19 Sept 2016

Karena Allah Tahu Aku Kuat

Seperti Dikisahkan YM kepada penulis

Teman-teman di sekitarku mungkin melihatku sebagai seorang lelaki biasa yang tak jauh beda dengan lelaki mana pun. Mereka teman-temanku menganggapku sebagai sahabat apa adanya. Tapi andai mereka tahu siapa diriku, aku tak yakin, apa yang akan terjadi. Aku tak yakin apakah mereka merasa tetap menjadi sahabatku, atau bahkan sesegera mungkin menjauhiku dengan jijik. Apa pasal? Bertahun-tahun lamanya aku menyimpan rahasia. Hanya aku dan tuhanku yang tahu rahasia ini. Mungkin kau bertanya-tanya, rahasia apa yang selama ini kusembunyikan dari teman-temanku, orang tuaku, guruku dan orang-orang disekitarku?

Aku harap kau tak akan kaget mendengarnya. Aku seorang gay. Ya, aku seorang lelaki yang entah tidak menyukai perempuan secara orientasi seksual, justru yang ada aku menyukai sesama lelaki. Aku harap kau tak akan cepat-cepat mencaciku ssebelum kau menyelesaikan membaca kisahku ini.
Sedari kecil aku diasuh oleh orang tua yang agamis bahkan bapakku seorang ustadz. Semenjak kecil pula aku selalu digembleng dengan akhlak seorang muslim. Namun, masa kecilku harus aku lalui dengan pengalaman yang tak pernah aku lupakan. Ketika aku berumur 6 tahun, aku (maaf) menjadi objek seksual seorang fedofilia berumur belasan tahun. Seorang pelajar SMP. Dan hal itu berjalan begitu lama. Perlahan aku mulai merasa nyaman dengan semua yang terjadi. Dan anehnya, aku tak pernah mengadukan hal itu kepada orang tuaku. Diam-diam aku menganggapnya sebagai hal yang tiada cela.

Beruntung, kedua orang tuaku pindah ke kota yang lain, sehingga aku pun berpisah dengan seorang pedofilia tersebut. Dan lagi-lagi aku bertemu dengan seorang gay di kota baru itu. Hal itu terjadi tampa sengaja.

Setiap sore hari aku biasa berangkat ke surau terdekat untuk mengikuti pengajian anak-anak. Aku dan teman-temanku biasa disebut santri kalong (berangkat sore pulang bakda subuh). Jadi aku tidur di surau. Kejadian itu terulang kembali. Aku menjadi objek seks seorang pemuda tanggung yang sama-sama ngaji di situ. Aku yang pada awalnya merasa risih dalam waktu yang sebentar bisa menjadi terbiasa. Daan hal itu berulang-ulang terjadi hingga rasanya sulit bagiku untuk terlepas dari semua itu.
Setelah lulus dari SMP, aku ditawari kakakku untuk mondok di pesantren sekaligus melanjutkan ke jenjang madrasah aliyah. Tentu saja aku mau, bagaimana pun, aku masih begitu semangat mengkaji ilmu. Saat itu aku mulai sadar bahwa apa yang aku alami selama ini adalah hal yang abnormal. Apalagi hal itu sangat terlarang dalam perspektif islam. Bahkan disebutkan bahwa Allah telah mengazab kaum luth karena orientasi seksual yang menyimpang. Persis seperti yang aku alami dan aku rasakan selama ini.

Tapi keimananku kembali didera dengan ujian yang berat. Aku kembali bertemu dengan seorang gay di pesantren. Bayangkan! Seorang gay di pesantren. Dan kembali aku terjerumus pada lubang yang sama untuk kesekian kalinya. Dan lagi-lagi aku menjadi objek seks seorang lelaki gay. Apakah ini sudah takdirku? Kenapa Allah selalu menakdirkan hidupku untuk bertemu dengan orang-orang seperti itu hingga aku sulit untuk bisa berlepas diri? Kenapa di hatiku muncul rasa cinta terhadap seorang lelaki layaknya gadis perempuan yang menyukai seorang pemuda?

Kadang aku merasa benci dengan diriku sendiri. Aku benci dengan diriku yang tak berdaya menghadapi kondisi ini. Aku benci diriku yang tidak bisa lepas dari orientasi seksualku yang salah. Bahkan lebih parah merasa nyaman dengannya. Rasa bersalah kadang muncul di hatiku yang terdalam. Tapi rasa bersalah itu menguap entah kemana ketika aku kembali bersama dengan pasangan gayku. Walaupun mungkin kami tidak pernah mengatakan kami gay. Walaupun mungkin kami mengakui bahwa perbuatan kami perbuatan terkutuk, berbeda dengan gay yang overacting dan merasa bahwa apa yang mereka alami adalah sah-sah saja. Bahkan bangga mengatakan diri mereka sebagai gay dan lebih parah lagi meminta pengakuan secara legal. Bah, aku saja merasa jijik jika seandainya gay dilegalkan. Karena aku yakin bahwa apa yang menimpa diriku adalah sebuah penyakit. Dan penyakit itu harus aku hilangkan. Tapi nyatanya “penyakit” itu masih tetap bertahan di jiwaku.

Selepas lulus dari madrasah aliyah, aku tidak melanjutkan ke perguruan tinggi karena faktor biaya. Aku sempat galau karena hal itu. Tapi untungnya salah seorang kerabat menunjukan saya ke sebuah pesantren salaf yang terdapat ma’had aly di dalamnya. Tampa berpikir panjang aku pun mendaftar dan alhamdulillah diterima dengan mudah.

Mungkin ini anugerah dari Allah subhanahu wata’ala, perlahan aku mulai membenahi diri dan bisa menjaga diri dari hal-hal yang menjerumuskanku pada pengalaman pahit yang pernah kualami. Di mahad aku bertemu dengan teman-teman yang salih dan selalu memotivasiku dalam hal kebaikan. Tak pernah sekali pun aku menceritakan apa yang aku alami kepada mereka, yang lalu biarlah berlalu bersama waktu. Dari mahad ini pula aku memahami dan mengamalkan manhaj salaf yang begitu agung. Kembali meniti sunnah yang suci.

Setelah beberapa tahun lamanya aku belajar di mahad aly, tibalah gilirannya diwisuda. Aku dan belasan temanku diwisuda dalam acara yang sederhana. Dan tentu saja amanah baru terbentang di hadapan kami. Sesuai perjanjian, setelah beberapa tahun digembeng dengan didikan islam, kami ditugaskan berdakwah di sebuah yayasan dakwah. Aku dan teman-temanku merasa antusias dan tertantang.
Awal-awal keberadaanku di lembaga dakwah aku merasa nyaman. Tapi lagi-lagi aku harus kembali tersiksa dengan perasaanku. Bagaimana tidak, tiba-tiba saja rasa haram itu kembali menyeruak setelah aku ditugaskan dengan seorang ikhwan. Sebut saja namanya Q. Seiring pertemuan kami yang intens dan selalu bersama-sama dalam setiap kondisi-entah kenapa-ada rasa yang timbul di hatiku. Aku berusaha menepisnya. Tapi semakin kutepis semakin kuat rasa itu menghantuiku. Aku kembali menyukai seorang lelaki. Menyukai dalam diam.

Waktu terus berjalan dan rasa itu masih saja bertahan. Aku berharap semoga saja aku dipindahkan ke divisi lain sehingga aku bisa berpisah dengan Q. Tapi nyatanya harapanku tidak pernah terwujud. Aku tetap harus bertugas bersama Q yang sama sekali tidak pernah menyadari apa yang aku rasakan. Ya allah tolong hambamu. Begitu rintihku setiap waktu. Ini benar-benar menyiksa setiap inci dari perasaan terdalamku.

Suatu hari, dengan keberanian yang aku paksakan aku curhat kepada seorang ustadz dengan apa yang aku rasakan selama ini. Tentu saja bukan ustadz yang aku kenal. Ustadz ini adalah seorang pengasuh rubrik konsultasi di sebuah majalah islam. Dan tentu saja aku berkonsultasi lewat surat disertai pesan untuk menyembunyikan nama dan identitasku. Atau kalau perlu menjawabnya secara pribadi, tidak usah dimuat di majalahnya. Ia setuju saja dengan apa yang aku katakan.
Aku katakan padanya bahwa aku sudah tidak kuat dan muak dengan apa yang aku alami. Aku juga tidak tahu kenapa rasa itu hadir? Kenapa harus aku yang mengalami hal ini? Kenapa bukan yang lain? Kenapa Allah mengujiku dengan perasaan haram ini? Pertanyaan-pertanyaan itu berletupan tampa bisa kubendung.

Lalu apa jawaban yang aku dapatkan ustadz? Dia bilang,”Allah memilihmu dengan ujian ini karena Allah yakin bahwa kamu kuat menghadapinya dan kamu bisa hijrah menuju kebenaran. Kenapa kamu, bukan orang lain yang mengalaminya? Karena Allah sayang terhadapmu, makanya Ia mengujimu dengan ujian yang boleh dibilang berat. Tapi nyatanya Allah tetap memberimu ujian itu untuk mengetahui sejauh mana rasa cintamu kepada-Nya. Kalau memang rasa cintamu besar, kau akan kuat untuk menjauhi perasaan suka terhadap sesama jenis itu.
Yakinlah dan ikhtiarlah. Karena Allah tidak akan merubah kondisi kita selama kita tidak ada niatan untuk berubah.

Saat itu air mataku menganak sungai di kedua belah pipiku. Saat itu aku tercerahkan. Ya allah, aku yakin bahwa aku bisa berubah. Bantu aku ya Allah. Bantu aku untuk bisa menjadi hamba-Mu yang ihsan dan selalu mengingatmu ketika rasa itu datang.


Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment