Dikisahkan bahwa ada satu suku di sebuah pulau yang berencana
untuk mencari pulau baru yang mereka harapkan bisa memperbaiki kondisi kehidupan
mereka. Pulau yang saat itu mereka tempati bukanlah pulau subur sehingga mereka
tidak mendapatkan banyak keuntungan.
Oleh karena itu, mereka pun mempersiapkan pelayaran
mengarungi samudera. Disiapkanlah kapal layar besar untuk mengangkut semua
anggota suku dan bahan-bahan bekal selama pelayaran mereka. Di waktu yang tepat
dan cuaca yang bagus, mereka pun belayar menempuh samudera yang luas.
Di tengah pelayaran tersebut, mereka melihat sebuah pulau
kecil. Tapi pulau kecil itu tidak mungkin mereka tinggali. Mereka membutuhkan
pulau yang besar. Tapi mereka berencana untuk singgah sementara di pulau kecil
itu. Mereka berharap bisa menambah bekal mereka.
Mereka pun mendarat di pesisir pulau tersebut dan
beristirahat semalam. Ketika pagi tiba, mereka bahu membahu mencari dan
mengumpulkan bekal sebelum melanjutkan pelayaran.
Ada beberapa orang diantara mereka yang terlena dengan
keindahan pulau kecil itu.
“Kenapa kita tidak tinggal di sini saja? Inilah pulau yang
sudah jelas kita temukan. Tapi jika kita terus berlayar kita tidak pernah tahu
apakah kita akan menemukan pulau baru atau tidak.” Protes diantara mereka
kepada kapten kapal. Mereka ngeyel ingin tetap tinggal.
Maka kapten kapal berkata, “Pulau ini terlalu kecil untuk
kita. Dan pada saatnya nanti, cepat atau lambat, sumber daya alam pulau ini
akan cepat habis. Kita perlu pulau yang besar.”
“Apakah kau yakin akan menemukan pulau besar itu?” tanya si
orang yang sama.
“Ya, pulau besar itu sudah ada di peta.” Jawab si kapten
kapal.
Tapi tetap saja beberapa orang diantara mereka tidak
mengindahkan kata-kata si Kapten. Mereka memilih tinggal di pulau kecil itu.
Akhirnya sang Kapten tak bisa berbuat banyak. Dia membiarkan
beberapa anggotanya tinggal di pulau itu. Sementara mereka meneruskan
perjalanan menuju pulau harapan.
Kisah tersebut adalah kisah tamsil atau perumpamaan dengan
kehidupan dunia kita. Pulau kecil itu adalah dunia yang kita tinggali.
Sementara pulau besar yang dituju dan tertera di peta sang kapten adalah alam
akhirat dengan segala kenikmatannya. Yakni surga. Dan kapten kapal adalah
mereka yang menyeru kepada kebaikan dan jalan tauhid.
Betapa banyak dari kita yang terlena dengan kehidupan dunia
layaknya tokoh cerita yang memilih tinggal di pulau kecil. Mereka masih ragu
dengan keberadaan pulau harapan. Begitu juga manusia, banyak yang meragukan
akhirat. Ataupun mereka percaya, tapi mereka terlanjur terlena dengan gemerlap
dunia sehingga lupa akan kehidupan akhiratnya.
Kita hanyalah pengembara. Jangan sampai kita tergila-gila
dengan halte persinggahan. Karena sejatinya dunia kita adalah halte
persinggahan untuk mengumpulkan bekal, memulihkan tenaga dan mengatur rencana
masa depan.
Istirahatlah sejenak, duduklah sebentar, minumlah beberapa
teguk air, makanlah beberapa suap, agar energy bangkit kembali untuk
melanjutkan perjalanan.
Hal inilah yang dipahami oleh seorang salaf sehingga dia
berkata, “Aku dan dunia ini ibarat seseorang yang berjalan di bawah terik
matahari. Kemudian berteduh di bawah pohon. Ketika hari sudah teduh, ia pun
harus pergi.”
Yang namanya berteduh berarti bukan tinggal selamanya. Hanya
tempat bernaung untuk mengatur nafas dan melepas lelah. Ingatlah, dunia ini
adalah persinggahan, dan kita adalah para musafir. Ya, musafir menuju rumah
abadi kita. Surga firdaus.
Semoga menginspirasi
No comments:
Post a Comment