Doa Ibulah yang
Membuatku Berubah
Sebenarnya aku
tidak menyesal terkungkung dalam kemiskinan. Aku tidak menyesal lahir dari
kedua orang tua yang ditakdirkan hidup dalam kondisi yang serba kekurangan dan
kesempitan. Itu dulu, ketika aku masih senang-senangnya menjalani hari-hari
yang paling membahagiakan di bangku SD dan SMP. Rasa penerimaan itu berubah
menjadi ketertekanan batin sejak aku mengenyam bangku SMA atas bantuan guru
SMPku yang menyayangkan jika seandainya aku tidak melanjutkan sekolah ke
jenjang yang lebih tinggi.
“mar, kamu teh
harus sekolah yang tinggi. Bagaimana nasibnya nilai-nilai rapot dan UN kamu
jika hanya kamu simpan di lemari.”ujar Pak samsu suatu hari. Dia adalah wakil
kepala sekolah di SMP tempat aku belajar. Dia juga yang melobi kedua orang
tuaku untuk mengizinkan aku sekolah ke SMA
boarding school dengan biaya dari dia sendiri. Dengan berbesar hati
kedua orang tuaku mengiyakan. Walaupun dengan resiko, aku tidak bisa membantu
bapakku bekerja. Setiap pulang sekolah aku selalu menyabit rumput untuk pakan
domba dan sapi milik orang yang dititipkan kepada bapak. Kelak, hasil
peranakannya akann dibagi dua. Bapak berharap, ternak hasil penduaan itu bisa
menjadi modal pekerjaannya kelak.
“tak apa kamu
tidak bantu bapak mar, insya allah bapak sendiri mampu mengatasinya. Sing
penting kamu belajar yang jujur dan tekun,”begitu petuah bapak.
Maka aku pun
menjalani hari-hari di SMA asrama. Dan dari sinilah cerita kelam itu dimulai.
Aku sudah memberitahumu bahwa aku sekolah atas biaya Pak Samsu, guru SMPku
dulu. Tapi dia hanya menanggung biaya pendidikanku. Adapun untuk keperluan
sehari-hari dan uang saku harus aku usahakan sendiri. Tapi bagaimana mungkin
aku harus meminta kepada bapak? Sementara aku tahu, untuk makan sehari-hari pun
mereka susah.
Lama kelamaan
rasa tertekan itu semakin membuncah. Aku malu. Ya, aku malu jika aku harus
berkumpul dan berasrama dengan teman-teman yang notabene dari kalangan menengah
ke atas. Aku malu tidak pernah jajan atauh bahkan gantian mentraktir mereka.
Aku malu tidak punya baju-baju yang bagus seperti mereka. Aku hanya punya
beberapa baju usang yang aku pun merasa tidak percaya diri dengan memakainya.
Aku tak tahan mendengar cerita-cerita mereka.
Hingga dengan
terpaksa, kalau bukan karena kepepet, aku meminta uang kepada emak. Beruntung,
emak punya kalung emas pemberian nenek.
Walau dengan berat hati, emak menjual kalung itu di toko emas milik babah liong
untuk biaya sehari-hariku di asrama. Oh emak, maafkan anakmu yang menyusahkanmu
ini.
Waktu berjalan
tanpa terasa, hingga tibalah di penghujug tahun ke tiga di asrama. Saat itu
teman-teman sekelas merencanakan untuk mengadakan tour ke tempat wisata ke luar
kota. Ada yang mengusulkan mendaki gunung, secara banyak juga anak-anak pendaki
yang menyukai dunia adventure di kelasku. Ada juga yang mengusulkan ke cagar
alam dan pemandian air panas. Aku hanya bisa diam, apa pun pilihan yang jatuh
tetap menjadi resiko bagiku. Jika aku ikut berwisata, resiko biaya yang aku
tanggung. Jika tidak ikut resiko gensi dengan malu yang memuncak yang juga aku
tanggung. Istilahnya, bagaikan makan buah simalakama. Dimakan mati emak, tidak
dimakan mati bapak.
