5 Apr 2015

Perjalanan ke Calcuta


Prakash Patra menghempaskan kepalanya pada kursi berbusa kereta. Sengaja ia memilih sleeper claas walau harus dengan mengeluarkan lebih banyak uang. Bagaimana pun juga, perjalanan Haryana-Kalkuta akan memakan waktu yang cukup lama.

Ia yakin, ia butuh istirahat untuk memulihkan tenaganya setelah perjalanan seharian dari Sirsa hingga Biwani. Mata cokelatnya menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam empat sore. Parakash Patra ingin tidur, tapi suara bising di sekitarnya tak bisa mendukung kantuknya. Seorang perempuan paruh baya menawarkan dagangannya berupa nasi box dan ayam biryani dengan suara nyaring. Dua orang kondektur dan petugas militer masuk ke dalam gerbong untuk memeriksa tiket setiap penumpang. Prakash mengambil tiket kereta dari saku celananya dan menyerahkannya. Dua petugas itu mengangguk pelan dan melanjutkan pemeriksaan kepada penumpang lainnya.

Prakash kembali termenung.  Kejadian kemarin sore kembali memenuhi benaknya dan membuatnya pening.

***
“Prakash!! Kamu benar-benar binatang! Apa ini?” bentak Purohit, sang kakak. Tangan kakannya yang kekar mengacungkan sebuah kitab. Kitab al-qur’an yang tempo hari ia dapatkan dari Janna Emali sahabat sefakultasnya.
Parakash terdiam. Ia tak habis pikir, bagaimana  mungkin Purohit bisa menemukan al-qur’an itu. Padahal ia selalu menyembunyikannya di bawah lipatan baju-bajunya di dalam lemari. Tapi setidaknya Prakash paham bahwa Purohit telah mengetahui perihal keislamannya. Bisa jadi kakaknya itu merasa penasaran dan mulai menggeledah kamarnya tadi pagi. Mungkin ia berharap menemukan barang-barang atau simbol yang berhubungan dengan islam sebagai penguat dari apa yang purohit dengar mengenai keislamannya.

“Kamu sudah diracuni oleh orang-orang islam itu?!” cercanya lagi. Kali ini tangannya terayun dengan cepat. Al-qur’an itu hampir mendarat di mukanya jika ia tidak berkelit. Utungnya ia sigap merentangkan tangannya sehingga al-quran hadiah dari temannya itu tidak jatuh ke tanah.

Tiba-tiba ayah dan ibunya datang dari ambang pintu depan. Wajah ibunya menyiratkan kehawatiran yang begitu sangat.”Ada apa Purahit? Kenapa kau bersikap kasar?”tanyanya sembari mencekal pergelangan tangan Purohit yang hendak menghantam Prakash.

“Dia hendak menghina kita. Dia menghina para dewa dengan mendukung orang-orang muslim.”terang purohit dengan tatapan nyalang.
“APA?!” Tanya ibu dan ayahnya hampir berbarengan. Mereka kini menatap Prakash dan Purohit secara bergantian. Seakan menimbang-nimbang, benarkah apa yang dikatakan anak sulungnya barusan?

Prakahs Patra mendesah,”Ya ibu, saya sudah menjadi seorang muslim.”
Ayahnya terlonjak kaget. Ibunya menangis dan menyeka butiran air mata yang mengalir di kedua pelupuk matanya.

“Jangan kau permainkan kedua orang tuamu yang sudah tua ini Prakash. Katakan bahwa kau baru saja bergurau!!”gertak ayahnya sembari menggelengkan kepalanya.

Prakash menggigit bibir. Hatinya kembali bergemuruh. Kalau saja mau, ia akan mengatakan bahwa ia hanya main-main. Prakash bisa saja mengatakan kepada kedua orang tuanya bahwa Purohit telah berbohong. Toh ibu dan ayahnya lebih percaya kepadanya di banding kepada kakaknya yang pemabuk dan suka bikin ulah. Kedua orang tuanya lebih menyayangi Prakash dibanding Purohit yang pemalas dan banyak membual. Tapi jika ia mengatakan hal yang tak benar, kedua orang tuanya akan semakin marah jika suatu saat nanti mengetahui bahwa ia berbohong tentang keislamannya. Selain itu Purohit akan semakin membecinya.

