Sarmila menatap Jalil dengan tatapan penuh harap.”Kang, sudah tiga tahun akang tidak menjenguk bapak. Cobalah untuk menjenguknya barang setahun sekali ketika lebaran. Bagaimana pun juga dia bapak akang yang sudah selayaknya mendapatkan penghormatan.”
Jalil
memalingkan mukanya dan mendengus pelan. Entah sudah berapa kali kata-kata itu
keluar dari mulut Sarmila istrinya. Ya, menyuruhnya untuk menjenguk bapak.
Lelaki yang paling dia benci seumur hidupnya. Lelaki yang telah meninggalkan
kenangan buruk di benaknya yang terdalam. Kenangan yang membawa dendam dan
sakit hati yang begitu membekas. Bahkan tak lekang walau belasan tahun sudah
berlalu.
Tapi jalil
dibuat gundah gulana karena perintah istrinya itu. Belum lagi Sarmila sering
menyinggung tentang masalah bakti anak terhadap orang tua. Ditambah lengkap
dengan dalil-dalilnya. Uh! Dasar memang santri. Sarmila mahir dalam urusan
dalil dan mendalili.
Jalil memang
selalu tak berkutik di hadapan Sarmila. Termasuk dalam urusan hubungan dia
dengan bapaknya. Sarmila selalu membuatnya tunduk. Karena dia wanita yang
sempurna di matanya.
Tiba-tiba
saja Jalil teringat fragmen kehidupannya tiga puluh tahun silam.
“Mak, bapak kapan sih pulang. Sudah dua tahun
tidak pulang ke rumah.”
Mata sang
ibu menatap nyalang. Perempuan itu memang didera tekanan batin dan penderitaan
yang tidak bisa dibilang ringan. Perempuan yang dipanggil emak itu adalah
perempuan yang harus menghidupi ketiga anaknya –jalil dan kedua adiknya- di
tengah kondisi ekonomi yang morat-marit.
“Bapa siapa
mah da jurig. Teu gableg kanyaah pisan. Montong tunya-tanya deui bapa, siah
Jalil. Geus bosen ngadengena!”[ Bapak kamu itu setan. Tidak punya perasaan.
Jangan bertanya lagi masalah bapak kamu. Sudah bosan saya mendengarnya!] Emaknya
berseru dengan entakan emosi yang mengalir dari kata-kata. Kata yang
mengekspresikan rasa sakit hati yang tiada terkira.
Bapak Jalil
adalah lelaki yang menjadi primadona gadis desa. Ia lelaki yang tampan dengan
segala kelebihan yang ia punya. Termasuk kekayaan yang dia warisi dari kedua
orang tuanya sebagai tuan tanah dan pengepul hasil pertanian.
Lelaki itu
adalah anak semata wayang. Maka seluruh kekayaan orang tuanya dia miliki
sebagai ahli waris tunggal. Dengan kekayaannya itu, tak ada yang tidak
terpikat.
Banyak
wanita yang menyukainya. Hanya saja lelaki itu menyukai Euis, seorang gadis
kampung yang justru tidak terlalu menonjol dan juga bukan dari keluarga berada.
Tapi lima
tahun usia pernikahan, lelaki itu meninggalkan Euis. Pergi merantau ke luar
pulau jawa dengan membawa seorang istri dari kota. Melebarkan bisnis dan usaha
di tanah yang lebih menjanjikan.
Sejak itu,
Euis terkatung-katung dan menyerah dengan takdir yang harus dia jalani.
Membesarkan ketiga anaknya dengan kasih, walau harus pula merasa sakit hati dan
beban yang tidak bisa dianggap main-main. Suaminya tidak meninggalkan apa pun
untuk dia.
“Mak,
mudah-mudahan we nya tahun hareup mah bapa teh balik.” Lagi-lagi Jalil
bertanya.
Euis
memalingkan muka supaya air matanya tidak terlihat oleh anak pertamanya
tersebut.
Berbelas
tahun lamanya Euis membesarkan ketiga anaknya dengan kasih dan cinta, tanpa ada
sosok yang disebut bapak. Hingga kemudian TBC mulai menggerogoti paru dan
membuat Euis terbatuk-batuk sepanjang waktu. Euis tahu bahwa dia tidak
baik-baik saja. Akan tetapi, dia selalu melupakan penyakitnya itu demi ketiga
anaknya. Meski sakit mendera, dia tetap bekerja di ladang milik orang.
Ketika Euis sakit,
jalil berpesan kepada mang Ondin, lelaki yang sama merantau di tanah seberang,
untuk menyampaikan pesannya kepada bapak, jenguklah emak. Tapi ketika mang Ondin
kembali di lebaran tahun berikutnya dia bilang, bapak tidak akan pulang lagi ke
kampung halaman.
Tampaknya bapak
sudah benar-benar lupa-bukan lupa, tapi melupakam-.kampung halaman dan keluarga
yang dia tinggal. Euis, jalil anaknya dan kedua adiknya jalil yang masih kecil.
“Bapa
maneh mah geus jadi sodagar jang. Pang
beungharna jiganya sakampung.”[ Bapak kamu sudah menjadi saudagar kaya. Mungkin
paling kaya diantara orang sekampung.]Begitu komentar mang Ondin, yang justru
membuat hari Jalil seakan diremas-remas karena sakit hati. Benar, kata emak.
Bapak memang jurig. Bukan manusia.
Bahkan Euis
barangkali membawa dendam itu hingga ajal menjemputnya. Jalil masih ingat
bagaimana detik-detik terakhir dia menyaksikan sang ibu meregang nyawa dengan
napas putus-putus dan suara napas seperti ketel yang mendidih. Tapi di ujung
napasnya sang ibu sempat berpesan, “Meski kita sama-sama benci bapakmu, jika
suatu saat dia datang untuk meminta maaf, maka maafkanlah.”
Bah! Tidak sudi
rasanya dia memaafkan bapak.
Singkat cerita,
Jalil menikah dengan Sarmila. Gadis yang belasan tahun lamanya menjadi santri
di pondok pesantren Jawa Timur. Pernikahan tersebut berawal dari pertemuan
mereka di hajatan desa. Jalil sebagai sekretaris desa mau tak mau harus
membereskan tetek bengek segala urusan acara tersebut. Sedangkan Euis saat itu
menjadi panitia acara lomba tilawah. Dan pertemuan tersebut menumbuhkan satu
rasa. Tak menunggu lama untuk melangsungkan akad pernikahan.
Ah, aku juga
lupa menceritakan kepadamu, bahwa Jalil telah berhasil melanjutkan pendidikan
hingga lulus SMA. Setelah lulus SMA ia diajukan untuk menjadi sekretaris desa.
Menggantikan sekretaris lama yang tersangkut korupsi proyek pengecoran jembatan
tua yang sudah setahun rusak berat. Orang-orang sedesa mempercayakan jabatan
itu kepada Jalil. Ya, dia pantas untuk menjabatnya karena dia seorang pemuda
yang jujur. Percaya saja padaku.
Jalil patut
bersyukur, dengan jabatannya sebagai sekretaris desa, dia bisa membiayai kedua
adiknya. Zainab dan Asep melanjutkan sekolah. Bahkan sekarang Zainab, adik
pertamanya bisa kuliah di STAI kabupaten.
Ketika pernikahannya
berlangsung, Jalil tak perlu repot-repot untuk memberitahukan pernikahan dia
kepada bapaknya. Itu dia lakukan dengan dua alasan. Yang pertama, dia yakin
bapaknya tidak akan datang untuk menyaksikan pernikaannya. Dan yang kedua, dia
memang tidak ingin melihat lagi bapaknya. Ia harus melupakan bapaknya
sebagaimana bapaknya melupakan dia, emak dan kedua adiknya.
***
Pagi itu
langit tampak cerah. Dengan sedikit awan yang berserak dengan latar biru yang
menawan. Jalil sudah siap-siap untuk berangkat ke kantor desa ketika Sarmila
menenteng sebuah amplop surat yang baru saja dia terima dengan jasa paket
kilat.
“Katanya
dari Bapak.”ujar Sarmila. Tangannya yang lentik menyerahkan surat itu-bukan
menyerahkan, tapi menyimpannya di paha suaminya-.”baca atuh.”
Jalil
menghela nafas dan tangannya seakan berat untuk membuka surat itu. Bahkan jika
tidak ada Sarmila, ia ingin sekali membuang surat itu ke selokan di belakang
rumah, atau membakarnya di tungku. Dia tidak perlu kabar dari lelaki jurig itu.
Ia juga tidak perlu berurusan lagi dengan namanya bapak. Karena dia tidak
berbapak. Dia hanya anak dari lelaki yang memang pernah menjadi ‘bapak’ sebelum
benar-benar menjadi ‘jurig’ sebagaimana yang dikatakan emak kepadanya.
“Aeh-aeh, kalah
ceuleupeung kitu, sok atuh diaos. Sarmila hoyong ngupingkeun.”[ Lho, kok malah
bengong. Ayo baca. Sarmila ingin mendengarkan.]
Jalil
kembali menghela nafas dan menatap Sarmila.”Kamu saja yang baca. Biar akang
yang mendengarkan.”
Sarmila
menggerutu sebelum benar-benar menerima surat tersebut, merobek ujungnya dan
mulai mengeluarkan selembar kertas folio dan membacanya.
Dari bapak
Jalil
anakku,
Maafkan
bapak yang telah membuat emak dan kalian menderita. Bapak merasa menyesal
dengan semua yang telah bapak lakukan. Bapak dzalim kepada kalian. Bapak tidak
ingin meninggal dengan membawa dosa yang begitu besar. Mohon maafkan bapak.
Ingin
rasanya bapak melihat kamu, zainab dan Asep. Andai bapak kuat, bapak ingin
pulang dan melihat kalian. Bapak rindu. Walau rindu itu mungkin datang
terlambat, tapi bapak ingin kalian tahu perasaan yang bapak alami sekarang.
Jalil
kembali menghela nafas dan hanya terdiam. Sementara Sarmila kembali
berujar,”Usahakan untuk menjenguk bapak.”
Bagaimana
pun juga baik Jalil atau Sarmila sama-sama tahu bagaimana kondisi bapak
sekarang. Menurut mang Ondin yang lebaran kemarin pulang dari seberang, Bapak
hidup sebatang kara. Semua hartanya dikuasai oleh anak-anak tirinya, bahkan
istrinya pun berusaha memenangkan semua hartanya.
Oh, baru
tahu bahwa bapak ternyata menikah dengan seorang janda yang sudah mempunyai
beberapa anak. Dan kini ia harus menerima konsekuensinya.
“Keun bae,
lain urusan kuring eta mah. Rasakeun wae, titah saha mantog ninggalkeun
pamajikan jeung anak.”[ Tidak apa-apa. itu bukan urusanku. Rasakan saja, siapa
yang suruh meninggalkan anak dan istri.] begitu komentar Jalil ketika istrinya
berusaha membujuknya untuk memaafkan bapak. Setelah mereka mendengar cerita
mang Ondin.
“Teu kenging
kitu atuh A. sok sanajan kumaha oge, tetep anjeuna teh bapa anu kudu
dipihormat.” [ Jangan gitu kak. Walau pun dia begitu, tetap saja dia ayah yang
harus dihormati] seru Sarmila.
***
Sarmila
mengajak Jalil untuk mengunjungi abah di kampung. Sudah tiga bulan tidak
menjenguk abah, membuat Sarmila kangen dan ingin menjenguknya.
Abah, begitu
sarmila memanggilnya, adalah mertua Jalil yang sangat perhatian dan penyayang,
baik kepada anaknya Sarmila maupun kepada menantunya sendiri. Hal itu pula yang
dirasakan Jalil ketika ia melihat Sarmila bercengkerama dengan abahnya.
“Bah,
Sarmila teh udah mau punya anak. Kira-kira namanya apa ya bah.” Ujar Sarmila
sembari memijit kaki dan betis abahnya.
Si abah
tersenyum,” Calon bayimu laki atau perempuan?”
“Belum tahu
bah, mau laki atau perempuan sama saja. Tidak perlu diperiksa lagi. Sok atuh
abah, kalau laki-laki yang cocok namanya apa, yang perempuan apa.”
Si Abah
menyebutkan nama kesukaannya dan Sarmila menolaknya. Katanya nama yang diajukan
terlalu kuno. Kemudian abah kembali mengajukan nama. Lagi-lagi Sarmila kurang
setuju. Hingga mereka ujung-ujungnya cape sendiri mencari nama.
Jalil
tersenyum dan merasa ada cinta yang menyelimuti antara Sarmila dan abahnya.
Hatinya
menghangat. Dia tiba-tiba ingat bapak yang selama ini menorah sakit di hatinya.
Demi melihat Sarmila dan abah, rasa sakit itu, entah kenapa, mulai menguar dan
hilang perlahan.
Lebaran
nanti aku akan menjenguk bapak, ujarnya dalam hati.
No comments:
Post a Comment