Hukum Allah atau syariat adalah hukum yang sah untuk diaplikasikan dalam
semua aspek kehidupan.
Allah berfirman di dalam quran surat al-Maidah ayat
49,
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka
menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu…”(QS
Al Maidah ayat 49)
Kemudian dilanjutkan pada ayat berikutnya,
أَفَحُكْمَ
الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah
hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al Maidah ayat 50)
Di dalam ayat tersebut, sebagaimana disebutkan di dalam tafsir ibnu
katsir,
“Allah mengingkari orang yang berhukum
kepada selain hukum Allah, karena hukum Allah itu mencakup segala kebaikan dan
melarang segala keburukan. Berhukum kepada selain hukum Allah berarti beralih
kepada hukum selain-Nya, seperti kepada pendapat, hawa nafsu dan konsep-konsep
yang disusun oleh para tokoh tanpa bersandar kepada syariat Allah, sebagaimana
yang dilakukan oleh masyarakat jahiliyah yang berhukum kepada kesesatan dan
kebodohan yang disusun berdasarkan penalaran dan seleranya sendiri. Oleh karena
itu Allah berfirman ”Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki?” dan
berpaling dari hukum Allah.”
Maka sudah selayaknya setiap muslim memandang bahwa persoalan hukum
adalah persoalan yang penting. Karena sesungguhnya urusan
ini menyangkut permasalahan paling mendasar yaitu aqidah. Seorang muslim tidak
merasa hidup dalam ketenteraman ketika ia diharuskan mematuhi hukum buatan manusia
sedangkan keyakinan Iman-Islamnya menyuruh dirinya agar hanya tunduk kepada
hukum dan peraturan yang bersumber dari Allah semata.
Bahkan
keyakinannya memerintahkan dirinya untuk mengingkari dan tidak memandang hukum
buatan manusia sebagai layak dipatuhi. Karena ia menyadari bahwa tidak ada
manusia sempurna yang dapat dan sanggup merumuskan hukum yang adil bagi segenap
jenis manusia. Hanya Sang Pencipta manusia yang pasti Maha Adil dan tidak punya
kepentingan apapun terhadap hukum yang dibuatnya untuk kemaslahatan segenap
umat manusia.
Memutuskan perkara adalah mutlak harus bersandar kepada kitabullah dan
sunnah Rasulullah . Jika tidak, yang timbul adalah
kerusakan demi kerusakan dan ketidak adilan.
Jika ada hukum yang sesuai dengan hukum yang sesuai dengan islam di
dalam hukum buatan manusia, maka tidak secara otomatis menyebut hukum tersebut
sebagai hukum Allah . Karena tercampurnya kebenaran dan kebatilan
----
NASIHAT ULAMA TENTANG PENERAPAN HUKUM ALLAH
Hukum Allah yang tercantum di dalam al-Quran dan Assunnah adalah hukum
positif yang wajib diterapkan di muka bumi dalam setiap aspek kehidupan
manusia.
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut
apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”(Al-Maidah
[5]: 44).
Ibnu
Abbas ra, mengatakan berkaitan tafsir ayat itu, “Itu bukanlah kekufuran
sebagaimana yang mereka (Khawarij) maksudkan. Ia bukanlah kekufuran yang
mengeluarkan dari agama (murtad). ‘Barang siapa yang tidak memutuskan menurut
apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir’;
yaitu kafir tetapi tidak kafir akbar (kufrun duna kufrin)”.
Dalam
masalah berhukum dengan selain hukum Allah, terutama surat Al-Maidah ayat 44,
pendapat yang benar dalam masalah ini bahwa kata “kafir” tersebut mengandung
dua macam kekafiran; kafir asghar dan kafir akbar sesuai kondisi orang yang berhukum
dengan selain hukum Allah. Jika ia berhukum dengan selain hukum Allah; ia
mengakui wajibnya berhukum dengan hukum Allah, mengakui perbuatannya tersebut
adalah maksiat dan dosa dan berhak dihukum, maka ini kafir asghar.
Namun,
apabila ia berhukum dengan selain hukum Allah karena menganggap remeh hukum
Allah, atau meyakini selain hukum Allah ada yang lebih baik, atau sama baik,
atau ia boleh memilih antara berhukum dengan hukum Allah dan selain selain
Allah, maka ini kafir akbar. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim. Dan ini pulalah makna dari pendapat Ibnu
Abbas di atas.
Dr.
Abdul Aziz bin Muhammad bin Ali Alu Abdu Lathif mengatakan di dalam kitab
Nawaqidhul Iman Al Qauliyah wal ‘Amaliyah, “Berhukum dengan selain hukum Allah
hukumnya kufur asghar ketika seorang penguasa atau hakim memutuskan suatu
perkara tertentu dengan selain hukum Allah namun ia masih meyakini bahwa
memutuskan perkara tertentu tersebut wajib dengan hukum Allah. Ia berpaling
dari hukum Allah dalam masalah tersebut karena maksiat, hawa nafsu dan
syahwatnya dengan mengakui bahwa hal itu termasuk dosa dan karena perbuatannya
itu ia berhak untuk dihukum.”
Imam
Ibnu Qayyim berkata di dalam kitab madarijus salikin :
“Jika
meyakini wajibnya memutuskan perkara dengan hukum Allah dalam masalah tersebut
kemudian ia berpaling darinya karena maksiat sementara ia masih mengakui ia
berhak mendapat hukuman (atas sikap meninggalkan hukum Allah dalam kasus ini)
maka ini kafir asghar.”
Hal
ini pula yang diutarakan oleh Imam Al Qurthubi di dalam tafsirnya , Syaikh Muhammad bin
Ibrahim , dan Syaikh Asy Syinqithi.
No comments:
Post a Comment