Rani menyeka keringat yang membanjiri dahinya. Kurang lebih
dua kilo meter ia menyusuri jalan terjal
berbatu. Untungnya pohon-pohon karet yang tumbuh di sepanjang jalan meneduhi
jalan yang dilaluinya itu.
Sebenarnya dua hari yang lalu pak kades sudah berbaik hati
menawarkan jasanya untuk mengantar rani sampai tepi sungai Cileuwi jika
seandainya rani mau.
“terlalu jauh neng. Lebih baik bapak antar saja pake motor.”
Begitu kata pak kades tempo hari.
“nggak usah pak. Nggak papa jalan kaki. Itung-itung olahraga
sekaligus nurunin berat badan.” Seloroh rani yang memang berbadan tambun
tersebut. Sebenarnya bukan karena hal itu. Tapi rani merasa malu jika harus
diantar tiap pergi ke SD tempat dia praktek KKN. Sudah tiga hari pak kades
bersedia mengantarnya. Kini rani berniat untuk berjalan kaki saja. Walau pun
harus menanggung cape dan kaki yang luar biasa pegalnya. Tapi rani senang,
sepanjang perjalanannya ia bisa berinteraksi langsung dengan penduduk dan alam
sekitar yang masih perawan. Sepanjang perjalannya rani ditemani suara tonggeret
dan kicau burung di dahan-dahan pohon karet dan mangga yang tumbuh lebat di
hampir sepanjang jalan berbatu itu. Sesuatu yang belum pernah ia bayangkan
sebelumnya. Suara-suara binatang didahan pohon itu membuat damai dan tenang
hatinya.
Kadang rani berpapasan dengan ibu-ibu yang pergi ke kebun
atau ke sawah untuk tandur. Atau kadang berpapasan dengan bapak-bapak dengan
motor trail nya yang sarat dengan berkarung-karung rumput.
“itu untuk pakan ternak. Sebagian besar penduduk di sini berternak sapi dan
domba garut.” Terang pak kades ketika ditanya perihal itu.
Rani adalah seorang mahasiswi yang sedang praktik KKN dari
salah satu perguruan tinggi di kota. Dia bersama dua temannya ditempatkan di
daerah terpencil di wilayah bandung barat. Kedua rekannya, aisyah dan siwi KKN
di sebuah Mts di kota kecamatan. Sedangkan ia di sebuah sekolah dasar terpencil
di daerah perkebunan karet. Letaknya lumayan jauh dari kantor kecamatan. Untuk masa
KKN ini rani tinggal di rumah pak kades di kantor kelurahan. Beruntung bu kades
sangat baik dan ramah. Apalagi bu kades juga seorang praktisi pendidikan yang
juga membuka TK di kantor kelurahan. Kadang rani sering berdiskusi dengan bu
kades masalah pendididkan. Jadi rani tak pernah merasa kesepian walau pun ia
sulit berkomunikasi dengan keuarga dan teman-temannya.maklum,jaringan seluler
lup-lep di daerah pedalaman seperti itu.
Rani kini telah berada di tepi sungai cileuwi. Airnya tanpak
keruh setelah semalaman turun hujan yang cukup deras.
“nyebrang neng.”ujar seorang penyewa rakit dengan senyum
ramahnya.
Rani mengagguk dan segera menaiki rakit yang menepi. Perlahan
rakit itu menyebrangi sungai lebar yang kata orang-orang kampung dalamnya
sampai tiga leunjeur awi.
Rani menyerahkan beberapalembar uang ribuan dan turun dari
rakit.tak lupa megucapkan terimakasih kepada tukang sewa rakit tersebut.
Sebenarnya terdapat sebuah jembatan gantung di atas jembatan
ci leuwi.konon katanya, jembatan itu dibangun pada saat zaman penjajahan belanda. Namun dua minggu yang lalu
ambruk dan rusak permanen sehingga tidak
bisa digunakan lagi. Padahal dua desa
itu menghubungkan dua desa yang berdekatan. Kini warga hanya bisa mengandalkan
rakit bambu yang disewakan beberapa
warga. Terutama warga desa sebrang sungai yang punya urusan ke kota kecamatan.
Rani kini berjalan di atas jalan setapak yang terjal dan
becek. Kalau tidak hati-hati saat melangkah bias-bisa ia bias terpelset dan
jatuh di atas lumpur-lumpur sisa hujan semalam. Jalan setapak yang bertanah
pejal dan lumpur yang lumayan itu membuat rani cepat lelah. Rani merasakan
pegal-pegal di telapak kakinya.ia mendongak dan ia bias melihat bangunan
sekolah itu di pinggang bukit pasirawi. Ia menghela nafas dan kembali
melanjutkan langkahnya.
Setelah beberapa menit berjalan dengan nafas yang memburu
akhirnya rani sampai di tanah lapang tempat sekolah itu berdiri. Sebuah papan
kayu dengan cat pudah terpancang di depan ujung jalan setapak satu-satunya yang
menuju kesekolah itu. Walau pun satnya luntur tapi masih bias terbaca jelas
oleh mata yang benar-benar masih normal.
