22 Apr 2015

MENJADI PENDENGAR YANG BAIK

Mendengarkan mungkin tidak mudah. Ada seni khusus yang perlu kita pelajari dalam hal mendengar. Karena, tidak semua orang mampu menjadi pendengar yang baik. Banyak tembok penghalang yang menyebabkan apa-apa yang orang lain sampaikan tidak sampai pada gendang telinga kita.
Bisa jadi ‘tembok penghalang’ suara lantang dari orang lain itu adalah ilmu, kekuasaan atau umur yang lebih tinggi. Banyak orang yang merasa tidak perlu mendengarkan orang yang berbicara kepada dirinya hanya karena ia menganggap bahwa ia lebih tahu dari pada orang itu. Ia menganggap remeh terhadap orang di hadapannya. Ia lebih menganggap seruan orang itu tak lebih dari omong kosong yang tiada gunanya. 
Begitu juga dengan orang yang mempunyai kekuasaan. Ia tak merasa perlu untuk mendengarkan saran, kritik atau pun nasihat dari bawahannya. Toh ia pemimpin. Segala kebijakan yang ia keluarkan adalah sebuah keniscayaan yang mau tidak mau harus diterima. Karena hak seorang pemimpin harus ditaati.
Ada juga orang yang merasa tertutup telinganya oleh usia yang ia miliki. Sementara orang yang berbicara kepadanya lebih muda darinya. Ia merasa lebih berhak untuk berbicara karena usianya. Lagi pula, apa untungnya mendengarkan orang yang lahir kemarin sore, begitu pikirnya. Ia beranggapan bahwa dirinya sudah mengecap lebih banyak garam kehidupan disbanding si pembicara tersebut. Maka muncul ungkapan.”anak kemarin sore, sudah sok ngatur!”
Maka, layakkah kita bersikap seperti itu. Jika memang layak, maka sudahkah kita menengok bagaimana rasulullah saw, pemimpin tertinggi dan termulia serta para sahabat mencontohkan seni mendengarkan yang begitu elegan. Padahal siapa diri kita? Tidak ada apa-apanya disbanding rasulullah saw dan para sahabat. Tapi kok, kita merasa jumawa dan hebat.
Banyak riwayat yang mengisahkan bagaimana leghowo dan terbukanya rasulullah saw. Ia adalah pribadi yang agung karena akhlaknya yang sangat mulia. Salahsatu akhlak mulianya, rasulullah adalah sesosok orang yang selalu menjadi pendengar yang baik dan lapang dada. Sebelum perang dengan kaum kafir berlangung, rasulullah saw, selalu mengumpulkan para sahabatnya dan bermusyawarah dengan mereka. Rasululluah tidak memonopoli majlis musyawarahnya. Ia Tanya para sahabatnya dan meminta pandangan mereka dengan strategi yang akan mereka ambil dan dianggap baik. Para sahabat pun tak pernah sungkan untuk mengutarakan pendapat dan saran, tanpa mengurangi rasa hormatnya pada beliau.
Kita juga bisa mencontoh sahabat umar bin khatab. Suatau hari ia pernah diprotes oleh seorang wanita paruh baya karena menganggap kebijakan syariat yang difatwakan oleh umar bin khatab tidak sesuai dengan syariat yang telah ada dan perempuan itu ketahui. Para sahabat umar merasa gusar, tapi umar mendengarkan penuturan perempuan itu dengan hati yang terbuka dan lapang.
Sungguh, jika seandainya kita mau jujur. Justru kita menjadi kerdil karena sikap jumawa kita yang tak mau mendengarkan dan menutup telinga kita hanya karena factor-faktor yang absurd itu. Ilmu, kekuasaan dan usia bukan menjadikan tembok penghalang untuk mendengarkan. Akan tetapi itu semua adalah sarana untuk bisa memahami dan mendengarkan lebih banyak lagi. Karena jika tidak, maka sejatinya kita belum berilmu secara sempurna, kita belum berkuasa secara purna, dan usia kita tidak menjadikan kita menjadi semakin dewasa. Selain kesombongan, tak ada alasan untuk tidak menjadi pendengar yang baik

(100 renungan keimanan , husni mubarok)
Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment