Prakash Patra menghempaskan kepalanya pada kursi berbusa kereta. Sengaja ia memilih sleeper claas walau harus dengan mengeluarkan lebih banyak uang. Bagaimana pun juga, perjalanan Haryana-Kalkuta akan memakan waktu yang cukup lama.
Ia yakin, ia
butuh istirahat untuk memulihkan tenaganya setelah perjalanan seharian dari
Sirsa hingga Biwani. Mata cokelatnya menatap arloji yang melingkar di
pergelangan tangannya. Jam empat sore. Parakash Patra ingin tidur, tapi suara
bising di sekitarnya tak bisa mendukung kantuknya. Seorang perempuan paruh baya
menawarkan dagangannya berupa nasi box dan ayam biryani dengan suara nyaring.
Dua orang kondektur dan petugas militer masuk ke dalam gerbong untuk memeriksa
tiket setiap penumpang. Prakash mengambil tiket kereta dari saku celananya dan
menyerahkannya. Dua petugas itu mengangguk pelan dan melanjutkan pemeriksaan
kepada penumpang lainnya.
Prakash kembali termenung.
Kejadian kemarin sore kembali memenuhi benaknya dan membuatnya pening.
***
“Prakash!! Kamu benar-benar binatang! Apa ini?” bentak
Purohit, sang kakak. Tangan kakannya yang kekar mengacungkan sebuah kitab.
Kitab al-qur’an yang tempo hari ia dapatkan dari Janna Emali sahabat
sefakultasnya.
Parakash terdiam. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin Purohit bisa menemukan al-qur’an itu.
Padahal ia selalu menyembunyikannya di bawah lipatan baju-bajunya di dalam
lemari. Tapi setidaknya Prakash paham bahwa Purohit telah mengetahui perihal
keislamannya. Bisa jadi kakaknya itu merasa penasaran dan mulai menggeledah
kamarnya tadi pagi. Mungkin ia berharap menemukan barang-barang atau simbol
yang berhubungan dengan islam sebagai penguat dari apa yang purohit dengar
mengenai keislamannya.
“Kamu sudah diracuni oleh orang-orang islam itu?!” cercanya
lagi. Kali ini tangannya terayun dengan cepat. Al-qur’an itu hampir mendarat di
mukanya jika ia tidak berkelit. Utungnya ia sigap merentangkan tangannya
sehingga al-quran hadiah dari temannya itu tidak jatuh ke tanah.
Tiba-tiba ayah dan ibunya datang dari ambang pintu depan.
Wajah ibunya menyiratkan kehawatiran yang begitu sangat.”Ada apa Purahit?
Kenapa kau bersikap kasar?”tanyanya sembari mencekal pergelangan tangan Purohit
yang hendak menghantam Prakash.
“Dia hendak menghina kita. Dia menghina para dewa dengan
mendukung orang-orang muslim.”terang purohit dengan tatapan nyalang.
“APA?!” Tanya ibu dan ayahnya hampir berbarengan. Mereka kini
menatap Prakash dan Purohit secara bergantian. Seakan menimbang-nimbang,
benarkah apa yang dikatakan anak sulungnya barusan?
Prakahs Patra mendesah,”Ya ibu, saya sudah menjadi seorang
muslim.”
Ayahnya terlonjak kaget. Ibunya menangis dan menyeka butiran
air mata yang mengalir di kedua pelupuk matanya.
“Jangan kau permainkan kedua orang tuamu yang sudah tua ini Prakash.
Katakan bahwa kau baru saja bergurau!!”gertak ayahnya sembari menggelengkan
kepalanya.
Prakash menggigit bibir. Hatinya kembali bergemuruh. Kalau
saja mau, ia akan mengatakan bahwa ia hanya main-main. Prakash bisa saja
mengatakan kepada kedua orang tuanya bahwa Purohit telah berbohong. Toh ibu dan
ayahnya lebih percaya kepadanya di banding kepada kakaknya yang pemabuk dan
suka bikin ulah. Kedua orang tuanya lebih menyayangi Prakash dibanding Purohit
yang pemalas dan banyak membual. Tapi jika ia mengatakan hal yang tak benar,
kedua orang tuanya akan semakin marah jika suatu saat nanti mengetahui bahwa ia
berbohong tentang keislamannya. Selain itu Purohit akan semakin membecinya.
Maka prakash mencoba menguatkan hatinya dan mendongakan kepala
dengan yakin.”Benar ayah. Purohit tidak berbohong. Aku telah menjadi seorang
muslim.”
“PERGI!! PERGI DARI RUMAH INI!” bentak ayahnya dengan keras.
Matanya senyalang mata elang. Merah laksana api yang berkobar.
Prakash menghela nafas.” Bahkan saya menduga hal ini akan
terjadi, aku akan pergi saat ini juga!”ujarnya tegas.
Dan malam itu juga, ia pergi dari rumah disertai deraian air
mata ibunya dan tatapan benci ayah dan Purohit kakaknya. Ia tak mau dan tak
akan pernah menyesali keputusannya itu. Sesekali kekhawatiran menyelusupi
hatinya. Tapi ia segera tepis jauh-jauh.
Prakash menghela nafas dalam-dalam. Ia melangkah dengan
menguatkan hatinya yang masih diliputi kekhawatiran. Prakash tahu dimana ia
akan bermalam. Segera ia menghubungi Raj Sharma, teman karibnya. Tapi sayang, Raj
Sharma tidak mengangkat telponnya. Atau bahkan teman karibnya juga telah
melupakannya. Tak pernah ada yang menyangkal, bahwa keislamannya telah menjadi trending topic di kampus. Tak ada yang
menjadi perbincangan paling hangat selain tentang keislamannya. Bahkan ia
pernah menemukan artikel provokatif di majalah kampus dengan judul.”muslim
menjadi ancaman.” Artikel itu muncul tak lama setelah berita keislamannya
menyebar di seluruh kalangan mahasiswa dan dosen.
Prakash mendengus kesal. Untuk kesekian kalinya ia
menghubungi nomor sahabatnya itu. Kali ini berhasil, Raj Sharma mengangkat
panggilannya.
”Ada apa?”tanyanya ketus. Padahal, biasanya Raj Sharma
mempunyai selera humor yang tinggi. Ia selalu mengawali pembicaraan dengan
gurauan dan guyonan khas anak Birwani pada umumnya.
“Apakah aku bisa menginap di rumahmu malam ini?”
Raj Sharma tertawa sarkastis dan berkata.”Aku takut dewa Visnu akan mengutukku. Tidak sepantasnya
aku menolong seorang durhaka sepertimu!”
Prakash Patra tak menyangka bahwa teman karibnya akan
mengatakan perkataan sekasar itu. Jika seandainya ia tak ingat posisinya saat
ini, ingin sekali ia membalas cacian itu dan bahkan mungkin membanting telpon
genggamnya. Tapi Prakash sadar, bahwa ini adalah ujian bagi kesabarannya.
Kali ini ia mencoba menelpon Kajal Pawar, kekasihnya. Kajal Pawar
adalah seorang mahasiswi cantik yang menjadi primadona di universitas kalkuta.
Banyak orang yang merasa iri terhadap Prakash ketika ia menjadi kekasihnya.
Tapi semenjak keislamannya, Kajal Pawar tak lagi menghubunginya. Marah? Bisa
jadi. Tapi untuk malam ini Prakash mencoba menghubunginya dan berharap
kekasihnya itu berbaik hati menerima telponnya.
“Honey, aku butuh bantuanmu malam ini.”
“Apa?”Tanya Kajal Pawar dengan nada sangsi.
“Aku ingin menginap di rumahmu barang satu malam.”jelas Prakash
dengan hati was-was. Ia jadi terlihat tolol. Padahal biasanya ia selalu
menginap di rumah kekasihnya tanpa menelpon sekali pun. Bahkan Prakash sudah
menganggap kamar Kajal Pawar juga termasuk wilayah privasinya.
“Apa?” seru Kajal dengan nada terkejut.”Untuk apa kau
bermalam di rumahku. Aku tak akan menerimamu sebagai seorang muslim. Rumahku
terlalu suci untuk kau injak!”
“Ayolah kajal. Aku tahu kau tak akan bersikap masa bodoh
seperti orang-orang lain.”Ujar Prakash Patra memelas.
“Asal kau tahu Prakash. Aku tak akan mempermasalahkan keislamanmu. Yang aku
permasalahkan adalah kedekatanmu dengan Janna.”
“Janna?”
“Ya! Janna Emali si gadis Pakistan itu. Bukankah kau juga
masuk islam karena mencintainya?”
