Seperti apa yang sering disebutkan dalam pepatah,
penyesalan selalu datang di akhir. Pun itulah yang sekarang dirasakan oleh
Taslim. Penyesalan yang datang secara tiba-tiba yang membuatnya menderita.
Entahlah, andai waktu bisa diputar ulang, mungkin Taslim rela mengulang satu
penggal episode kehidupannya, walaupun untuk itu dia harus membayar mahal. Tapi
tak ada kata mahal untuk kesempatan yang berharga. Sayangnya, waktu tak mungkin
diputar ulang.
Semua itu berawal hanya dari satu keinginan;
menginginkan kebahagiaan dan kepuasan, tapi nyatanya tersesat dalam tipuan hawa
nafsunya sendiri.
Semuanya bermula dari pernikahan Taslim dengan Aber.
Seorang gadis San’a pilihhan orang tuanya. ahh, etahlah, Taslem menganggap
perjodohan itu satu hal yang paling konyol yang pernah ada di dunia. Kenapa
pula orang tua harus menjodohkan anak-anak mereka? Tapi itulah kenyataannya,
Ayahnya Jabir dan ibunya Hanim mencoba meyakinkan dirinya bahwa Aber gadis yang
cantik dan shalehah.
Bukan itu yang menjadi masalah bagi Taslim. Tak
masalah dengan Aber jika memang dia cantik dan shalehah. Tapi Taslim sudah
menyimpan sebauh nama di hatinya. Dia sudah mengukir nama Nouf di dalam hatinya
yang terdalam. Seorang perempuan yang bekerja di klinik kesehatan yang biasa
dikunjunginya itu telah menawan hatinya. Dia telah jatuh cinta kepada Nouf
sejak percakaan pertama mereka.
Lihatlah Nouf yang tidak kampungan dan lugu seperti
Aber. Kau mungkin penasaran kenapa Taslim berani mengatakan Aber lugu dan
kampungan? Yeah, karena Taslem kenal aber yang sering diajak berkunjung oleh
kedua orang tuanya ke jeddah, atau orang tuanya dan dia yang terpaksa ikut
berkunjung ke rumah Aber. Saling mengunjungi termasuk jadwal wajib bagi calon
menantu dan calon mertua.
Sepertinya, jika Taslim membuat daftar antara
kelebihan Nouf dan kekurangan Aber, maka dia akan menemukan banyak perbedaan
layaknya langit dan bumi. Aber seorang wanita pendiam, sementara Nouf wanita
yang supel dan begitu mudah berinteraksi. Dia selalu mengumbar senyum dan
begitu renyah ketika tertawa. Aber seorang wanita yang hanya lulusan bangku
sekolah menengah, sementara Nouf lulusan universitas terkenal. Aber lugu dan
sedikit gemuk dengan busana sederhana, sementara Nouf memiliki minat tinggi
terhadap bentuk tubuh dan busana. Ah, Nouf.
Hingga pada akhirnya takdir harus menentukan bahwa
Taslim harus menikah dengan Aber. Tentunya kau tahu bagaimana perasaan Taslim
dengan pernikahannya tersebut. Dia berjanji bahwa suatu saat nanti, entah cepat
atau lambat dia akan menceraikan Aber dan menikah dengan gadis yang telah dia
idam-idamkan, Nouf.
Sungguh, Taslim hanya menginginkan Nouf. Walau ia tahu
bahwa Aber seorang istri yang begitu berbakti. Tapi itu semua tak ada harganya
dibanding rasa cintanya terhadap Nouf yang semakin hari semakin menjadi-jadi.
Aber selalu melakukan apa yang Taslim suruh dan apa
yang Taslim inginkan. Aber selalu datang dan selalu menawarkan jasanya sebagai
seorang istri. Tapi Taslim tak perlu bermesra ria dengan istrinya, dia hanya
perlu menjadikan istrinya sebagai seorang yang bisa membantu segala
keperluannya. Hanya itu saja. Sungguh, Aber tak pernah mengeluhkannya. Tapi
Taslim pun tak mau tahu dan tak akan pernah peduli jika Aber mengadukan semua
sikap acuh tak acuhnya kepada kedua orang tuanya atau mungkin kepada
teman-teman Aber. Tapi Taslim yakin Aber tak pernah melakukannya, karena dia
pun tak pernah menerima ceramah tentang menjadi suami yang berbakti dari
ibunya, persis seperti beberapa hari sebelum pernikahannya.
