11 Feb 2015

SENANDUNG ALAM OLEH : HUSNI MUBAROK

Rani menyeka keringat yang membanjiri dahinya. Kurang lebih dua kilo meter  ia menyusuri jalan terjal berbatu. Untungnya pohon-pohon karet yang tumbuh di sepanjang jalan meneduhi jalan yang dilaluinya itu.
Sebenarnya dua hari yang lalu pak kades sudah berbaik hati menawarkan jasanya untuk mengantar rani sampai tepi sungai Cileuwi jika seandainya rani mau.
“terlalu jauh neng. Lebih baik bapak antar saja pake motor.” Begitu kata pak kades tempo hari.
“nggak usah pak. Nggak papa jalan kaki. Itung-itung olahraga sekaligus nurunin berat badan.” Seloroh rani yang memang berbadan tambun tersebut. Sebenarnya bukan karena hal itu. Tapi rani merasa malu jika harus diantar tiap pergi ke SD tempat dia praktek KKN. Sudah tiga hari pak kades bersedia mengantarnya. Kini rani berniat untuk berjalan kaki saja. Walau pun harus menanggung cape dan kaki yang luar biasa pegalnya. Tapi rani senang, sepanjang perjalanannya ia bisa berinteraksi langsung dengan penduduk dan alam sekitar yang masih perawan. Sepanjang perjalannya rani ditemani suara tonggeret dan kicau burung di dahan-dahan pohon karet dan mangga yang tumbuh lebat di hampir sepanjang jalan berbatu itu. Sesuatu yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Suara-suara binatang didahan pohon itu membuat damai dan tenang hatinya.
Kadang rani berpapasan dengan ibu-ibu yang pergi ke kebun atau ke sawah untuk tandur. Atau kadang berpapasan dengan bapak-bapak dengan motor trail nya yang sarat dengan berkarung-karung rumput.


“itu untuk pakan ternak. Sebagian  besar penduduk di sini berternak sapi dan domba garut.” Terang pak kades ketika ditanya perihal itu.
Rani adalah seorang mahasiswi yang sedang praktik KKN dari salah satu perguruan tinggi di kota. Dia bersama dua temannya ditempatkan di daerah terpencil di wilayah bandung barat. Kedua rekannya, aisyah dan siwi KKN di sebuah Mts di kota kecamatan. Sedangkan ia di sebuah sekolah dasar terpencil di daerah perkebunan karet. Letaknya lumayan jauh dari kantor kecamatan. Untuk masa KKN ini rani tinggal di rumah pak kades di kantor kelurahan. Beruntung bu kades sangat baik dan ramah. Apalagi bu kades juga seorang praktisi pendidikan yang juga membuka TK di kantor kelurahan. Kadang rani sering berdiskusi dengan bu kades masalah pendididkan. Jadi rani tak pernah merasa kesepian walau pun ia sulit berkomunikasi dengan keuarga dan teman-temannya.maklum,jaringan seluler lup-lep di daerah pedalaman seperti itu.
Rani kini telah berada di tepi sungai cileuwi. Airnya tanpak keruh setelah semalaman turun hujan yang cukup deras.
“nyebrang neng.”ujar seorang penyewa rakit dengan senyum ramahnya.
Rani mengagguk dan segera menaiki rakit yang menepi. Perlahan rakit itu menyebrangi sungai lebar yang kata orang-orang kampung dalamnya sampai tiga leunjeur awi.
Rani menyerahkan beberapalembar uang ribuan dan turun dari rakit.tak lupa megucapkan terimakasih kepada tukang sewa rakit tersebut.
Sebenarnya terdapat sebuah jembatan gantung di atas jembatan ci leuwi.konon katanya, jembatan itu dibangun pada saat zaman  penjajahan belanda. Namun dua minggu yang lalu ambruk dan rusak  permanen sehingga tidak bisa digunakan lagi. Padahal dua  desa itu menghubungkan dua desa yang berdekatan. Kini warga hanya bisa mengandalkan rakit bambu  yang disewakan beberapa warga. Terutama warga desa sebrang sungai yang punya urusan ke kota kecamatan.

Rani kini berjalan di atas jalan setapak yang terjal dan becek. Kalau tidak hati-hati saat melangkah bias-bisa ia bias terpelset dan jatuh di atas lumpur-lumpur sisa hujan semalam. Jalan setapak yang bertanah pejal dan lumpur yang lumayan itu membuat rani cepat lelah. Rani merasakan pegal-pegal di telapak kakinya.ia mendongak dan ia bias melihat bangunan sekolah itu di pinggang bukit pasirawi. Ia menghela nafas dan kembali melanjutkan langkahnya.
Setelah beberapa menit berjalan dengan nafas yang memburu akhirnya rani sampai di tanah lapang tempat sekolah itu berdiri. Sebuah papan kayu dengan cat pudah terpancang di depan ujung jalan setapak satu-satunya yang menuju kesekolah itu. Walau pun satnya luntur tapi masih bias terbaca jelas oleh mata yang benar-benar masih normal.
SDN LEUWISARI
  Sekolah dasar itu sudah lenggang . Anak-anak sudah memulai pelajaran pertama mereka. Rani segera menuju ruang kantor yang merangkap sekaligus sebagai ruang perpustakaan dan gudang. Tak ada ruang kepala sekolah atau ruang UKS seperi sekolah-sekolah lainnya. Dan seakan-akan sebuah kolerasi yang sepadan, jarang ada anak yang sakit yang memerlukan perawatan dan obat-obatan lengkap UKS. Jika ada anak yang sakit cukup diberi obat murahan yang disediakan di kantor atau pulang ke rumah dengan diantar temannya. Simple.
Begitu juga dengan kepala sekolahnya. Pak arpan namanya. Selain sebagai kepala sekolah,iajuga merangkapsebagai guru bahasa sunda, guru agama dan guru olahraga. Benar-benar multi talent dia.
“jalannya becek ya the rin.”ujar bu khodijah, guru kesenian dan pupuh yang selalu tersenyum ramah.
“iya bu. Saya hamper jatuh tadi. Semalam mah hujannya ageing pisan.”jawab rani.
“teh rani mengajar bahasa Indonesia di jam ketiga?”Tanya bu khadijah sembari melihat jadwal di kertas karton kuning yang tertempel di dinding.
“iya.”


