Seperti Dikisahkan
YM kepada penulis
Teman-teman di
sekitarku mungkin melihatku sebagai seorang lelaki biasa yang tak jauh beda
dengan lelaki mana pun. Mereka teman-temanku menganggapku sebagai sahabat apa
adanya. Tapi andai mereka tahu siapa diriku, aku tak yakin, apa yang akan
terjadi. Aku tak yakin apakah mereka merasa tetap menjadi sahabatku, atau
bahkan sesegera mungkin menjauhiku dengan jijik. Apa pasal? Bertahun-tahun
lamanya aku menyimpan rahasia. Hanya aku dan tuhanku yang tahu rahasia ini. Mungkin
kau bertanya-tanya, rahasia apa yang selama ini kusembunyikan dari
teman-temanku, orang tuaku, guruku dan orang-orang disekitarku?
Aku harap kau tak
akan kaget mendengarnya. Aku seorang gay. Ya, aku seorang lelaki yang entah
tidak menyukai perempuan secara orientasi seksual, justru yang ada aku menyukai
sesama lelaki. Aku harap kau tak akan cepat-cepat mencaciku ssebelum kau menyelesaikan
membaca kisahku ini.
Sedari kecil aku
diasuh oleh orang tua yang agamis bahkan bapakku seorang ustadz. Semenjak kecil
pula aku selalu digembleng dengan akhlak seorang muslim. Namun, masa kecilku
harus aku lalui dengan pengalaman yang tak pernah aku lupakan. Ketika aku
berumur 6 tahun, aku (maaf) menjadi objek seksual seorang fedofilia berumur
belasan tahun. Seorang pelajar SMP. Dan hal itu berjalan begitu lama. Perlahan aku
mulai merasa nyaman dengan semua yang terjadi. Dan anehnya, aku tak pernah
mengadukan hal itu kepada orang tuaku. Diam-diam aku menganggapnya sebagai hal
yang tiada cela.
Beruntung, kedua
orang tuaku pindah ke kota yang lain, sehingga aku pun berpisah dengan seorang
pedofilia tersebut. Dan lagi-lagi aku bertemu dengan seorang gay di kota baru
itu. Hal itu terjadi tampa sengaja.
Setiap sore hari
aku biasa berangkat ke surau terdekat untuk mengikuti pengajian anak-anak. Aku dan
teman-temanku biasa disebut santri kalong (berangkat sore pulang bakda subuh). Jadi
aku tidur di surau. Kejadian itu terulang kembali. Aku menjadi objek seks
seorang pemuda tanggung yang sama-sama ngaji di situ. Aku yang pada awalnya
merasa risih dalam waktu yang sebentar bisa menjadi terbiasa. Daan hal itu
berulang-ulang terjadi hingga rasanya sulit bagiku untuk terlepas dari semua
itu.
Setelah lulus
dari SMP, aku ditawari kakakku untuk mondok di pesantren sekaligus melanjutkan
ke jenjang madrasah aliyah. Tentu saja aku mau, bagaimana pun, aku masih begitu
semangat mengkaji ilmu. Saat itu aku mulai sadar bahwa apa yang aku alami
selama ini adalah hal yang abnormal. Apalagi hal itu sangat terlarang dalam
perspektif islam. Bahkan disebutkan bahwa Allah telah mengazab kaum luth karena
orientasi seksual yang menyimpang. Persis seperti yang aku alami dan aku
rasakan selama ini.
Tapi keimananku
kembali didera dengan ujian yang berat. Aku kembali bertemu dengan seorang gay
di pesantren. Bayangkan! Seorang gay di pesantren. Dan kembali aku terjerumus
pada lubang yang sama untuk kesekian kalinya. Dan lagi-lagi aku menjadi objek
seks seorang lelaki gay. Apakah ini sudah takdirku? Kenapa Allah selalu
menakdirkan hidupku untuk bertemu dengan orang-orang seperti itu hingga aku
sulit untuk bisa berlepas diri? Kenapa di hatiku muncul rasa cinta terhadap
seorang lelaki layaknya gadis perempuan yang menyukai seorang pemuda?
Kadang aku
merasa benci dengan diriku sendiri. Aku benci dengan diriku yang tak berdaya
menghadapi kondisi ini. Aku benci diriku yang tidak bisa lepas dari orientasi
seksualku yang salah. Bahkan lebih parah merasa nyaman dengannya. Rasa bersalah
kadang muncul di hatiku yang terdalam. Tapi rasa bersalah itu menguap entah
kemana ketika aku kembali bersama dengan pasangan gayku. Walaupun mungkin kami
tidak pernah mengatakan kami gay. Walaupun mungkin kami mengakui bahwa
perbuatan kami perbuatan terkutuk, berbeda dengan gay yang overacting dan
merasa bahwa apa yang mereka alami adalah sah-sah saja. Bahkan bangga
mengatakan diri mereka sebagai gay dan lebih parah lagi meminta pengakuan
secara legal. Bah, aku saja merasa jijik jika seandainya gay dilegalkan. Karena
aku yakin bahwa apa yang menimpa diriku adalah sebuah penyakit. Dan penyakit
itu harus aku hilangkan. Tapi nyatanya “penyakit” itu masih tetap bertahan di
jiwaku.
Selepas lulus
dari madrasah aliyah, aku tidak melanjutkan ke perguruan tinggi karena faktor
biaya. Aku sempat galau karena hal itu. Tapi untungnya salah seorang kerabat
menunjukan saya ke sebuah pesantren salaf yang terdapat ma’had aly di dalamnya.
Tampa berpikir panjang aku pun mendaftar dan alhamdulillah diterima dengan
mudah.
Mungkin ini
anugerah dari Allah subhanahu wata’ala, perlahan aku mulai membenahi diri dan
bisa menjaga diri dari hal-hal yang menjerumuskanku pada pengalaman pahit yang
pernah kualami. Di mahad aku bertemu dengan teman-teman yang salih dan selalu
memotivasiku dalam hal kebaikan. Tak pernah sekali pun aku menceritakan apa
yang aku alami kepada mereka, yang lalu biarlah berlalu bersama waktu. Dari mahad
ini pula aku memahami dan mengamalkan manhaj salaf yang begitu agung. Kembali
meniti sunnah yang suci.
Setelah beberapa
tahun lamanya aku belajar di mahad aly, tibalah gilirannya diwisuda. Aku dan
belasan temanku diwisuda dalam acara yang sederhana. Dan tentu saja amanah baru
terbentang di hadapan kami. Sesuai perjanjian, setelah beberapa tahun digembeng
dengan didikan islam, kami ditugaskan berdakwah di sebuah yayasan dakwah. Aku dan
teman-temanku merasa antusias dan tertantang.
Awal-awal
keberadaanku di lembaga dakwah aku merasa nyaman. Tapi lagi-lagi aku harus
kembali tersiksa dengan perasaanku. Bagaimana tidak, tiba-tiba saja rasa haram
itu kembali menyeruak setelah aku ditugaskan dengan seorang ikhwan. Sebut saja
namanya Q. Seiring pertemuan kami yang intens dan selalu bersama-sama dalam
setiap kondisi-entah kenapa-ada rasa yang timbul di hatiku. Aku berusaha
menepisnya. Tapi semakin kutepis semakin kuat rasa itu menghantuiku. Aku kembali
menyukai seorang lelaki. Menyukai dalam diam.
Waktu terus
berjalan dan rasa itu masih saja bertahan. Aku berharap semoga saja aku
dipindahkan ke divisi lain sehingga aku bisa berpisah dengan Q. Tapi nyatanya
harapanku tidak pernah terwujud. Aku tetap harus bertugas bersama Q yang sama
sekali tidak pernah menyadari apa yang aku rasakan. Ya allah tolong hambamu. Begitu
rintihku setiap waktu. Ini benar-benar menyiksa setiap inci dari perasaan
terdalamku.
Suatu hari,
dengan keberanian yang aku paksakan aku curhat kepada seorang ustadz dengan apa
yang aku rasakan selama ini. Tentu saja bukan ustadz yang aku kenal. Ustadz ini
adalah seorang pengasuh rubrik konsultasi di sebuah majalah islam. Dan tentu
saja aku berkonsultasi lewat surat disertai pesan untuk menyembunyikan nama dan
identitasku. Atau kalau perlu menjawabnya secara pribadi, tidak usah dimuat di
majalahnya. Ia setuju saja dengan apa yang aku katakan.
Aku katakan
padanya bahwa aku sudah tidak kuat dan muak dengan apa yang aku alami. Aku juga
tidak tahu kenapa rasa itu hadir? Kenapa harus aku yang mengalami hal ini? Kenapa
bukan yang lain? Kenapa Allah mengujiku dengan perasaan haram ini? Pertanyaan-pertanyaan
itu berletupan tampa bisa kubendung.
Lalu apa jawaban
yang aku dapatkan ustadz? Dia bilang,”Allah memilihmu dengan ujian ini karena
Allah yakin bahwa kamu kuat menghadapinya dan kamu bisa hijrah menuju
kebenaran. Kenapa kamu, bukan orang lain yang mengalaminya? Karena Allah sayang
terhadapmu, makanya Ia mengujimu dengan ujian yang boleh dibilang berat. Tapi nyatanya
Allah tetap memberimu ujian itu untuk mengetahui sejauh mana rasa cintamu
kepada-Nya. Kalau memang rasa cintamu besar, kau akan kuat untuk menjauhi
perasaan suka terhadap sesama jenis itu.
Yakinlah dan
ikhtiarlah. Karena Allah tidak akan merubah kondisi kita selama kita tidak ada
niatan untuk berubah.
Saat itu air
mataku menganak sungai di kedua belah pipiku. Saat itu aku tercerahkan. Ya allah,
aku yakin bahwa aku bisa berubah. Bantu aku ya Allah. Bantu aku untuk bisa
menjadi hamba-Mu yang ihsan dan selalu mengingatmu ketika rasa itu datang.
No comments:
Post a Comment