Maka prakash mencoba menguatkan hatinya dan mendongakan kepala dengan yakin.”Benar ayah. Purohit tidak berbohong. Aku telah menjadi seorang muslim.”

“PERGI!! PERGI DARI RUMAH INI!” bentak ayahnya dengan keras. Matanya senyalang mata elang. Merah laksana api yang berkobar.

Prakash menghela nafas.” Bahkan saya menduga hal ini akan terjadi, aku akan pergi saat ini juga!”ujarnya tegas.

Dan malam itu juga, ia pergi dari rumah disertai deraian air mata ibunya dan tatapan benci ayah dan Purohit kakaknya. Ia tak mau dan tak akan pernah menyesali keputusannya itu. Sesekali kekhawatiran menyelusupi hatinya. Tapi ia segera tepis jauh-jauh.

Prakash menghela nafas dalam-dalam. Ia melangkah dengan menguatkan hatinya yang masih diliputi kekhawatiran. Prakash tahu dimana ia akan bermalam. Segera ia menghubungi Raj Sharma, teman karibnya. Tapi sayang, Raj Sharma tidak mengangkat telponnya. Atau bahkan teman karibnya juga telah melupakannya. Tak pernah ada yang menyangkal, bahwa keislamannya telah menjadi trending topic di kampus. Tak ada yang menjadi perbincangan paling hangat selain tentang keislamannya. Bahkan ia pernah menemukan artikel provokatif di majalah kampus dengan judul.”muslim menjadi ancaman.” Artikel itu muncul tak lama setelah berita keislamannya menyebar di seluruh kalangan mahasiswa dan dosen.
Prakash mendengus kesal. Untuk kesekian kalinya ia menghubungi nomor sahabatnya itu. Kali ini berhasil, Raj Sharma mengangkat panggilannya.
”Ada apa?”tanyanya ketus. Padahal, biasanya Raj Sharma mempunyai selera humor yang tinggi. Ia selalu mengawali pembicaraan dengan gurauan dan guyonan khas anak Birwani pada umumnya.

“Apakah aku bisa menginap di rumahmu malam ini?”

Raj Sharma tertawa sarkastis dan berkata.”Aku takut dewa Visnu akan mengutukku. Tidak sepantasnya aku menolong seorang durhaka sepertimu!”
Prakash Patra tak menyangka bahwa teman karibnya akan mengatakan perkataan sekasar itu. Jika seandainya ia tak ingat posisinya saat ini, ingin sekali ia membalas cacian itu dan bahkan mungkin membanting telpon genggamnya. Tapi Prakash sadar, bahwa ini adalah ujian bagi kesabarannya.
Kali ini ia mencoba menelpon Kajal Pawar, kekasihnya. Kajal Pawar adalah seorang mahasiswi cantik yang menjadi primadona di universitas kalkuta. Banyak orang yang merasa iri terhadap Prakash ketika ia menjadi kekasihnya. Tapi semenjak keislamannya, Kajal Pawar tak lagi menghubunginya. Marah? Bisa jadi. Tapi untuk malam ini Prakash mencoba menghubunginya dan berharap kekasihnya itu berbaik hati menerima telponnya.

“Honey, aku butuh bantuanmu malam ini.”

“Apa?”Tanya Kajal Pawar dengan nada sangsi.

“Aku ingin menginap di rumahmu barang satu malam.”jelas Prakash dengan hati was-was. Ia jadi terlihat tolol. Padahal biasanya ia selalu menginap di rumah kekasihnya tanpa menelpon sekali pun. Bahkan Prakash sudah menganggap kamar Kajal Pawar juga termasuk wilayah privasinya.

“Apa?” seru Kajal dengan nada terkejut.”Untuk apa kau bermalam di rumahku. Aku tak akan menerimamu sebagai seorang muslim. Rumahku terlalu suci untuk kau injak!”

“Ayolah kajal. Aku tahu kau tak akan bersikap masa bodoh seperti orang-orang lain.”Ujar Prakash Patra memelas.



“Asal kau tahu Prakash. Aku tak akan mempermasalahkan keislamanmu. Yang aku permasalahkan adalah kedekatanmu dengan Janna.”


“Janna?”

“Ya! Janna Emali si gadis Pakistan itu. Bukankah kau juga masuk islam karena mencintainya?”

Prakash hampir tertawa mendengar apa yang Kajal utarakan barusan. Ada nada kecemburuan disana. Memang benar apa yang dikatakan Kajal. Selama ini ia terlibat diskusi dan obrolan yang intens dengan Janna Emali.

“Tapi aku hanya mengobrol masalah-masalah urgent tentang islam Kajal. Aku tak pernah mencintainya.”

“Kau bohong Prakash. Aku sering melihatmu berdua dengannya. Bahkan hatimu mengakui kan, bahwa ia gadis yang cantik. Dan keislamanmu karena kau ingin mendapatkannya.!” Klik! Kajal memutus sambungan. Prakash Patra merutuk tak jelas. Ia benar-benar frustasi dan tak tahu harus bagaimana lagi. Tapi tiba-tiba ia punya ide. Mendengar kecemburuan kekasihnya pada Janna emali membuat Prakash yakin bahwa temannya itu bisa membantunya.

 Malam itu juga ia mendatangi rumah Janna Emali di daerah Sirsa, teman yang menghadiahinya al-Quran. Tapi Emali merasa tidak enak menerima tamu teman lelaki tengah malam. Bagaimana pun juga, ia takut akan gunjingan tetangga-tetangga muslimnya. Akhirnya Emali menyerahkan secarik alamat untuk Prakash.”Ini maula saya di masjid. Kamu bilang padanya, kamu mualaf dari Haryana. Aku akan menelpon maula Ibrahim saat ini juga.

****

Prakash terbangun dari tidurnya ketika kereta berhenti di stasiun Kalkuta. Stasiun begitu ramai oleh orang-orang yang berlalu lalang. Para pedagang makanan dan pernak-pernik India dengan gesit menawarkan barang dagangan dengan sedikit memaksa. Sementara penumpang kereta berdesak-desakan keluar masuk dari setiap pintu gerbong kereta. Prakash segera mengemasi ranselnya dan turun dari pintu gerbong. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling stasiun. Sejurus kemudian, Prakash duduk di sebuah bangku panjang tak jauh dari gerbong dimana ia turun.

Prakash menatap jam dinding besar yang tergantung di salahsatu sudut ruang tunggu. Pukul tujuh pagi. Ia kembali menekuri telpon genggamnya.

Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya.”Prakash!”

Prakash menolehkan kepalanya dan didapatinya Emali dan seorang lelaki dengan wajah pakistannya yang khas. Ia tersenyum demi melihat siapa yang menepuk pundaknya barusan.

“Sudah lama menunggu?”

“Baru saja aku turun.”jawab Prakash Patra.

“Ini kakakku Abdullah. Untuk sementara kau bisa tinggal di apartemennya dan belajar islam di masjid terdekat.

Abdullah menjabat tangannya disertai tatapan hangat dan bersahabat. Tanpa ia sadari bahwa mata Prakash telah berlinang oleh air mata bahagia.
Parkash tersenyum lebar. Ia yakin, ia akan menemukan asanya yang hampir tenggelam dengan dikelilingi brother muslim yang baik hati. Benar, ia telah kehilangan cinta dari keluarga besarnya. Prakash telah kehilangan cita-citanya menjadi seorang pengacara setelah ia terusir dan tak bisa lagi masuk universitas. Tapi Allah punya cinta yang lebih agung dari semua itu. Kini ia telah mereguk kenikmatan cinta-Nya dan cinta teman seakidah. Prakash tak lagi peduli dengan cita-citanya. Tak lagi merasa kehilangan segala harapan dan mimpi yang ia bangun semenjak kecil.

“Bagaimana pun juga, cita tertinggi seorang muslim adalah keridhoan Tuhannya. kadang untuk mencapainya, harus mengorbankan segala yang kita harapkan dan impikan.” Begitu kata Abdullah padanya.

-------------------
Biodata penulis

Nama lengkap Husni Mubarok. Beberapa tulisannya berupa cerpen, artikel, dan puisi telah di muat di beberapa media seperti majalah Annida, Horison, ar-Risalah dan voa-islam.com. Saat ini menjadi kontributor portal berita islam bersamadakwah.net

Bisa dihubungi di akun facebook; Kang Uni Mubarok, email; husnimubarok5593@gmail.com dan nomor kontak 085315675774
Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment