18 Apr 2017

Rindu Bapak

Sarmila menatap Jalil dengan tatapan penuh harap.”Kang, sudah tiga tahun akang tidak menjenguk bapak. Cobalah untuk menjenguknya barang setahun sekali ketika lebaran. Bagaimana pun juga dia bapak akang yang sudah selayaknya mendapatkan penghormatan.”

 

Jalil memalingkan mukanya dan mendengus pelan. Entah sudah berapa kali kata-kata itu keluar dari mulut Sarmila istrinya. Ya, menyuruhnya untuk menjenguk bapak. Lelaki yang paling dia benci seumur hidupnya. Lelaki yang telah meninggalkan kenangan buruk di benaknya yang terdalam. Kenangan yang membawa dendam dan sakit hati yang begitu membekas. Bahkan tak lekang walau belasan tahun sudah berlalu.

 

Tapi jalil dibuat gundah gulana karena perintah istrinya itu. Belum lagi Sarmila sering menyinggung tentang masalah bakti anak terhadap orang tua. Ditambah lengkap dengan dalil-dalilnya. Uh! Dasar memang santri. Sarmila mahir dalam urusan dalil dan mendalili.

 

Jalil memang selalu tak berkutik di hadapan Sarmila. Termasuk dalam urusan hubungan dia dengan bapaknya. Sarmila selalu membuatnya tunduk. Karena dia wanita yang sempurna di matanya.

 

Tiba-tiba saja Jalil teringat fragmen kehidupannya tiga puluh tahun silam.

 

 “Mak, bapak kapan sih pulang. Sudah dua tahun tidak pulang ke rumah.”

 

Mata sang ibu menatap nyalang. Perempuan itu memang didera tekanan batin dan penderitaan yang tidak bisa dibilang ringan. Perempuan yang dipanggil emak itu adalah perempuan yang harus menghidupi ketiga anaknya –jalil dan kedua adiknya- di tengah kondisi ekonomi yang morat-marit.

 

“Bapa siapa mah da jurig. Teu gableg kanyaah pisan. Montong tunya-tanya deui bapa, siah Jalil. Geus bosen ngadengena!”[ Bapak kamu itu setan. Tidak punya perasaan. Jangan bertanya lagi masalah bapak kamu. Sudah bosan saya mendengarnya!] Emaknya berseru dengan entakan emosi yang mengalir dari kata-kata. Kata yang mengekspresikan rasa sakit hati yang tiada terkira.

 

Bapak Jalil adalah lelaki yang menjadi primadona gadis desa. Ia lelaki yang tampan dengan segala kelebihan yang ia punya. Termasuk kekayaan yang dia warisi dari kedua orang tuanya sebagai tuan tanah dan pengepul hasil pertanian.

 

Lelaki itu adalah anak semata wayang. Maka seluruh kekayaan orang tuanya dia miliki sebagai ahli waris tunggal. Dengan kekayaannya itu, tak ada yang tidak terpikat.

 

Banyak wanita yang menyukainya. Hanya saja lelaki itu menyukai Euis, seorang gadis kampung yang justru tidak terlalu menonjol dan juga bukan dari keluarga berada.

 

Tapi lima tahun usia pernikahan, lelaki itu meninggalkan Euis. Pergi merantau ke luar pulau jawa dengan membawa seorang istri dari kota. Melebarkan bisnis dan usaha di tanah yang lebih menjanjikan.

 

Sejak itu, Euis terkatung-katung dan menyerah dengan takdir yang harus dia jalani. Membesarkan ketiga anaknya dengan kasih, walau harus pula merasa sakit hati dan beban yang tidak bisa dianggap main-main. Suaminya tidak meninggalkan apa pun untuk dia.

 

“Mak, mudah-mudahan we nya tahun hareup mah bapa teh balik.” Lagi-lagi Jalil bertanya.

 

Euis memalingkan muka supaya air matanya tidak terlihat oleh anak pertamanya tersebut.

Berbelas tahun lamanya Euis membesarkan ketiga anaknya dengan kasih dan cinta, tanpa ada sosok yang disebut bapak. Hingga kemudian TBC mulai menggerogoti paru dan membuat Euis terbatuk-batuk sepanjang waktu. Euis tahu bahwa dia tidak baik-baik saja. Akan tetapi, dia selalu melupakan penyakitnya itu demi ketiga anaknya. Meski sakit mendera, dia tetap bekerja di ladang milik orang.

