20 Aug 2016

Gara-Gara Gengsi

Doa Ibulah yang Membuatku Berubah
Sebenarnya aku tidak menyesal terkungkung dalam kemiskinan. Aku tidak menyesal lahir dari kedua orang tua yang ditakdirkan hidup dalam kondisi yang serba kekurangan dan kesempitan. Itu dulu, ketika aku masih senang-senangnya menjalani hari-hari yang paling membahagiakan di bangku SD dan SMP. Rasa penerimaan itu berubah menjadi ketertekanan batin sejak aku mengenyam bangku SMA atas bantuan guru SMPku yang menyayangkan jika seandainya aku tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
“mar, kamu teh harus sekolah yang tinggi. Bagaimana nasibnya nilai-nilai rapot dan UN kamu jika hanya kamu simpan di lemari.”ujar Pak samsu suatu hari. Dia adalah wakil kepala sekolah di SMP tempat aku belajar. Dia juga yang melobi kedua orang tuaku untuk mengizinkan aku sekolah ke SMA  boarding school dengan biaya dari dia sendiri. Dengan berbesar hati kedua orang tuaku mengiyakan. Walaupun dengan resiko, aku tidak bisa membantu bapakku bekerja. Setiap pulang sekolah aku selalu menyabit rumput untuk pakan domba dan sapi milik orang yang dititipkan kepada bapak. Kelak, hasil peranakannya akann dibagi dua. Bapak berharap, ternak hasil penduaan itu bisa menjadi modal pekerjaannya kelak.
“tak apa kamu tidak bantu bapak mar, insya allah bapak sendiri mampu mengatasinya. Sing penting kamu belajar yang jujur dan tekun,”begitu petuah bapak.
Maka aku pun menjalani hari-hari di SMA asrama. Dan dari sinilah cerita kelam itu dimulai. Aku sudah memberitahumu bahwa aku sekolah atas biaya Pak Samsu, guru SMPku dulu. Tapi dia hanya menanggung biaya pendidikanku. Adapun untuk keperluan sehari-hari dan uang saku harus aku usahakan sendiri. Tapi bagaimana mungkin aku harus meminta kepada bapak? Sementara aku tahu, untuk makan sehari-hari pun mereka susah.
Lama kelamaan rasa tertekan itu semakin membuncah. Aku malu. Ya, aku malu jika aku harus berkumpul dan berasrama dengan teman-teman yang notabene dari kalangan menengah ke atas. Aku malu tidak pernah jajan atauh bahkan gantian mentraktir mereka. Aku malu tidak punya baju-baju yang bagus seperti mereka. Aku hanya punya beberapa baju usang yang aku pun merasa tidak percaya diri dengan memakainya. Aku tak tahan mendengar cerita-cerita mereka.
Hingga dengan terpaksa, kalau bukan karena kepepet, aku meminta uang kepada emak. Beruntung, emak punya kalung emas  pemberian nenek. Walau dengan berat hati, emak menjual kalung itu di toko emas milik babah liong untuk biaya sehari-hariku di asrama. Oh emak, maafkan anakmu yang menyusahkanmu ini.
Waktu berjalan tanpa terasa, hingga tibalah di penghujug tahun ke tiga di asrama. Saat itu teman-teman sekelas merencanakan untuk mengadakan tour ke tempat wisata ke luar kota. Ada yang mengusulkan mendaki gunung, secara banyak juga anak-anak pendaki yang menyukai dunia adventure di kelasku. Ada juga yang mengusulkan ke cagar alam dan pemandian air panas. Aku hanya bisa diam, apa pun pilihan yang jatuh tetap menjadi resiko bagiku. Jika aku ikut berwisata, resiko biaya yang aku tanggung. Jika tidak ikut resiko gensi dengan malu yang memuncak yang juga aku tanggung. Istilahnya, bagaikan makan buah simalakama. Dimakan mati emak, tidak dimakan mati bapak.
Akhirnya teman-teman sepakat untuk berwisata ke tempat wisata air panas di puncak dengan beberapa pertimbangan dan musyawarah yang alot. Bayangkan, mereka sibuk berdiskusi tentang kemungkinan-kemungkinan tujuan wisata, sementara aku hanya nimbrung sekedar basa-basi, tapi hatiku menjerit bahwa aku tidak ingin ada acara wisata.
Sebenarnya bisa saja aku bilang kepada mereka bahwa aku tidak bisa mengikuti wisata ke wahana air seperti yang telah disepakati bersama. Mengingat biaya yang dibutuhkan juga boleh dibilang tidak sedikit. Tapi lagi-lagi virus gensi membungkamku dan memaksaku untuk diam dan berusaha memutar otak. Apa yang mesti aku lakukan untuk mendapatkan uang itu.
Terbetik di hatiku untuk membujuk bapak menjual salahsatu domba penduaan yang baru berumur setahun. Sejurus kemudian terbayang di benakku bagaimana letihnya bapak dalam memberi pakan domba-domba titipan.
Aku berusaha mengenyahkan rasa bersalah di hatiku. Aku pikir, toh acara ini hanya ada sekali seumur hidup. Apalah nilai seekor domba yang baru diserahkan pemiliknya kepada bapak dibanding kepentingan pendidikan anaknya, begitu pikirku. Walau aku yakin bahwa acara wisata itu tidak ada sangkut pautnya dengan pendidikanku. Tapi setidaknya bapak pasti berpikiran seperti itu.
Bessok paginya, aku pulang ke rumah dan menyampaikan maksudku. Bapak dan emak bersitatap satu sama lain. Mereka tercenung lama. Kembali, rasa bersalah merajam hati nuraniku. Emak berdehem batuk dan bapak akhirnya berkata dengan intonasi ganjil dan suara yang serak.”besok bapak jual dombanya. Adapun sisa uangnya kita belikan ayam untuk dipelihara.
Legalah hatiku. Akhirnya aku bisa membayar lunas rasa gengsiku di hadapan teman-teman. Sebenarnya, aku melebihkan nominal uang yang aku katakan kepada bapak. Hal itu kusengaja untuk biaya makan dan jajan selama perjalanan.
****
Malam sudah begitu larut ketika aku terbangun. Aku merasakan kandung kemihku penuh dan segera beranjak menuju WC di belakang dapur. Saat aku melewati kamar emak dan bapak yang disekat sehelai tirai tipis dan usang, telingaku mendengar begitu jelas lirih suara perempuan disertai isakan. Suara emakku yang sedang berdoa.
“gusti, jadikan marwan anak yang soleh dan berbakti kepadaku dan suamiku. Jadikan ia permata hati kami. Jangan jadikan ia anak yang jauh dari_Mu. Kami tak ingin ia kecewa dengan segala kekurangan ini. Berilah kami keberkahan karena kehadiran anak kami dan upaya serta ikhtiar kami. Berilah ganti yang lebih baik dari segala resah kami dalam membesarkannya.
“gusti, kabulkan doaku...”
Hatiku seakan disayat ssembilu. Ya allah, hati ini bergetar mendengar doa emak. Betapa besar cintanya. Betapa aku tak pernah menyadari hal ini. Betapa teganya aku memanfaatkan cinta kasih mereka demi sebuah gengsi. Tak terasa air mata di kedua pelupuk mataku luruh.
Aku segera berlalu dari samping kamar emak ssebelum dia menyadari kehadiranku. Dan aku berjanji akan membatalkan semua rencanaku. Masa bodoh dengan pertanyaan teman-temanku; kenapa aku tidak ikut. Masa bodoh dengan rasa gengsi. Rasa itu telah luruh secara tiba-tiba. Masa bodoh dengan tatap heran emak dan bapak besok. Aku hanya ingin membahagiakan mereka dan tidak merenggut sedikit pun kebahagiaan mereka. Karena aku tahu, domba yang hendak mereka jual itulah harta satu-satunya yang paling berharga hasil kerja keras bapak.

Selamat tinggal gengsi!
Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment