Oleh: Husni Mubarok
Salah satu ikhwan
pernah bilang kepada saya,”hus, kalo lu mau nikah nikah aja. Nggak usah mikirin
resiko dan tanggung jawab. Toh lu mau melajang atau mau nikah tetep punya
resiko. Masih lajang resikonya dibully orang-orang. Nggak laku lah, atau paling
menderita lihat temen-temen yang udah pada merit.”
Aku hanya mesem
mendengar celotehnya. Ia melanjutkan.”menikah juga punya resiko. Resikonya kalo
dulu kita mikirin hidup kita sendiri, pas udah merit mesti mikirin anak istri. Tapi
terlepes dari semua itu, gue berani sumpah, resiko menikah itu tidak seribet
dan sepedih resiko menjomblo.”waah...pinter banget dia ngomong. Mentang-mentang
udah nikah.
“kalau menjomblo
karena nggak laku-laku? Kan banyak yang udah siap tapi calon kagak ada.”ujarku
menimpali celotehnya.
“itu problem elu
ya.”jawabnya tampa tendeng aling-aling.
Aku melongo.”ya
kagak lah....sotoy banget!”
Oke, cukup di
sini saya cut percakapan saya dengan sohib aktifis nikah ini. Hehe. Terlepas dari
percakapan itu, saya bisa mengambil manfaat alias faidah bahwa hidup itu tidak
terlepas dari berbagai pilihan. Dan ketika memilih pilihan itu kita tidak akan
terlepas dari resiko. Apa pun pilihan kita pasti ada resikonya. Tapi jika
dilihat dari kacamata prioritas, maka kita bisa memilih mana resiko yang paling
kecil. Mana resiko yang tidak memberatkan.
Jika dilihat dari kacamata agama, maka resiko
itu bisa dilihat dari ridho dan murka allah. Pilihan manapun yang kita pilih tetap
ada resikonya, tapi kita bisa melihat, apakah pilihan kita itu mendatangkan
ridho allah atau murka allah. Berdakwah misalnya. Bisa jadi kita memilih jalan
dakwah tak terlepas dari berbagai resiko yang menghadang. Resiko dijauhi
keluarga atau tetangga atau bahkan teman-teman. Resiko dicemooh sebagai
fundamentalis, dibilang sok suci dan dianggap ikut campur urusan orang. Tapi dari
semua resiko itu kita mendapatkan ridho dan rahmat allah yang tiada ternilai
harganya. Jika kita meninggalkan jalan dakwah, bisa jadi hidup kita adem ayem. Kita
tidak dipusingkan dengan urusan ummat. Kita bisa lebih lapang dalam berbisnis
karena pikiran tidak bercabang antara dakwah dan mencari maisyah. Kita tidak
pernah dipusingkan oleh cemoohan. Tapi jangan harap semua kesenangan itu tidak
membawaa resiko besar bagi kita. Resiko besar menghadang kita di akhirat kelak.
Bisa jadi allah murka karena kita absen dari dakwah ketika ummat butuh cahaya
yang kita bawa. Maka, resiko tidak ada apa-apanya di hadapan ridho allah.
Bahkan Allah
sendiri yang memberi dua pilihan itu sendiri. Kita bebas memilih, tentinya
dengan resiko yang telah Ia beritahukan di dalam risalah-Nya.
Dan kami telah menunjukan kepadanya dua jalan
(kejahatan dan kebaikan) (QS. Albalad [90]: 10)
Sebelum saya
mengakhiri tulisan ini, saya ingin berbagi pengalaman saya dalam hal pilih
memilih ini. Sekaligus pengalaman bagaimana memanage prioritas dan yang paling
urgent diantara dua pilihan tersebut.
Dari sejak lulus
SMA saya sangat ingin bergabung dengan komunitas kepenulisan yang saat itu
berkembang pesat. Salahsatu komunitas kepenulisan yang saya sukai adalah FLP
(Forum Lingkar Pena), salahsatu komunitas penulis muslim yang telah mencetak
ratusan kader penulis muda dengan visi islami. Sayangnya di kota saya tidak ada
sekretariat ranting FLP. Seiring berjalannya waktu, saya berkesempatan tinggal
di solo karena tugas dari lembaga dakwah remaja CRB (Cinta Remaja Dakwah) yang
concern di bidang pembinaan remaja muslim setingkat SMA.
Qodarullah, di
tengah aktifitas saya sebagai relawan CRB, saya bertemu dengan mas Opik Oman,
ketua FLP Solo Raya. Langsung saya utarakan keinginan saya untuk gabung bersama
teman-teman FLP Solo. Tentu saja mas opik menanggapi keinginan saya secara
antusias. Beliau memberitahu saya bagaimana menjadi anggota FLP. Selain itu
beliau juga menyarankan saya untuk ikut salahsatu program kepenulisan FLP Solo
bernama KEMECER (kelas menulis cerita) dia bilang disitu saya harus membaca
cerpen saya dan nantinya akan dibedah dan direvisi sehingga bisa diterbitkan
dalam bentuk antologi. Finish dari program tersebut, bisa menelurkan buku-buku
aantologi anggota FLP yang aktif ikut KEMECER setiap hari sabtu di setiap
minggunya.
Saya langsung
tertarik sekaligus teringat dengan nasib beberapa cerpen saya yang tidak tembus
media. Belum cerpen-cerpen yang saya
simpan di blog dan belum pernah tersentuh revisi sama sekali. Tapi satu hal
yang membuat saya berada dalam dilema. Hari sabtu-hari diadakannya KEMECER-
adalah hari ketika jadwal pembinaan anak-anak remaja begitu padat. Dan jadwal
kemecer sendiri bentrok dengan jadwal mengajar prifat BTQ di sebuah SMK swasta
di surakarta.
Saya benar-benar
berada dalam dilema. Ada sebersit niatan untuk meninggalkan jadwal mengajar
privat baca alquran dan aktiv mengikuti program bimbingan KEMECER. Tapi sisi
lain hati saya tidak rela jika saya harus meninggalkan remaja SMK tempat saya
mengajar privat. Saya masih mengingat antusias mereka dalam belajar alquran.
Memang mengikuti
KEMECER sangat bagus bagi karir kepenulisan saya. Mengajar privat mengajar
alquran juga satu aktifitas dakwah yang sangat tidak mungkin untuk saya
tinggalkan. Bedanya, jika saya mengikuti kelas menulis KEMECER, maka saya hanya
sebagai objek penerima manfaat. Aadapun ketika saya mengajar privat alquran
maka saya berada dalam posisi sebagai subjek pemberi manfaat. Nah, disinilah
saya mendapatkan benang merah dari teori prioritas. Mana yang lebih penting,
menjadi objek atau subjek. Mana yang lebih keren? Menjadi pemberi manfaat atau penerima manfaat? Saya tiba-tiba
teringat dengan satu kaidah yang diambil dari salahsatu hadits,”tangan diatas
lebih baik daripada tangan yang dibawah.
Akhirnya saya
bisa memilih satu diantara dua pilihan dengan hati yang lapang. Dan saya
meminta maaf kepada mas Opik karena tidak bisa ikut kelas menulis KEMECER.
Semoga di lain kesempatan saya bisa mengikutinya. Toh saya yakin bahwa rencana
Allah lebih indah dari apa yang kita duga.
No comments:
Post a Comment