Ketika Euis sakit, jalil berpesan kepada mang Ondin, lelaki yang sama merantau di tanah seberang, untuk menyampaikan pesannya kepada bapak, jenguklah emak. Tapi ketika mang Ondin kembali di lebaran tahun berikutnya dia bilang, bapak tidak akan pulang lagi ke kampung halaman.

 

Tampaknya bapak sudah benar-benar lupa-bukan lupa, tapi melupakam-.kampung halaman dan keluarga yang dia tinggal. Euis, jalil anaknya dan kedua adiknya jalil yang masih kecil.

“Bapa maneh  mah geus jadi sodagar jang. Pang beungharna jiganya sakampung.”[ Bapak kamu sudah menjadi saudagar kaya. Mungkin paling kaya diantara orang sekampung.]Begitu komentar mang Ondin, yang justru membuat hari Jalil seakan diremas-remas karena sakit hati. Benar, kata emak. Bapak memang jurig. Bukan manusia.

Bahkan Euis barangkali membawa dendam itu hingga ajal menjemputnya. Jalil masih ingat bagaimana detik-detik terakhir dia menyaksikan sang ibu meregang nyawa dengan napas putus-putus dan suara napas seperti ketel yang mendidih. Tapi di ujung napasnya sang ibu sempat berpesan, “Meski kita sama-sama benci bapakmu, jika suatu saat dia datang untuk meminta maaf, maka maafkanlah.”

Bah! Tidak sudi rasanya dia memaafkan bapak.

Singkat cerita, Jalil menikah dengan Sarmila. Gadis yang belasan tahun lamanya menjadi santri di pondok pesantren Jawa Timur. Pernikahan tersebut berawal dari pertemuan mereka di hajatan desa. Jalil sebagai sekretaris desa mau tak mau harus membereskan tetek bengek segala urusan acara tersebut. Sedangkan Euis saat itu menjadi panitia acara lomba tilawah. Dan pertemuan tersebut menumbuhkan satu rasa. Tak menunggu lama untuk melangsungkan akad pernikahan.

Ah, aku juga lupa menceritakan kepadamu, bahwa Jalil telah berhasil melanjutkan pendidikan hingga lulus SMA. Setelah lulus SMA ia diajukan untuk menjadi sekretaris desa. Menggantikan sekretaris lama yang tersangkut korupsi proyek pengecoran jembatan tua yang sudah setahun rusak berat. Orang-orang sedesa mempercayakan jabatan itu kepada Jalil. Ya, dia pantas untuk menjabatnya karena dia seorang pemuda yang jujur. Percaya saja padaku.

Jalil patut bersyukur, dengan jabatannya sebagai sekretaris desa, dia bisa membiayai kedua adiknya. Zainab dan Asep melanjutkan sekolah. Bahkan sekarang Zainab, adik pertamanya bisa kuliah di STAI kabupaten.

Ketika pernikahannya berlangsung, Jalil tak perlu repot-repot untuk memberitahukan pernikahan dia kepada bapaknya. Itu dia lakukan dengan dua alasan. Yang pertama, dia yakin bapaknya tidak akan datang untuk menyaksikan pernikaannya. Dan yang kedua, dia memang tidak ingin melihat lagi bapaknya. Ia harus melupakan bapaknya sebagaimana bapaknya melupakan dia, emak dan kedua adiknya.

 

***

 

 

 

Pagi itu langit tampak cerah. Dengan sedikit awan yang berserak dengan latar biru yang menawan. Jalil sudah siap-siap untuk berangkat ke kantor desa ketika Sarmila menenteng sebuah amplop surat yang baru saja dia terima dengan jasa paket kilat.

“Katanya dari Bapak.”ujar Sarmila. Tangannya yang lentik menyerahkan surat itu-bukan menyerahkan, tapi menyimpannya di paha suaminya-.”baca atuh.”

Jalil menghela nafas dan tangannya seakan berat untuk membuka surat itu. Bahkan jika tidak ada Sarmila, ia ingin sekali membuang surat itu ke selokan di belakang rumah, atau membakarnya di tungku. Dia tidak perlu kabar dari lelaki jurig itu. Ia juga tidak perlu berurusan lagi dengan namanya bapak. Karena dia tidak berbapak. Dia hanya anak dari lelaki yang memang pernah menjadi ‘bapak’ sebelum benar-benar menjadi ‘jurig’ sebagaimana yang dikatakan emak kepadanya.

“Aeh-aeh, kalah ceuleupeung kitu, sok atuh diaos. Sarmila hoyong ngupingkeun.”[ Lho, kok malah bengong. Ayo baca. Sarmila ingin mendengarkan.]

 

Jalil kembali menghela nafas dan menatap Sarmila.”Kamu saja yang baca. Biar akang yang mendengarkan.”

 

Sarmila menggerutu sebelum benar-benar menerima surat tersebut, merobek ujungnya dan mulai mengeluarkan selembar kertas folio dan membacanya.

 

Dari bapak

 

Jalil anakku,

 

Maafkan bapak yang telah membuat emak dan kalian menderita. Bapak merasa menyesal dengan semua yang telah bapak lakukan. Bapak dzalim kepada kalian. Bapak tidak ingin meninggal dengan membawa dosa yang begitu besar. Mohon maafkan bapak.

 

Ingin rasanya bapak melihat kamu, zainab dan Asep. Andai bapak kuat, bapak ingin pulang dan melihat kalian. Bapak rindu. Walau rindu itu mungkin datang terlambat, tapi bapak ingin kalian tahu perasaan yang bapak alami sekarang.

 

Jalil kembali menghela nafas dan hanya terdiam. Sementara Sarmila kembali berujar,”Usahakan untuk menjenguk bapak.”

 

Bagaimana pun juga baik Jalil atau Sarmila sama-sama tahu bagaimana kondisi bapak sekarang. Menurut mang Ondin yang lebaran kemarin pulang dari seberang, Bapak hidup sebatang kara. Semua hartanya dikuasai oleh anak-anak tirinya, bahkan istrinya pun berusaha memenangkan semua hartanya.

 

Oh, baru tahu bahwa bapak ternyata menikah dengan seorang janda yang sudah mempunyai beberapa anak. Dan kini ia harus menerima konsekuensinya.

 

“Keun bae, lain urusan kuring eta mah. Rasakeun wae, titah saha mantog ninggalkeun pamajikan jeung anak.”[ Tidak apa-apa. itu bukan urusanku. Rasakan saja, siapa yang suruh meninggalkan anak dan istri.] begitu komentar Jalil ketika istrinya berusaha membujuknya untuk memaafkan bapak. Setelah mereka mendengar cerita mang Ondin.

 

“Teu kenging kitu atuh A. sok sanajan kumaha oge, tetep anjeuna teh bapa anu kudu dipihormat.” [ Jangan gitu kak. Walau pun dia begitu, tetap saja dia ayah yang harus dihormati] seru Sarmila.

 

***

 

Sarmila mengajak Jalil untuk mengunjungi abah di kampung. Sudah tiga bulan tidak menjenguk abah, membuat Sarmila kangen dan ingin menjenguknya.

 

Abah, begitu sarmila memanggilnya, adalah mertua Jalil yang sangat perhatian dan penyayang, baik kepada anaknya Sarmila maupun kepada menantunya sendiri. Hal itu pula yang dirasakan Jalil ketika ia melihat Sarmila bercengkerama dengan abahnya.

 

“Bah, Sarmila teh udah mau punya anak. Kira-kira namanya apa ya bah.” Ujar Sarmila sembari memijit kaki dan betis abahnya.

 

Si abah tersenyum,” Calon bayimu laki atau perempuan?”

 

“Belum tahu bah, mau laki atau perempuan sama saja. Tidak perlu diperiksa lagi. Sok atuh abah, kalau laki-laki yang cocok namanya apa, yang perempuan apa.”

 

Si Abah menyebutkan nama kesukaannya dan Sarmila menolaknya. Katanya nama yang diajukan terlalu kuno. Kemudian abah kembali mengajukan nama. Lagi-lagi Sarmila kurang setuju. Hingga mereka ujung-ujungnya cape sendiri mencari nama.

 

Jalil tersenyum dan merasa ada cinta yang menyelimuti antara Sarmila dan abahnya.

 

Hatinya menghangat. Dia tiba-tiba ingat bapak yang selama ini menorah sakit di hatinya. Demi melihat Sarmila dan abah, rasa sakit itu, entah kenapa, mulai menguar dan hilang perlahan.

 

Lebaran nanti aku akan menjenguk bapak, ujarnya dalam hati.

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment