdoa kepada Tuhan
sesering yang dia bisa. Dan selama itu juga dia mencoba harus menelan rasa kecewa.
Sel-sel kanker itu seakan mengejeknya dengan mengatakan, ‘doa-doamu tidak akan
berdaya melawan kekuatan kami. Kau harus mati.’
“Daripada
aku menderita dengan rasa sakit ini, lebih baik aku mati saja.” itu adalah pikiran terakhir yang
selalu menggodanya. Karena pikiran gila itu juga kini lelaki ringkih itu telah
berada di ketinggian. Di pinggir jalan berbatu yang hanya dibatasi oleh pagar
kecil dan rapuh. Siap menyerahkan diri pada pangkuan jurang dan tebing yang
curam.
Tapi hatinya
kembali ragu. Entahlah. Benak lelaki itu seakan menghadirkan slide demi slide
yang menyajikan secara visual semua anak didiknya lengkap dengan senyuman
mereka.
‘Pa aldi,
Rini belum paham tentang rumus ini.’
‘Pa Aldi,
Anita harus ikut lomba baca sajak berbahasa Sunda. Ajarin ya, kan bapak suka
mengisi jurnal berbahasa Sunda.’
Itu adalah
diantara suara-suara yang mengusik relung hatinya yang paling dalam. Suara,
celotehan, tawa, kerlingan, seulas senyum dan cekikikan anak didiknya membuat
dia menghela nafas dan kembali terisak-isak. Dia memukul setir dan menangis
sejadi-jadinya. Satu sisi hatinya mencoba menggoda untuk segera menekan pedal
gas supaya bisa segera menjemput haribaan maut. Di sisi yang lain godaan untuk
menahan kakinya untuk tidak menginjak pedal gas semakin menjadi. Mengingatkan tentang
keceriaan anak didiknya.
‘Coba kau
pikir, bagaimana mungkin kau akan meninggalkan semua anak didikmu. Apa yang
mereka rasakan jika mereka tahu bahwa kau mati konyol karena bunuh diri,
meninggalkan mereka. Kau telah egois untuk membunuh dirimu sendiri. masih ada
kehidupan lain yang harus kau pikirkan. Kehidupan dan asa anak-anak didikmu.’
Entahlah,
suara itu tiba-tiba saja mengisi relung hatinya. Mencoba menyugesti dirinya
untuk bersikap tenang dan membatalkan rencana bunuh dirinya yang konyol.
‘Mereka akan
sangat sedih ketika kau meninggalkan mereka. Gunakan dua bulan yang tersisa
untuk lebih dekat dengan mereka.’
Suara itu
belum berhenti membujuknya. Aldi menghela napas dan menyeka keringat dan air
mata yang bercampur di wajahnya.
‘Kau pernah
melihat senyum malu-malu Fatimah.’ Tiba-tiba suara sugesti itu mencoba
mengingatkannya kepada guru muda bernama Fatimah. Yang baru tiga bulan lamanya
bergabung di sekolah tempatnya mengajar.
‘Kau
diam-diam juga menyadari dia mencintaimu. Apa yang akan dia pikirkan tentang
dirimu jika kau membunuh dirimu di sebuah jurang? Bukankah kau sudah terlanjur
dikenal sebagai lelaki yang selalu optimis dan tersenyum. Jangan kau korbankan
citra dirimu.’
Aldi menggeleng
keras. Mencoba mengenyahkan semua keraguan. Kembali meletakan tangannya di
setir. Tapi suara itu belum menyerah.
‘Terserah
kau. Yang jelas, mau mati sekarang ataupun nanti, kau tetap akan mati. Hanya saja,
cara yang berbeda juga akan meninggalkan kesan yang berbeda. Setelah ini, anak
didikmu, Fatimah dan orang-orang lain akan menganggapmu sebagai lelaki yang
konyol, lemah dan pesimis. Sekarang kau bisa memilih.’
Aldi
menangis. Tangisan yang kedua. Kali ini aku memutar kemudi dan menuruni bukit
itu dengan hati yang lebih tenang.
***
No comments:
Post a Comment