Prakash hampir tertawa mendengar apa yang Kajal utarakan
barusan. Ada nada kecemburuan disana. Memang benar apa yang dikatakan Kajal.
Selama ini ia terlibat diskusi dan obrolan yang intens dengan Janna Emali.
“Tapi aku hanya mengobrol masalah-masalah urgent tentang
islam Kajal. Aku tak pernah mencintainya.”
“Kau bohong Prakash. Aku sering melihatmu berdua dengannya.
Bahkan hatimu mengakui kan, bahwa ia gadis yang cantik. Dan keislamanmu karena
kau ingin mendapatkannya.!” Klik! Kajal memutus sambungan. Prakash Patra
merutuk tak jelas. Ia benar-benar frustasi dan tak tahu harus bagaimana lagi.
Tapi tiba-tiba ia punya ide. Mendengar kecemburuan kekasihnya pada Janna emali
membuat Prakash yakin bahwa temannya itu bisa membantunya.
Malam itu juga ia
mendatangi rumah Janna Emali di daerah Sirsa, teman yang menghadiahinya
al-Quran. Tapi Emali merasa tidak enak menerima tamu teman lelaki tengah malam.
Bagaimana pun juga, ia takut akan gunjingan tetangga-tetangga muslimnya.
Akhirnya Emali menyerahkan secarik alamat untuk Prakash.”Ini maula saya di masjid. Kamu bilang
padanya, kamu mualaf dari Haryana. Aku akan menelpon maula Ibrahim saat ini
juga.
****
Prakash terbangun dari tidurnya ketika kereta berhenti di
stasiun Kalkuta. Stasiun begitu ramai oleh orang-orang yang berlalu lalang.
Para pedagang makanan dan pernak-pernik India dengan gesit menawarkan barang
dagangan dengan sedikit memaksa. Sementara penumpang kereta berdesak-desakan
keluar masuk dari setiap pintu gerbong kereta. Prakash segera mengemasi
ranselnya dan turun dari pintu gerbong. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling
stasiun. Sejurus kemudian, Prakash duduk di sebuah bangku panjang tak jauh dari
gerbong dimana ia turun.
Prakash menatap jam dinding besar yang tergantung di
salahsatu sudut ruang tunggu. Pukul tujuh pagi. Ia kembali menekuri telpon
genggamnya.
Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya.”Prakash!”
Prakash menolehkan kepalanya dan didapatinya Emali dan
seorang lelaki dengan wajah pakistannya yang khas. Ia tersenyum demi melihat siapa
yang menepuk pundaknya barusan.
“Sudah lama menunggu?”
“Baru saja aku turun.”jawab Prakash Patra.
“Ini kakakku Abdullah. Untuk sementara kau bisa tinggal di
apartemennya dan belajar islam di masjid terdekat.
Abdullah menjabat tangannya disertai tatapan hangat dan
bersahabat. Tanpa ia sadari bahwa mata Prakash telah berlinang oleh air mata
bahagia.
Parkash tersenyum lebar. Ia yakin, ia akan menemukan asanya
yang hampir tenggelam dengan dikelilingi brother
muslim yang baik hati. Benar, ia telah kehilangan cinta dari keluarga besarnya.
Prakash telah kehilangan cita-citanya menjadi seorang pengacara setelah ia
terusir dan tak bisa lagi masuk universitas. Tapi Allah punya cinta yang lebih
agung dari semua itu. Kini ia telah mereguk kenikmatan cinta-Nya dan cinta
teman seakidah. Prakash tak lagi peduli dengan cita-citanya. Tak lagi merasa
kehilangan segala harapan dan mimpi yang ia bangun semenjak kecil.
“Bagaimana pun juga, cita tertinggi seorang muslim adalah
keridhoan Tuhannya. kadang untuk mencapainya, harus mengorbankan segala yang
kita harapkan dan impikan.” Begitu kata Abdullah padanya.
-------------------
Biodata penulis
Nama lengkap Husni Mubarok. Beberapa tulisannya berupa
cerpen, artikel, dan puisi telah di muat di beberapa media seperti majalah
Annida, Horison, ar-Risalah dan voa-islam.com. Saat ini menjadi kontributor
portal berita islam bersamadakwah.net
Bisa dihubungi di akun facebook; Kang Uni Mubarok, email;
husnimubarok5593@gmail.com dan nomor kontak 085315675774
No comments:
Post a Comment