IBRAHIM
TELAH MENEMUI TUHANNYA
Asap
hitam semakin tebal membubung dari ratusan ban-ban besar yang dibakar di
sepanjang perbatasan. Langit semakin pekat dan udara semakin panas seumpama
padang sahara. Sementara angin dari laut Gaza terus berhembus menerbangkan layang-layang
kertas dengan motiv bendera empat warna yang diterbangkan oleh para pemuda. Hitam,
putih, merah, hijau. Bukan layang-layang biasa. Mereka membubuhkan api dan
bensin di ujungnya untuk membakar tanah-tanah yang dikuasai Israel yang
berjarak beberapa ratus meter dari mereka.
Ratusan
hektar tanah pertanian di perbatasan Gaza yang berada di bawah kekuasaan Zionis
itu hangus terbakar. Padang gandum telah berubah menjadi abu hitam yang tak
lagi berharga. Menteri pertanian dan Menteri Pertahanan Zionis sesumbar mereka
akan membayar kerugian yang mereka derita dengan serangan. Tapi gertakan itu tak
ada artinya bagi orang Gaza. Karena bagi mereka, hidup di dalam blockade selamanya
ancaman dan kesengsaraan. Kau hanya perlu memilih melawan atau hanya tetap
diam? Jika kau diam, kau tetap menderita. Jika kau melawan, setidaknya kau
punya kehormatan.
Lihatlah,
tambang-tambang besar direntangkan dan teriakan-teriakan timbul tenggelam
diantara pekikan. Anak-anak dan pemuda membawa batu dan ketapel,
perempuan-perempuan bergerombol dengan bendera Palestina yang berkelepak hampir
di setiap penjuru.
Satu
bendera raksasa tertancap di tengah-tengah ribuan manusia yang menyemut,
seakan-akan panji bagi optimisme yang mereka bawa, bahwa mereka akan pulang ke
tanah mereka yang terpisah kawat dan tembok. Diantara mereka ada yang membawa replika
kunci sembagi mengacungkannya menghadap langit. Kunci-kunci yang masih mereka
simpan di rumah mereka adalah harapan dari masa depan yang lebih cerah. Bahwa
mereka dahulu melarikan tanah dan rumah mereka untuk mengungsi dari kekejaman
anjing-anjing zionis. Tapi mereka tidak akan pernah melupakan harapan bahwa
suatu saat mereka akan kembali dengan kunci rumah di tangan kanannya. Mereka akan
merebut kembali lading-ladang pertanian dan tempat gembala. Tak peduli jika
tanah-tanah itu telah berubah setelah anjing-anjing zionis itu datang dan
merampasnya.
Kau
lihat, ada para jurnalis sibuk dengan kameranya. Membidik setiap aktifitas dan
apa yang memang pantas untuk diketahui dunia. Penjuru-penjuru lain di planet
bumi layak untuk mengetahui aksi besar tersebut, begitu pikir mereka. Walau
mereka tahu bahwa mereka bisa saja menjadi umpan maut yang siap mengintai
diantara sniper-sniper zionis yang siap membidik mereka. Atau mungkin peluru
nyasar yang melumat lambung dan menembus batok kepala.
Dua
minggu yang lalu, Amer, seorang jurnalis berusia kepala tiga telah mengorbankan
mata kirinya. Peluru sniper menghancurkan bola mata kirinya dan dia kini masih
terbaring di rumah sakit untuk pemulihan. Dua hari setelah itu, seorang
jurnalis bolong hidungnya karena tertembus peluru. Masih beruntung nyawanya
bisa tertolong. Jadi, aku pikir semua jurnalis harus mengangkat topi untuk para
jurnalis Palestina yang menganggap momentum lebih berharga daripada nyawa
mereka. Berita tentang kedzaliman zionis lebih bernyawa daripada nyawa itu
sendiri.