“assalamualaikum.”sapa rani ketika tiba di ruang kelas.
“waalaikum salam.”jawab anak-anak itu serempak. Mereka mendadak duduk tertib dan terdiam setelah sebelumnya gaduh dan kejar-kejaran di kelas.maklum,mereka masih kelas tiga.
Rani duduk di kursinya dan menyapu wajah-wajah lugu itu dengan tatapan cerah dan senyum merekah.
“anak-anak. Sebagaimana yang ibu tugaskan kemarin. Sekarang kumpulkan karangan kalian. Karangan apa coba.”
“karangan tentang kegiatan liburan semester bu.”jawab anak-anak serempak.
“ya, sekarang kumpulkan karangannya.
Tanpa menunggu lama.kini sudah terkumpul berlembar-lembar kertas dengan tulisan tangan  mereka. Sesaat rani mengamati kertas itu dan mengambil sebuah kertas.” Coba asep bacakan karangannya.”
Seorang anak laki-laki berambut keriting dan bertubuh tirus dengan malu-malu maju ke depan kelas. Teman-temannya tersenyum melihat dia celingukan. Tanpaknya ia masih merasa tak yakin untuk menceritakan ceritanya di hadapan bu guru rani dan teman-teman sekelasnya.
Rani  menyerahkan kertas itu untuk dibacakan asep. Asep menerimanya dengan tangan gemetar dan menatap rani dengan tatapan sangsi.
“ayo, bacakan. Biar teman-temanmu tau apa saja kegiatanmu waktu libur. Pasti mereka penasaran.”
asep masih terdiam.
“kalian penasaran kan sama cerita asep?” pancing  rani kepada murid-murid lainnya.
“YA!!.”jawab mereka serempak. Asep menarik nafas dan mulai membaca dengan terbata-bata.
“pada liburan kemarin aku dan teman-teman ngojay di sungai cileuwi. Kami memancing ikan dan ngaliwet bersama. Setelah itu kami pergi ke gunung untuk mencari lebah madu. Biasanya kami mendapatkan srang lebah madu di pohon-pohon karet dan pohon jati di pasirawi.
Asep membaca karangannya hingga selesai. Dilanjutkan anak-anak lainnya. Cerita mereka bermacam-macam dan mengasyikan. Mereka bercerita tentang berburu jangkrik di padang ilalang saat bulan purnama, memetik buah-buahan di kebun, ikut tandur di sawah bersama emak mereka tau ikut nyadap karet dengan bapak mereka di psairawi.
Rani tersenyummendengar cerita-cerita mereka. Ya, mereka benar-benar hidup bersama alam. Dibesarkan di alam dan hidup dari alam itu sendiri. Karena merekajuga bagian dari alam itu sendiri, begitu pikir rani.
Jika seandainya rani menyuruh membuat karangan di sekolah dasar kota pastinya lain lagi ceritanya. Anak-anak kota buta dengan alam yang masih benar-benar asli dan perawan. Mereka hidup dijejali dengan hal-hal yang serba instan dan modern. Mereka tidak berbudaya dengan alam, tapi berbudaya dengan teknologi dan kemodernan yang kadang tak ramah dengan alam dan lingkungan.
Anak-anak itu berebut menyalami dan mencium tangan rani. Sejurus kemudian berlarian dan menggendong tas denan buku seadanya. Bahkan tak sedikit yang tak membawa tas.kaki-kai mereka hanya memakai sandal jepit. Bukan memakai sepatu seperti layaknya anak-anak sekolahan pada umumnya. Bahkan jika saat musim hujan seperti ini mereka lebih memilih bertelanjang kaki. Justru dengan begitu kaki mereka akan semakin leluasa dan lincah menjejak tanah-tanah becek dan berlumpur.
Rani segeramenyandang tas kulitnya dan memasukan sepasang sepatunya ke dalamkantong kresek yang sudah ia siapkan sejak berangkat tadi. Sulit baginya berjalan di jalan setapak menurun dengan lumpur yang mendominasi dengan memakai sepatu.
Rani mulai menjejakan kakinya di tanah merah berlumpur. Dilihatnya anak-anak didiknya berjalan di pematang-pematang sawah berwarna kecokelatan di bawah sana.diantara hamparan sawah yang menghijau dan terbelah dengan sungai cileuwi yang mengalir dengan deras.
Sayup-sayup rani mendengar mereka menyanyikan sebait tembang sunda diantara langkah-langkah riang mereka.
Indonesia gemah ripah loh jinawi
Alam endah hejo ngemploh sugih mukti
Subur tutuwuhan, beunghar pepelakan
Daun heo ngemploh karaharjan lemah cai
Bait tembang yang menggambarkan tentang alam Indonesia  yang hijau subur. Yang kaya dengan beraneka tumbuh-tumbuhan dan selalu memberikan penghidupan yang mensejahterakan.
Tiba-tiba rani teringat kota tempat tinggalnya. Ia teringat bukit di sebelah utara kotanya yang smakin gundul. Ia masih ingat dengan banjir yang memecah tanggul dan menggenangi kampong.
Duh, apakah lagu itu masih cocok disebut sebagai ilustrasi keadaan alam Indonesia? Ciliwung sudah lama tercemar. Citarum apalagi.kini kita yang dijuluki sebagai kota kembang,kota bandung yang dilingkung gunung menjadi langganan banjir tiap hujan tiba.
Tapi sudah sepantasnya anak-anak itu menyanyi tembang tersebut. Menyanyikan tentang keindahan alam. Karena ternyata disini alam asih hijau dan permai dan masih nyingkur di pedalaman. Dari pinggang bukit pasir awi rani dengan leluasa menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru alam.sawah-sawah yang menghijau bagai hamparan permadani yang dijaga gunung-gunung dan bukit nan kokoh dan sama hijaunya. Hamparan kebun the,kebun karet dan jagung di puncak dan pinggang bukit memanjakan matanya. Di daratan bawah sana, rani melihat sungai cileuwi mengular dan mengalir tenang dari hulu bukit cileuwi. Rani benar-benar tersihir dengan keindahannya.ia mencintai desa yang bersahaja ini.
Rani terus melangkah diantara butir-butir peluh yang menuruni dahinya. Ditemani senandung alam yang mengantarnya pada kedamaian. Kicauan burung dan tonggeret kembali mengantar langkahnya.sementara lagu anak-anak tadi masih terngiang-ngiang di benaknya. Senandung alam yang begitu sempurna. Rani berjanji akan mewujudkan semua itu dikotanya bila ia bias. Dan dimulai dari hal-hal terkecil saja.

Husni mubarok
Padaherang, 02 januari 2013

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment