9 Jan 2016

HOW MUCH I LOVE MY HIJAB, Serial My Hijab Story #1

oleh husni mubarok
Aku tidak pernah menyangka bisa memutuskan untuk behijab setelah berkenalan dengan siska, anak tetangga yang baru sebulan  pindahan ke komplek perumahan dimana aku tinggal. Aku masih ingat bagaimana aku bisa merasa asing dengan diriku sendiri ketika tanganku menyampirkan hijab coklat pemberian siska dan menatap bayanganku sendiri di depan cermin.
Aku tersenyum membayangkannya. Itu semua bermula ketika dengan iseng aku bertanya kepada siska,”sis, kamu nyaman nggak pake jilbab? Perasaan belum pernah aku liat kamu  buka jilbab.”
Siswa tersenyum saat itu. Dia menatapku dengan tatapan yang sulit aku tafsirkan,”tentu saja aku nyaman. Kalau tidak nyaman aku tidak akan memakainya. Lagi pula, ini bukan sekedar nyaman atau tidak nyamannya. Tapi ini masalah prinsip yang aku pegang. Lagi pula, jika kita sudah mempunyai prinsip yang kuat dalam salah satu hal, justru kita akan merasa tidak nyaman ketika kita melanggar prinsip tersebut.”
Aku hanya manggut-manggut. Mulai sejak itu, timbul rasa penasaran di dalam hatiku. Bagaimana jika aku mencoba memakai jilbab seperti apa yang siska pakai? Sejujurnya aku juga seorang muslimah yang mengerti bahwa seorang muslimah itu lebih utama memakai jilbab (saat itu aku beranggapan bahwa memakai jilbab itu tidak sewajib salat lima waktu dan shaum ramadhan atau pun rukun islam yang lima yang selama ini aku kenal. Aku berpikiran, jika memang jilbab itu wajib, lalu kenapa banyak muslimah yang tidak memakai jilbab atau buka tutup jilbab tapi tetap rajin salat dan ibadah-ibadah sunnah?
Yang penting hatinya baik dan mempunyai akhlakul karimah terhadap sesama.
Nah, itu prinsip yang pernah aku pegang sebelum bertemu dengan siska. Tapi semenjak pertemananku dengannya, dan semakin intensnya pertemuan kami, sedikit-sedkit aku bisa memahami apa yang siska pahami tentang prinsip islamnya. Ini babak baru bagi hidupku. Aku banyak mengetahui apa-apa yang selama ini belum aku ketahui perihal agamaku. Aku merasa nyambung ketika berteman dan berinteraksi dengan siska sahabatku.
Dari siskalah kemudian aku mulai bergaul dengan anak-anak ROHIS SMAku dan mulai bergabung dengan halaqoh mereka di awal semester kelas dua SMA. Saat itu aku masih belum bisa memakai hijab. Tapi di awal tahun ajaran baru itu aku berpikir untuk membeli baju seragam yang berlengan panjang  plus rok panjang yang lebar. Menggantikan rok selutut yang selama ini biasa aku pakai.
Sebenarnya aku pernah mengutarakan keinginanku untuk menggunakan hijab kepada kedua orang tuaku dan kakak perempuanku. Kedua orang tuaku mendukung apa yang aku inginkan. Tapi sebenarnya mereka tidak terlalu mendukung, hanya saja mereka membebaskan aku untuk melakukan dan memakai apa yang aku suka selama tidak melanggar adat dan norma. Bagi mereka kerudung juga termasuk dalam norma yang baik. (walau pun mungkin mereka juga menganggapnya tidak wajib. Buktinya ibuku hanya memakai kerudung ketika ada pengajian kelurahan dan kondangan saja).
Awal memasuki kelas tiga aku mulai mengambil ancang-ancang untuk bisa lebih fokus belajar dan belajar. Bagiku, kelulusan dengan nilai UN yang tinggi adalah prioritas utama yang tidak selayaknya diabaikan. Tapi malangnya. Di minggu-minggu pertama kelas tiga SMA, kabar yang sangat menyedihkan singgah di telingaku. Siska memberiku kabar bahwa ia akan kembali pindah ke kotanya dan hal itu tidak bisa ditunda lagi. Mengingat ia harus menemani neneknya yang sudah sakit-sakitan. Aku hanya bisa pasrah dan menangis ketika mengetahui hal itu. Aku tak bisa membayangkan bisa berpisah dengan siska yang telah memberiku warna yang lain terhadap dunia mudaku.
Siswa berusaha menghibur kesedihanku dengan membriku hadiah berupa hijab lebar berwarna coklat dan gamis dengan warna yang senada.”ini kenang-kenangan dari saya tantri. Siapa tahu pas kamu memakainya kamu jadi inget saya.”ujarnya dengan sumringah.
Aku sangat terharu dengan kebaikannya dan berjanji akan memakainya. Walau pun aku ragu, kapan dan untuk apa aku bisa memakai baju itu.
Malamnya aku tak bisa tidur. Tiba-tiba saja terbersit di hatiku untuk memakai jilbab ke sekolah. Aku hanya perlu membeli sehelai jilbab putih untuk menutupi kepalaku. Entah kenapa aku menjadi sangat rindu kepada siska. Dan kerinduan itu menjelma menjadi keinginan untuk meniru apa yang selama ini siska pakai.
Besoknya aku berazzam untuk memakai hijab ke sekolah. Teman-temanku banyak yang ‘gempar’ dan heran dengan apa yang aku pakai.
‘tantri, kamu udah lulus training pesantren kilat di rohis ya.”
“waduh tantri, kamu tambah cantik deh. Tapi ngomong-ngomong aku berani jamin, paling-paling kamu hanya bisa bertahan selama satu minggu. Abis itu kamu bakalan lepas lagi.”
Aku tersenyum mendengar celotehan itu. Memang benar apa yang dikatakannya tidak melesat dari apa yang aku pikirkan di benakku sendiri. Aku sempat berpikir bahwa aku hanya bisa bertahan sebentar. Atau kalau menurut pribahasa indonesia, anget-anget tai ayam. Semangat di awal saja. Mudah-mudahan saja tidak. Sisi hatiku yang terdalam, aku ingin istiqomah memakainya.
Ada lagi yang bersikap nyinyir dengan apa yang aku pakai. Mereka beranggapan aku yang biasa urakan tidak pantas memakai pakaian orang-orang’alim’. Bagi mereka aku tak ubahnya sebagai parodi lucu yang layak untuk dijadikan bahan lelucon dan candaan. Mereka mengatakan bahwa aku hanya menodai kesucian jilbab itu sendiri. Sementara –aku juga menyadari hal ini- aku masih bergaul dengan sembarang orang, aku masih melakukan pacaran dan berinteraksi dengan lelaki mana pun. Baik di dalam organisasi siswa atau pun ketika di luar organisasi. Aku juga meyakini bahwa aku tidak sebaik apa yang aku pakai. Tapi aku masih ingat kata-kata siska yang pernah ia katakan ketika aku curhat kepadanya bahwa aku ingin seperti dia.”niatmu bagus tan. Udah niat menjadi orang yang baik aja itu udah bernilai pahala lho. Kamu seharusnya tidak banyak mikir dan menurutkan sugesti buruk di hati kamu. Tidak harus total menjadi orang yang bener sekaligus. Setahap demi setahap lah. Aku juga sangat menghargai usahamu walau baru memakai seragam berlengan panjang dan rok panjang.”
Ya. Semua memang butuh proses. Dan jangan sampai aku mundur dari proses ini. Bukan berarti kita juga boleh stagnan di dalam kondisi yang sama, tapi sebisa mungkin kita harus berusaha berubah menuju keadaan yang lebih baik lagi.”pungkas siska dengan senyum khasnya.
Dari titik itulah aku mulai menyadari peranku yang sebenarnya. Aku tinggalkan semua gunjingan dan celotehan nyinyir. Alih-alih meladeni dan mengurus hal yang tak mengenakan itu, aku malah semakin dekat dengan akhwat-akhwat rohis yang selalu mendukung dan mendoakanku.

Untuk ukhti fillah di kota T. Semoga engkau istiqomah di jalan dakwah
Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment