Aku tidak pernah menyangka bisa memutuskan untuk behijab
setelah berkenalan dengan siska, anak tetangga yang baru sebulan pindahan ke komplek perumahan dimana aku
tinggal. Aku masih ingat bagaimana aku bisa merasa asing dengan diriku sendiri
ketika tanganku menyampirkan hijab coklat pemberian siska dan menatap
bayanganku sendiri di depan cermin.
Aku tersenyum membayangkannya. Itu semua bermula ketika
dengan iseng aku bertanya kepada siska,”sis, kamu nyaman nggak pake jilbab? Perasaan
belum pernah aku liat kamu buka jilbab.”
Siswa tersenyum saat itu. Dia menatapku dengan tatapan yang
sulit aku tafsirkan,”tentu saja aku nyaman. Kalau tidak nyaman aku tidak akan
memakainya. Lagi pula, ini bukan sekedar nyaman atau tidak nyamannya. Tapi ini
masalah prinsip yang aku pegang. Lagi pula, jika kita sudah mempunyai prinsip
yang kuat dalam salah satu hal, justru kita akan merasa tidak nyaman ketika
kita melanggar prinsip tersebut.”
Aku hanya manggut-manggut. Mulai sejak itu, timbul rasa
penasaran di dalam hatiku. Bagaimana jika aku mencoba memakai jilbab seperti
apa yang siska pakai? Sejujurnya aku juga seorang muslimah yang mengerti bahwa
seorang muslimah itu lebih utama memakai jilbab (saat itu aku beranggapan bahwa
memakai jilbab itu tidak sewajib salat lima waktu dan shaum ramadhan atau pun
rukun islam yang lima yang selama ini aku kenal. Aku berpikiran, jika memang
jilbab itu wajib, lalu kenapa banyak muslimah yang tidak memakai jilbab atau
buka tutup jilbab tapi tetap rajin salat dan ibadah-ibadah sunnah?
Yang penting hatinya baik dan mempunyai akhlakul karimah
terhadap sesama.
Nah, itu prinsip yang pernah aku pegang sebelum bertemu
dengan siska. Tapi semenjak pertemananku dengannya, dan semakin intensnya
pertemuan kami, sedikit-sedkit aku bisa memahami apa yang siska pahami tentang
prinsip islamnya. Ini babak baru bagi hidupku. Aku banyak mengetahui apa-apa
yang selama ini belum aku ketahui perihal agamaku. Aku merasa nyambung ketika
berteman dan berinteraksi dengan siska sahabatku.
Dari siskalah kemudian aku mulai bergaul dengan anak-anak
ROHIS SMAku dan mulai bergabung dengan halaqoh mereka di awal semester kelas
dua SMA. Saat itu aku masih belum bisa memakai hijab. Tapi di awal tahun ajaran
baru itu aku berpikir untuk membeli baju seragam yang berlengan panjang plus rok panjang yang lebar. Menggantikan rok
selutut yang selama ini biasa aku pakai.
Sebenarnya aku pernah mengutarakan keinginanku untuk
menggunakan hijab kepada kedua orang tuaku dan kakak perempuanku. Kedua orang
tuaku mendukung apa yang aku inginkan. Tapi sebenarnya mereka tidak terlalu
mendukung, hanya saja mereka membebaskan aku untuk melakukan dan memakai apa
yang aku suka selama tidak melanggar adat dan norma. Bagi mereka kerudung juga
termasuk dalam norma yang baik. (walau pun mungkin mereka juga menganggapnya
tidak wajib. Buktinya ibuku hanya memakai kerudung ketika ada pengajian
kelurahan dan kondangan saja).
Awal memasuki kelas tiga aku mulai mengambil ancang-ancang
untuk bisa lebih fokus belajar dan belajar. Bagiku, kelulusan dengan nilai UN
yang tinggi adalah prioritas utama yang tidak selayaknya diabaikan. Tapi malangnya.
Di minggu-minggu pertama kelas tiga SMA, kabar yang sangat menyedihkan singgah
di telingaku. Siska memberiku kabar bahwa ia akan kembali pindah ke kotanya dan
hal itu tidak bisa ditunda lagi. Mengingat ia harus menemani neneknya yang
sudah sakit-sakitan. Aku hanya bisa pasrah dan menangis ketika mengetahui hal
itu. Aku tak bisa membayangkan bisa berpisah dengan siska yang telah memberiku
warna yang lain terhadap dunia mudaku.
Siswa berusaha menghibur kesedihanku dengan membriku hadiah
berupa hijab lebar berwarna coklat dan gamis dengan warna yang senada.”ini
kenang-kenangan dari saya tantri. Siapa tahu pas kamu memakainya kamu jadi
inget saya.”ujarnya dengan sumringah.
Aku sangat terharu dengan kebaikannya dan berjanji akan
memakainya. Walau pun aku ragu, kapan dan untuk apa aku bisa memakai baju itu.
Malamnya aku tak bisa tidur. Tiba-tiba saja terbersit di
hatiku untuk memakai jilbab ke sekolah. Aku hanya perlu membeli sehelai jilbab
putih untuk menutupi kepalaku. Entah kenapa aku menjadi sangat rindu kepada
siska. Dan kerinduan itu menjelma menjadi keinginan untuk meniru apa yang
selama ini siska pakai.
Besoknya aku berazzam untuk memakai hijab ke sekolah. Teman-temanku
banyak yang ‘gempar’ dan heran dengan apa yang aku pakai.
‘tantri, kamu udah lulus training pesantren kilat di rohis
ya.”
“waduh tantri, kamu tambah cantik deh. Tapi ngomong-ngomong
aku berani jamin, paling-paling kamu hanya bisa bertahan selama satu minggu. Abis
itu kamu bakalan lepas lagi.”
Aku tersenyum mendengar celotehan itu. Memang benar apa yang
dikatakannya tidak melesat dari apa yang aku pikirkan di benakku sendiri. Aku sempat
berpikir bahwa aku hanya bisa bertahan sebentar. Atau kalau menurut pribahasa
indonesia, anget-anget tai ayam. Semangat di awal saja. Mudah-mudahan saja
tidak. Sisi hatiku yang terdalam, aku ingin istiqomah memakainya.
Ada lagi yang bersikap nyinyir dengan apa yang aku pakai. Mereka
beranggapan aku yang biasa urakan tidak pantas memakai pakaian orang-orang’alim’.
Bagi mereka aku tak ubahnya sebagai parodi lucu yang layak untuk dijadikan
bahan lelucon dan candaan. Mereka mengatakan bahwa aku hanya menodai kesucian
jilbab itu sendiri. Sementara –aku juga menyadari hal ini- aku masih bergaul
dengan sembarang orang, aku masih melakukan pacaran dan berinteraksi dengan lelaki
mana pun. Baik di dalam organisasi siswa atau pun ketika di luar organisasi. Aku
juga meyakini bahwa aku tidak sebaik apa yang aku pakai. Tapi aku masih ingat
kata-kata siska yang pernah ia katakan ketika aku curhat kepadanya bahwa aku
ingin seperti dia.”niatmu bagus tan. Udah niat menjadi orang yang baik aja itu
udah bernilai pahala lho. Kamu seharusnya tidak banyak mikir dan menurutkan
sugesti buruk di hati kamu. Tidak harus total menjadi orang yang bener
sekaligus. Setahap demi setahap lah. Aku juga sangat menghargai usahamu walau
baru memakai seragam berlengan panjang dan rok panjang.”
Ya. Semua memang butuh proses. Dan jangan sampai aku mundur
dari proses ini. Bukan berarti kita juga boleh stagnan di dalam kondisi yang
sama, tapi sebisa mungkin kita harus berusaha berubah menuju keadaan yang lebih
baik lagi.”pungkas siska dengan senyum khasnya.
Dari titik itulah aku mulai menyadari peranku yang
sebenarnya. Aku tinggalkan semua gunjingan dan celotehan nyinyir. Alih-alih
meladeni dan mengurus hal yang tak mengenakan itu, aku malah semakin dekat
dengan akhwat-akhwat rohis yang selalu mendukung dan mendoakanku.
Untuk ukhti fillah di kota T. Semoga engkau istiqomah di
jalan dakwah
No comments:
Post a Comment