Kau
jangan melihat para jurnalis saja. Lihatlah paramedic berlalu lalang diantara
ratusan orang sembari membawa tandu kosong dan sejurus kemudian sudah
mengisinya dengan sosok tubuh yang terkapar. Entah terkapar karena peluru yang
menembus betis atau paha. Atau terkapar karena menghirup gas air mata yang ditembakan ke
setiap penjuru oleh orang jahanam yang bersembunyi di gundukan-gundukan tanah
itu. Yang jelas mereka perlu membawa mereka yang terkapar dan mencoba menolong
dengan segera. Darah-darah mulai terciprat diantara seragam putih mereka. Suara
sirine ambulan masih terus terdengar meningkahi drama besar kehidupan
orang-orang Gaza yang diamuk semangat membara.
Ibrahim
adalah seorang pemuda tanggung diantara ratusan pemuda lain yang berada di
sekelilingnya. Di tangannya ada bendera palestina yang terus dia kibarkan
diantara kelebat angin yang seakan ikut bersorak bersama euphoria para peserta
aksi. Angin-angin Gaza itu menari bersama bendera dan meningkahi yel-yel dan
orasi.
Tapi
di saat itulah Ibrahim melihat beberapa sniper zionis bergerombol di seberang
gundukan tanah dan siap membidikan senjatanya. Sementara peluru gas air mata
terus berluncuran. Membuat kerumunan berhamburan demi menyelamatakan diri
mereka. Ibrahim melihat seorang wanita yang tersungkur dan terkapar. Sementara
dia melihat paramedic masih berada puluhan meter di belakangnya. Ibrahim tahu
apa yang harus dia lakukan saat itu. Dia segera berlari untuk membawa wanita
itu pergi dari wilayah berbahaya.
Detak
di jantung Ibrahim semakin bertalu-talu. Andrenalinnya terpacu. Dia berada
diantara dua pilihan; tetap bertahan di tempatnya sekarang atau berlari untuk
menolong wanita itu. Tapi beberapa detik setelah itu dia telah memiliki pilihan
yang tepat. Dia berlari menuju wanita itu. Tapi beberapa langkah saja dia
berlari, dia merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Ada hawa panas yang
menyerempet dadanya. Dia limbung sebelum mencapai wanita malang itu.
Tatapan
matanya kabur. Dia merasakan ada yang ganjil dengan tubuhnya. Ibrahim merasakan
sengatan rasa sakit yang menjalar di perutnya, rasa sakitnya menjalar hingga
dada dan selangkangannya. Tangan kananya meraba perutnya dan saat itulah dia
tahu bahwa dia telah tertembak. Dia muntah darah dan yang terakhir kali
dilihatnya adalah sebuah senyuman. Entah senyuman siapa. Sementara teriakan
semakin samar terdengar, suara sirine, angin, yel-yel dan gelora kobaran api
itu menghilang, berganti dengan kesejukan.
***
Hussam
berlari diantara gang-gang sempit dengan gerakan lincah layaknya domba kecil
yang mengejar induknya. Langkah-langkah kaki telanjangnya menjejak tanah-tanah
becek karena hujan semalam. Dia tidak peduli dengan rasa sakit di kedua telapak
kakinya karena menginjak bebatuan. Sementara air mata masih merebak di kedua
kelompak matanya.
Jalanan
dan gang begitu lenggang dari kehidupan. Semua orang seakan-akan tersedot ke
perbatasan timur untuk menghadiri aksi dan membakar ban-ban besar. Hanya ada
orang tua yang berdiam di rumah dan beranda. Menyesal karena tidak melihat
keramaian di perbatasan. Selebihnya adalah anak-anak dan para wanita yang
mungkin agak malas untuk memanggang diri di bawah terik matahari.
Husam
terus berlari sementara dia hanya menemui perempuan-perempuan tua yang duduk
ditemani oleh cucu mereka di halaman-halaman rumah mereka. Diantara mereka
menatap Husam dengan tatapan penuh arti. Seakan-akan mereka tahu arti dibalik
tangisan Husam.
Husam
melihat gerbang rumahnya dan segera menerobos masuk. Didapatinya ayahnya sedang
duduk di sofa yang sudah rusak. Di depannya televisi sedang menyala,
menayangkan aksi Great Return March yang
sedang berlangsung.
“Ayah…Ayah!”
teriak Hussam dan dia menghambur memeluk ayahnya.
“Husam,
apa yang terjadi. Kenapa kau menangis?” tanya Amal, ayahnya dengan hati yang
bergetar. Ia lebih dari tahu bahwa tangisan Husam adalah pertanda buruk bagi dirinya.
Anak lelakinya itu tidak pernah menangis kecuali dalam keadaan yang terdesak
atau genting. Anak lelakinya kuat karena dia selalu mendidik mereka untuk
memiliki jiwa yang keras sekeras baja.
“Ibrahim
telah tertembak di perbatasan,” lirih Husam diantara isak tangisnya. Amal
terguncang dan tangis pecah dari matanya, dan rintihan keluar dari mulutnya.
Reem
terbangun dari tidur siangnya ketika ia mendengar suara tangisan orang dewasa
dari ruang depan. Siapa yang menangis? Dia jarang mendengar suara tangisan di
rumahnya selain tangisan keponakannya, Khadija yang masih berumur lima bulan.
Rumahnya tak pernah menjadi saksi kesedihan, selalu ada tawa dan kebahagiaan di
dalamnya. Kehidupan di rumahnya bisa dikatakan sangat sempurna. Meskipun keadaan
ekonomi yang menghimpit mereka tetap merasa sentosa karena anggota keluarga
yang lengkap dan tak kurang satu apa pun. Dia kenal Miriam yang telah
kehilangan kedua orangtuanya dalam agresi Israel tahun 2008. Tak hanya Miriam,
ada banyak teman-teman sekolahnya yang telah kehilangan anggota keluarga. Jika
tidak orangtua, mereka kehilangan saudara, paman, bibi atau keponakannya. Atau setidaknya
ada diantara mereka yang kehilangan anggota tubuhnya. Israel memang tak
menyisakan selain kepedihan yang abadi.
Reem
beranjak ke depan dengan rasa kantuk yang menggelayuti matanya. Dan ia melihat
ayahnya menangis sembari memeluk Husam, adiknya yang berumur 7 tahun. “Apa yang
terjadi?” tanyanya heran.
Amal
menatap anak perempuannya dengan air mata yang masih membasahi pipinya. “Ibrahim
telah menemui Tuhannya,” terangnya datar, tenang dan lirih.
Petir
seakan menyambar tubuh Reem. Dia ambruk. Tulangnya seakan menjadi lentur dan
persendiannya lepas satu demi satu. Oh Ibrahimku, tidak mungkin! Dia tidak
mungkin mati! Sore nanti dia akan kembali pulang dan menggodaku tentang
pernikahanku dengan Walid dua bulan lagi.
Reem
menjerit dan menyebut nama kakak lelakinya tanpa bisa menahannya. Hatinya
hancur dan dia berharap itu hanya mimpi. Dia tak siap jika Ibrahim lepas dari
kehidupannya.
Oh
Ibrahim, kakak yang paling dia sayangi dan cintai. Tak ada lagi yang bisa
memberinya semangat dan candaan-candaan diantara sarapan pagi mereka. Tak ada
lagi orang yang setia menunggunya di Universitas ketika dia menghadapi ujian
semester dan pulang ke rumah dengan memboncengkannya di motor tuanya. Tak ada
lagi yang mengajaknya makan di luar rumah. Tidak ada lagi yang akan mengajaknya
bermain menyusuri pantai sembari memesan dua cup eskrim di kafe tepi pantai
Gaza. Ibrahim tak ada duanya dan dia
adalah nyawa keduanya.