Akhirnya
teman-teman sepakat untuk berwisata ke tempat wisata air panas di puncak dengan
beberapa pertimbangan dan musyawarah yang alot. Bayangkan, mereka sibuk
berdiskusi tentang kemungkinan-kemungkinan tujuan wisata, sementara aku hanya
nimbrung sekedar basa-basi, tapi hatiku menjerit bahwa aku tidak ingin ada
acara wisata.
Sebenarnya bisa
saja aku bilang kepada mereka bahwa aku tidak bisa mengikuti wisata ke wahana
air seperti yang telah disepakati bersama. Mengingat biaya yang dibutuhkan juga
boleh dibilang tidak sedikit. Tapi lagi-lagi virus gensi membungkamku dan
memaksaku untuk diam dan berusaha memutar otak. Apa yang mesti aku lakukan
untuk mendapatkan uang itu.
Terbetik di
hatiku untuk membujuk bapak menjual salahsatu domba penduaan yang baru berumur
setahun. Sejurus kemudian terbayang di benakku bagaimana letihnya bapak dalam
memberi pakan domba-domba titipan.
Aku berusaha
mengenyahkan rasa bersalah di hatiku. Aku pikir, toh acara ini hanya ada sekali
seumur hidup. Apalah nilai seekor domba yang baru diserahkan pemiliknya kepada
bapak dibanding kepentingan pendidikan anaknya, begitu pikirku. Walau aku yakin
bahwa acara wisata itu tidak ada sangkut pautnya dengan pendidikanku. Tapi
setidaknya bapak pasti berpikiran seperti itu.
Bessok paginya,
aku pulang ke rumah dan menyampaikan maksudku. Bapak dan emak bersitatap satu
sama lain. Mereka tercenung lama. Kembali, rasa bersalah merajam hati nuraniku.
Emak berdehem batuk dan bapak akhirnya berkata dengan intonasi ganjil dan suara
yang serak.”besok bapak jual dombanya. Adapun sisa uangnya kita belikan ayam
untuk dipelihara.
Legalah hatiku.
Akhirnya aku bisa membayar lunas rasa gengsiku di hadapan teman-teman.
Sebenarnya, aku melebihkan nominal uang yang aku katakan kepada bapak. Hal itu
kusengaja untuk biaya makan dan jajan selama perjalanan.
****
Malam sudah
begitu larut ketika aku terbangun. Aku merasakan kandung kemihku penuh dan
segera beranjak menuju WC di belakang dapur. Saat aku melewati kamar emak dan
bapak yang disekat sehelai tirai tipis dan usang, telingaku mendengar begitu
jelas lirih suara perempuan disertai isakan. Suara emakku yang sedang berdoa.
“gusti, jadikan
marwan anak yang soleh dan berbakti kepadaku dan suamiku. Jadikan ia permata
hati kami. Jangan jadikan ia anak yang jauh dari_Mu. Kami tak ingin ia kecewa
dengan segala kekurangan ini. Berilah kami keberkahan karena kehadiran anak
kami dan upaya serta ikhtiar kami. Berilah ganti yang lebih baik dari segala
resah kami dalam membesarkannya.
“gusti, kabulkan
doaku...”
Hatiku seakan
disayat ssembilu. Ya allah, hati ini bergetar mendengar doa emak. Betapa besar
cintanya. Betapa aku tak pernah menyadari hal ini. Betapa teganya aku
memanfaatkan cinta kasih mereka demi sebuah gengsi. Tak terasa air mata di
kedua pelupuk mataku luruh.
Aku segera
berlalu dari samping kamar emak ssebelum dia menyadari kehadiranku. Dan aku
berjanji akan membatalkan semua rencanaku. Masa bodoh dengan pertanyaan
teman-temanku; kenapa aku tidak ikut. Masa bodoh dengan rasa gengsi. Rasa itu
telah luruh secara tiba-tiba. Masa bodoh dengan tatap heran emak dan bapak
besok. Aku hanya ingin membahagiakan mereka dan tidak merenggut sedikit pun
kebahagiaan mereka. Karena aku tahu, domba yang hendak mereka jual itulah harta
satu-satunya yang paling berharga hasil kerja keras bapak.
Selamat tinggal
gengsi!
No comments:
Post a Comment