Film A Copy of My Mind menyoroti kehidupan kalangan urban
marginal di Jakarta. Selain itu, film ini mengombinasikan antara romantisme dan
realitas sosial yang bagi saya sangat jarang diangkat atau bahkan mungkin tidak
ada sama sekali. Baru kali ini saya menemukan film yang memadukan antara
kehidupan Jakarta yang apa adanya dengan begitu jelas dan kentara.
Sayangnya, film yang satu ini terkesan kasar dan ‘jorok’
yang tentunya keluar dari pakem film indonesia yang menjunjung kesopanan dan
ketabuan. Paling tidak, jangan menonton versi utuhnya jika yakin kamu tidak
sabar untuk skip bagian tertentu.
Oke, saya akan kutipkan satu anekdot yang paling saya sukai
dari film yang satu ini. Terkesan karena barangkali kita pun pernah
mengalaminya.
“Kalo cari laki baiknya yang kaya.”
“Emang kenapa mbak.”
“Ya enaklah, kalo punya laki kaya tuh kita nggak usah cape
kerja. Tinggal ngurus anak di rumah.”
“Lho, bukannya ngurus anak juga kerja.”
“Ya…tapi kan bedaa.”
***
“Bang, kasetnya gue balikin ya. teksnya jelek banget.” Seru Sari
dengan bibir cemberut.
“Eh, lu beli kaset film buat ditonton gambarnya kan, bukan
buat ditonton teksnya.”
“Ya kan gue pasti nggak bakalan beli kaset kalo nggak ada
teksnya.”
“Gue nggak mau ganti hanya gara-gara teks subtitle jelek. Kalo
gambarnya jelek baru gue ganti sama kaset baru.”
“Yaelah, pokoknya nggak mau tahu.”
Si penjual kaset mendengus. “Noh, lu kalo mau protes mending
langsung sama ownernya deh. Mumpung lagi disini.” Sambil menunjuk soerang
lelaki tegap berambut gondrong.
Sari menghampirinya, “Ini elu yang nranslate ya.”
“Iya.”
“Jelek banget. Bisa bahasa inggris nggak sih.”
“Heh, kalo mau yang bagus beli yang ori, bukan beli yang
bajakan. Bajakan aja protes.”
“Iya, tapi kan beli bajakan juga pake duit.”
Nah, saya tersenyum sendiri mengingat saya juga dulu
penikmat kaset dan buku bajakan. Dan sekarang sudah tobat. Catat ini! :D
Disamping percakapan-percakapan yang membumi, kadang
terselip realita sosial yang miris yang bisa kita simak. seperti obrolan Sari
dengan narapidana kasus suap, Mirna.
“Kalo kena kasus tinggal kasih uang pelicin.”
“Oh gitu.”
“Iya, polisi-polisi itu juga sama kayak kebanyakan orang. Butuh
duit buat makan buat anak istrinya.”
Melalui A Copy of My Mind kita bisa melihat wajah asli
Jakarta yang sumpek, kumuh, dan berisik. Mempergunakan Sari dan Alek, penonton
dibiarkan menengok bianglala kehidupan masyarakat kelas bawah yang seringkali
jalan di tempat dan tampak begitu menjemukan pula melelahkan. Saking
melelahkannya sampai-sampai mereka masa bodoh dengan segala hiruk pikuk
kampanye menjelang Pemilihan Presiden karena tidak ada waktu untuk memikirkan
sesuatu yang bahkan tidak akan memberi kontribusi terhadap kehidupan mereka.
Beberapa kali melewati keramaian kampanye, Sari terlihat tak menunjukkan
ketertarikan. Obrolannya dengan Alek pun tak pernah menyinggung soal politik.
Paling dekat adalah saat dia berbincang dengan klien, itu pun sebatas “iya nih
bu, berisik banget.”
No comments:
Post a Comment