Ibrahim
baginya adalah kenangan dari kehidupan itu sendiri. Reem selalu diperlakukan
layaknya ratu oleh Ibrahim. Kakak lelakinya itu selalu meluluskan apa yang dia
inginkan.
***
“Baba,
tolong panggilkan Ibrahim untuk membelikan kita wortel dan minyak zaitun di
pasar,” seru Reem kepada Amal yang sedang sibuk dengan besi-besi tua di
belakang rumah.
Amal
terdiam, dia menghela nafas dan mengusap peluh yang mengaliri wajahnya yang
memerah karena bara api dari tungku. “Anakku Reem, aku tahu kau masih tidak bisa
menghadapi kenyataan ini,” ujarnya lirih.
Reem
tidak mendengar apa yang dikatakan Amal. Tapi di saat itu dia sadar bahwa
Ibrahim sudah tidak ada lagi di rumah mereka. Dua hari yang lalu Ibrahim telah
dimakamkan dengan bendera palestina dan kafayeh yang menutupi tubuhnya.
Wajahnya bersih dan tak ada cela. Ada senyum merekah di bibir piasnya kala itu.
Pemakamannya dihadiri oleh ribuan pelayat. Dia dimakamkan bersama lima martir
yang dijemput takdir di hari yang sama.
Reem
tahu teriakannya hanya teriakan spontan yang biasa dia lakukan ketika dia
membutuhkan bantuan Ibrahim. Reem kembali menangis diantara adonan tepung,
daging domba dan peralatan dapur. Dia kembali terisak sembari mengaduk adonan
Shawarma domba. besok adalah hari pertama puasa Ramadhan sekaligus Ramadhan
pertama tanpa kehadiran Ibrahim. Bukan hanya Ramadhan tahun ini, tapi Rmadhan
di sisa hidupnya. Dia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa Ibrahim hanya
tinggal kenangan.
Jika
waktu berbuka tiba mereka akan duduk melingkar di meja makan. Reem menatap
kursi kosong di meja iftar dengan perasaan yang hampa. Dia masih bisa melihat
Ibrahim duduk di sana, memakan shawarma dengan begitu lahap, menyeruput ashir mangga
dengan sempurna dan mengerling kepadanya.
‘Kenapa
makanmu sedikit?’ Ibrahim selalu bertanya begitu kepada Reem, sembari mencomot
daging sawarma yang ada di piring Reem. Reem mendelik tak suka.
‘Kau
sedang diet hanya demi Khalid, huh? Tenang, tunanganmu itu akan tetap
mencintaimu meski kau gemuk sebesar gajah.’ Ibrahim selalu menggodanya. Reem
tentu merasa kesal jika kakak lelakinya itu sudah keterlaluan. Tapi kenangan
itu justru membuatnya semakin merindu. Dia rindu celotehan Ibrahim. Dia rindu
apa pun tentang Ibrahim.
“Reem….”
Reem
terkesiap. Lamunannya buyar. Dia melihat Amal menatapnya dengan penuh tanya.
“Adzan
maghrib telah berkumandang sejak tadi, sementara kau masih asyik dengan
lamunanmu? Tidakkah kau mulai memakan bagianmu?”
Reem
mengusap tepi matanya yang basah dan mulai mengunyah daging sawarma dalam diam.
Tapi senyum Ibrahim selalu membayanginya di kursi yang kosong.
‘Kau sekarang berada di haribaan Rabbmu, Ibrahim. Kau sudah menemui apa yang kau harapkan,’ bisik Reem. Kemudian dia mencoba untuk mengikhlaskan, meski dengan perasaan yang penuh kegetiran.
Berdasar kisah nyata yang dimuat dalam artikel Hidayatullah.com berjudul Kursi Kosong di Meja Iftar.
Sumber foto: Hidayatullah.com
Game Online... GabunG : ke F4n583771nG Pendaftaran Free ^o^
ReplyDelete