Mendengarkan mungkin tidak mudah. Ada seni khusus yang perlu
kita pelajari dalam hal mendengar. Karena, tidak semua orang mampu menjadi
pendengar yang baik. Banyak tembok penghalang yang menyebabkan apa-apa yang
orang lain sampaikan tidak sampai pada gendang telinga kita.
Bisa jadi ‘tembok penghalang’ suara lantang dari orang lain
itu adalah ilmu, kekuasaan atau umur yang lebih tinggi. Banyak orang yang
merasa tidak perlu mendengarkan orang yang berbicara kepada dirinya hanya
karena ia menganggap bahwa ia lebih tahu dari pada orang itu. Ia menganggap
remeh terhadap orang di hadapannya. Ia lebih menganggap seruan orang itu tak
lebih dari omong kosong yang tiada gunanya.
Begitu juga dengan orang yang mempunyai kekuasaan. Ia tak
merasa perlu untuk mendengarkan saran, kritik atau pun nasihat dari bawahannya.
Toh ia pemimpin. Segala kebijakan yang ia keluarkan adalah sebuah keniscayaan
yang mau tidak mau harus diterima. Karena hak seorang pemimpin harus ditaati.
Ada juga orang yang merasa tertutup telinganya oleh usia
yang ia miliki. Sementara orang yang berbicara kepadanya lebih muda darinya. Ia
merasa lebih berhak untuk berbicara karena usianya. Lagi pula, apa untungnya
mendengarkan orang yang lahir kemarin sore, begitu pikirnya. Ia beranggapan
bahwa dirinya sudah mengecap lebih banyak garam kehidupan disbanding si
pembicara tersebut. Maka muncul ungkapan.”anak kemarin sore, sudah sok ngatur!”
Maka, layakkah kita bersikap seperti itu. Jika memang layak,
maka sudahkah kita menengok bagaimana rasulullah saw, pemimpin tertinggi dan
termulia serta para sahabat mencontohkan seni mendengarkan yang begitu elegan.
Padahal siapa diri kita? Tidak ada apa-apanya disbanding rasulullah saw dan
para sahabat. Tapi kok, kita merasa jumawa dan hebat.
Banyak riwayat yang mengisahkan bagaimana leghowo dan
terbukanya rasulullah saw. Ia adalah pribadi yang agung karena akhlaknya yang
sangat mulia. Salahsatu akhlak mulianya, rasulullah adalah sesosok orang yang
selalu menjadi pendengar yang baik dan lapang dada. Sebelum perang dengan kaum
kafir berlangung, rasulullah saw, selalu mengumpulkan para sahabatnya dan
bermusyawarah dengan mereka. Rasululluah tidak memonopoli majlis musyawarahnya.
Ia Tanya para sahabatnya dan meminta pandangan mereka dengan strategi yang akan
mereka ambil dan dianggap baik. Para sahabat pun tak pernah sungkan untuk
mengutarakan pendapat dan saran, tanpa mengurangi rasa hormatnya pada beliau.
Kita juga bisa mencontoh sahabat umar bin khatab. Suatau
hari ia pernah diprotes oleh seorang wanita paruh baya karena menganggap
kebijakan syariat yang difatwakan oleh umar bin khatab tidak sesuai dengan
syariat yang telah ada dan perempuan itu ketahui. Para sahabat umar merasa
gusar, tapi umar mendengarkan penuturan perempuan itu dengan hati yang terbuka
dan lapang.
Sungguh, jika seandainya kita mau jujur. Justru kita menjadi
kerdil karena sikap jumawa kita yang tak mau mendengarkan dan menutup telinga
kita hanya karena factor-faktor yang absurd itu. Ilmu, kekuasaan dan usia bukan
menjadikan tembok penghalang untuk mendengarkan. Akan tetapi itu semua adalah
sarana untuk bisa memahami dan mendengarkan lebih banyak lagi. Karena jika
tidak, maka sejatinya kita belum berilmu secara sempurna, kita belum berkuasa
secara purna, dan usia kita tidak menjadikan kita menjadi semakin dewasa.
Selain kesombongan, tak ada alasan untuk tidak menjadi pendengar yang baik
(100 renungan keimanan , husni mubarok)
No comments:
Post a Comment