“Oke, sebenarnya aku tidak pernah mencintaimu, Aber.
Anggaplah kebersamaan kita seperti kebersamaan teman dan tak lebih dari itu.”
Ungkap Taslim suatu hari di hadapan Aber yang sedang menghidangkan kopi susu
kesukaannya.
Aber hanya mendongakan kepalanya dan tak bertanya
kenapa. Dia hanya menghela nafas dan berkata dengan lirih, “Maafkan jika
pernikahan kita membuatmu menderita.”
“Jika waktunya tiba, mungkin kita bisa berpisah dengan
baik-baik. Tapi tentunya perceraian saat ini tidak mungkin terjadi. Orang tuaku
akan kaget jika aku melakukannya.” Tambah Taslim sembari menatap tajam Aber.
Aber hanya menunduk dan berlalu dengan langkah gontai. Taslim tahu bahwa Aber
merasa sakit hati mendengar kata-katanya. Taslim juga tahu bahwa Aber
mencintainya layaknya rasa cinta seorang istri terhadap suami. Tapi taslim tak
peduli, dia tak mungkin mengorbankan cintanya untuk Nouf.
***
Dan pada akhirnya setelah enam bulan pernikahan itu,
Taslim menceraikan Aber dan mengembalikannya kepada orang tuanya. kedua orang
tua Aber bertanya-tanya apa yang terjadi sehingga mereka memutuskan untuk
berpisah. Taslim tak perlu waktu lama untuk menjelaskannya selain dengan
jawaban bahwa diantara mereka sudah tidak ada kecocokan. Sementara Aber hanya
menjawabnya dengan linangan air mata.
Taslim ingat di hari perpisahan mereka. Untuk hari
terakhirnya, Aber menyetrika baju-bajunya yang belum sempat disetrika dan
merapikan semua sisi rumah yang selama enam bulan telah dia tempati dan hari
itu dia harus meninggalkannya dan kembali kepada kedua orang tuanya. Aber
merapikan semua pakaian Taslim dan bertanya, apakah ada pakaian kotor yang
perlu dicucinya? Seperti hari-hari sebelumya, dia selalu telaten dan bertanya
apa keperluannya. Dan di hari perpisahan itu, Aber tetap melakukan hal yang
sama walau dengan hati yang sakit.
Akhrinya, Taslim telah terlepas dari belenggu yang
selama ini dia menganggapnya sebagai sumber penderitaan. Tak perlu menunggu
lama, dia bisa menghubungi Nouf karena dia tahu Nouf belum menikah.
Betapa bahagianya Taslim ketika untuk pertama kalinya
dia bisa kembali mendengar suara Nouf dan memastikan bahwa wanita itu masih
mencintainya.
“Marilah kita menikah.” Ajak Taslim dengan antusiasme
tinggi.
Tapi Nouf menggeleng keras seakan-akan ajakan Taslim
adalah hal yang paling menakutkan dalam hidupnya. “Aku tidak akan menikah
sebelum bisa meraih gelar doktorku. Perlu beberapa tahun lagi untuk bisa
menikah denganku.” Jawab Nouf.
“Aku akan menunggumu.” Jawab Taslim.
Dan tahun demi tahhun Taslim menunggu hingga akhirnya
Nouf berhasil menyelesaikan pendidikannya dan kembali ke kota kelahirannya.
Taslim mendantanginya dan kembali mengajaknya menikah.. Tapi Nouf masih
memiliki alasan lain untuk tidak
buru-buru menikah. “Sayangku Taslim, aku ditugaskan di luar Jeddah, dan ini
adalah kesempatan emas bagiku untuk berkarir. Aku tak boleh menyia-nyiakan
kesempatan ini. Tunggulah beberapa tahun lagi.”
Taslim menghela nafas dan tetap mengangguk ikhlas.
“Kau bisa berkunjung jika kau mau.” Ujar Nouf
“Mana bisa begitu. Seorang lelaki ajnabi tak mungkin
menemui perempuan yang tidak halal baginya. Oleh karena itu mungkin kita bisa
menikah dan aku mengikutimu. Dan aku juga akan mencari pekerjaan disana.”
Taslim masih mencoba untuk meyakinkan.
“Itu tidak semudah yang dibayangkan, Taslim.” Bantah
Nouf sembari menggelengkan kepala dengan lemah. Di kedua bola matanya yang
lentik dan menghitam karena maskara tergenang air mata. Tanpaknya dia juga
merasakan perasaan yang sama dengan perasaan Taslim. Tapi dia lebih mencintai
karirnya dibanding diri Taslim.
***
Taslim diguncang penderitaan dan keputus asaan ketika
pada akhirnya dia menerima kabar bahwa Nouf menikah dengan seorang lelaki Mesir
yang memiliki profesi sama dengan Nouf. Lelaki yang berprofesi dokter bahkan
memiliki rumah sakit itu telah merebut gadisnya. Taslim merasa hancur dan telah
dikhianati.
Hingga pada suatu hari dia menerima pesan singkat dari
Nouf.
Taslim, maafkan aku yang telah membuatmu menunggu dan
menanggung pengharapan. Tapi takdir berkata lain. Aku dijodohkan oleh orang
tuaku dengan seorang dokter. Dan aku harus menghadapi realita ini. Aku harus
belajar mencintai suamiku dan melupakan dirimu.
Nouf.
Taslim menangis dan tidak tahu apa yang harus dia
lakukan. Dia merasa bahwa dia telah dicampakan dan kehormatannya telah
diinjak-injak. Betapa mudah Nouf mengingkari janjinya dan betapa bodohnya dia.
Disaat itulah dia teringat Aber dan merasa menyesal dengan semua yang telah
terjadi. Dia menyesal karena dia tidak mencoba untuk belajar mencintai Aber
layaknya Nouf yang belajar untuk mencintai suaminya yang dokter itu. Dia
menyesal karena telah mencampakan dan tidak menghargai semua cinta yang coba
Aber berikan kepadanya. Tapi Taslim tahu bahwa dia harus bangkit dan merenda
hidup baru.
“Apakah selama ini Aber masih berkomunikasi dengan
ibu?” tanya Taslim suatu hari kepada ibunya.
Ibunya menatap taslim dengan tatapan menghakimi,
karena ibunya tahu apa yang terjadi, “Kenapa kau bertanya Aber?”
“Aku ingin kembali menjadikan dia istriku, jika dia
belum menikah lagi.”
“Aku tidak tahu. Tapi dua bulan yang lalu aku
menelponnya dan dia belum menikah dengan siapa pun. Kau memang keterlaluan
Taslim, seharunya kau tidak menyia-nyiakan gadis sebaik dia.”
Taslim menunduk dan hanya mengangguk lemah.
Hari itu juga Taslim mendatangi rumah orang tua Aber
dan berharap dia bisa menemukan gadis yang memiliki wajah yang berseri itu.
Tiba-tiba hatinya bergejolak dan tiba-tiba getaran cinta itu memenuhi relung
hatinya. Tuhan, kenapa tidak kau munculkan rasa ini sejak aku melihat Aber
untuk pertama kalinya? Kenapa baru sekarang Kau hadirkan geletar ini?
Pintu rumah dibuka dan dia menemukan wanita paruh baya
di ambang pintu. Itu Sahida, ibunya Aber. Wajahnya kurang bersahabat dan
menatap tajam, “Mau ketemu siapa?” tanyanya ketus.
“Saya mau bertemu Aber, ummi.”
“Aber tidak ada di rumah.” Jawabnya dengan cepat dan
bersiap hendak menutup pintu.
“Biarkan dia masuk ummi.” Tiba-tiba suara yang begitu
familiar di telinga aber memecah rasa rikuh Taslim. Lewat daun pintu yang
terbuka dia melihat Aber dengan wajah yang berseri dan memang dia selalu
berseri. Oh Aber.
Sahida hanya menghela nafas dan membuka lebar daun
pintu kemudian berlalu dari hadapan mereka.
“Silakan duduk.” Aber memberi isyarat dengan tangannya
menyuruh taslim duduk. Taslim menghempaskan tubuhnya di sofa.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Taslim.
“Baik, kabarmu sendiri bagaimana? Apakah kau sudah
menikah dengan Nouf? Aku mendengar kabar dari ibumu kau akan menikah dengan
Nouf?” sungguh, pertanyaan ini layaknya
lembing yang dilemparkan Aber ke jantung Taslim dan membiarkannya mengelepar
tanpa mampu menjawabnya. Taslim tahu bahwa Aber tidak mungkin tahu Nouf yang
selama ini dia cintai telah menikah dengan lelaki lain. Ataukah Aber berusaha
menuntaskan dendam karena telah dicampakan dengan pertanyaan seperti itu? Ah
mana mungkin. Taslim tahu Aber tidak mungkin memelihara dendam. Buktinya,
wanita ini masih menyambutnya dengan wajah yang berseri walau dia pernah
mencampakannnya.
Aber menyadari bahwa pertanyaan itu terlalu sulit
sehingga dia mengalihkannya dengan pembicaraan yang lain, “Bagaimana kabar
kedua orang tuamu?”
“Alhamdulillah, mereka baik-baik saja.”
“Maaf, aku sudah lama tidak mengunjungi mereka.”
“Tidak masalah.”
“Aku minta maaf tentang sikap ibuku kepadamu barusan.
Sepertinya ibu belum bisa menerima kenyataan perceraian kita dahulu.”
Taslim menghela nafas, “Tak masalah, memang aku yang
salah. Aku memang bukan lelaki yang bertanggung jawab. Aku_” Taslim masih ingin
mengeluarkan semua kata-kata yang mewakili penyesalannya dan mengungkapkan
keinginannya supaya Aber kembali menjadi istrinya ketika dia menangkap
sekelebat lelaki yang tampan datang dari arah belakang dengan seorang anak yang
kira-kira berumur dua tahun..
“Oh kenalkan, ini suamiku, Rashed dan ini anak kami,
Habib.” Seru Aber sembari berdiri menyambut suami dan anaknya.
Taslim terpaku dan pada akhirnya dia berdiri dan
menyalami pria yang beberapa senti lebih tinggi dari dirinya. “Senang bertemu
Anda, tuan Rasyid.”
“Yeah, saya juga senang bertemu Anda.” Jawab Rashed
dengan senyum yang sumringah. Taslim menjadi serba salah.
Pada akhirnya, Taslim harus menahan gejolak semua
perasaannya selama mereka berempat terlibat dalam percakapan yang panjang di
ruang tamu.
Taslim tahu bahwa dirinya tidak mungkin bertahan lama
di sana sehingga dia memutuskan untuk segera hengkang. Taslim meminta izin
untuk pulang.
“Oh kenapa terburu-buru, hari ini adalah hari ulang
tahun pernikahan kami. Jadi tunggulah, sebentar lagi nasi biryani dan Shawarma
domba pesanan kami akan datang.” Tanpaknya Rashed menginginkan Taslim tinggal
lebih lama yang itu berarti Taslim harus menanggung penderitaan lebih lama.
Tapi Taslim tetap memutuskan pulang. Dia melangkah
dari rumah itu setelah Rashed memeluknya dan Aber melepas kepergiannya dengan
senyum.
Lihatlah, betapa wanita itu memiliki hati yang suci
dan betapa bodohnya aku yang tidak menyadari betapa berharganya dia, begitu
pikir Taslim. Wanita itu memiliki hati seperti malaikat yang tidak dirasuki
kebencian. Walaupun dia sudah dicampakan dan rasa cintanya dibalas dengan
pengabaian.
Masuk ke dalam mobil, Taslim menyalakan AC dan menangis
sejadi-jadinya. Dia tahu, bukan salah Tuhan yang terlambat menghadirkan getar
rasa cinta kepada Aber dihatinya, karena bagaimana pun juga rasa cinta itu
timbul karena diputuskan untuk ada. Tapi selama dua tahun kebelakang, dia tidak
mencoba membangun rasa cinta itu.
Taslim terisak-isak dan tidak tahu apakah dia masih
memiliki kesempatan untuk memiliki cinta?
Sumber gambar: pinterest
No comments:
Post a Comment