SDN LEUWISARI
Sekolah dasar itu sudah lenggang . Anak-anak
sudah memulai pelajaran pertama mereka. Rani segera menuju ruang kantor yang
merangkap sekaligus sebagai ruang perpustakaan dan gudang. Tak ada ruang kepala
sekolah atau ruang UKS seperi sekolah-sekolah lainnya. Dan seakan-akan sebuah
kolerasi yang sepadan, jarang ada anak yang sakit yang memerlukan perawatan dan
obat-obatan lengkap UKS. Jika ada anak yang sakit cukup diberi obat murahan
yang disediakan di kantor atau pulang ke rumah dengan diantar temannya. Simple.
Begitu juga dengan kepala sekolahnya. Pak arpan namanya. Selain
sebagai kepala sekolah,iajuga merangkapsebagai guru bahasa sunda, guru agama
dan guru olahraga. Benar-benar multi talent dia.
“jalannya becek ya the rin.”ujar bu khodijah, guru kesenian
dan pupuh yang selalu tersenyum ramah.
“iya bu. Saya hamper jatuh tadi. Semalam mah hujannya ageing
pisan.”jawab rani.
“teh rani mengajar bahasa Indonesia di jam ketiga?”Tanya bu
khadijah sembari melihat jadwal di kertas karton kuning yang tertempel di
dinding.
“iya.”
“assalamualaikum.”sapa rani ketika tiba di ruang kelas.
“waalaikum salam.”jawab anak-anak itu serempak. Mereka mendadak
duduk tertib dan terdiam setelah sebelumnya gaduh dan kejar-kejaran di
kelas.maklum,mereka masih kelas tiga.
Rani duduk di kursinya dan menyapu wajah-wajah lugu itu
dengan tatapan cerah dan senyum merekah.
“anak-anak. Sebagaimana yang ibu tugaskan kemarin. Sekarang kumpulkan
karangan kalian. Karangan apa coba.”
“karangan tentang kegiatan liburan semester bu.”jawab anak-anak serempak.
“karangan tentang kegiatan liburan semester bu.”jawab anak-anak serempak.
“ya, sekarang kumpulkan karangannya.
Tanpa menunggu lama.kini sudah terkumpul berlembar-lembar
kertas dengan tulisan tangan mereka. Sesaat
rani mengamati kertas itu dan mengambil sebuah kertas.” Coba asep bacakan
karangannya.”
Seorang anak laki-laki berambut keriting dan bertubuh tirus
dengan malu-malu maju ke depan kelas. Teman-temannya tersenyum melihat dia
celingukan. Tanpaknya ia masih merasa tak yakin untuk menceritakan ceritanya di
hadapan bu guru rani dan teman-teman sekelasnya.
Rani menyerahkan
kertas itu untuk dibacakan asep. Asep menerimanya dengan tangan gemetar dan
menatap rani dengan tatapan sangsi.
“ayo, bacakan. Biar teman-temanmu tau apa saja kegiatanmu
waktu libur. Pasti mereka penasaran.”
asep masih terdiam.
asep masih terdiam.
“kalian penasaran kan sama cerita asep?” pancing rani kepada murid-murid lainnya.
“YA!!.”jawab mereka serempak. Asep menarik nafas dan mulai
membaca dengan terbata-bata.
“pada liburan kemarin aku dan teman-teman ngojay di sungai
cileuwi. Kami memancing ikan dan ngaliwet bersama. Setelah itu kami pergi ke
gunung untuk mencari lebah madu. Biasanya kami mendapatkan srang lebah madu di
pohon-pohon karet dan pohon jati di pasirawi.
Asep membaca karangannya hingga selesai. Dilanjutkan anak-anak
lainnya. Cerita mereka bermacam-macam dan mengasyikan. Mereka bercerita tentang
berburu jangkrik di padang ilalang saat bulan purnama, memetik buah-buahan di
kebun, ikut tandur di sawah bersama emak mereka tau ikut nyadap karet dengan
bapak mereka di psairawi.
Rani tersenyummendengar cerita-cerita mereka. Ya, mereka
benar-benar hidup bersama alam. Dibesarkan di alam dan hidup dari alam itu
sendiri. Karena merekajuga bagian dari alam itu sendiri, begitu pikir rani.
Jika seandainya rani menyuruh membuat karangan di sekolah
dasar kota pastinya lain lagi ceritanya. Anak-anak kota buta dengan alam yang
masih benar-benar asli dan perawan. Mereka hidup dijejali dengan hal-hal yang
serba instan dan modern. Mereka tidak berbudaya dengan alam, tapi berbudaya
dengan teknologi dan kemodernan yang kadang tak ramah dengan alam dan
lingkungan.
Anak-anak itu berebut menyalami dan mencium tangan rani. Sejurus
kemudian berlarian dan menggendong tas denan buku seadanya. Bahkan tak sedikit
yang tak membawa tas.kaki-kai mereka hanya memakai sandal jepit. Bukan memakai
sepatu seperti layaknya anak-anak sekolahan pada umumnya. Bahkan jika saat
musim hujan seperti ini mereka lebih memilih bertelanjang kaki. Justru dengan
begitu kaki mereka akan semakin leluasa dan lincah menjejak tanah-tanah becek
dan berlumpur.
Rani segeramenyandang tas kulitnya dan memasukan sepasang
sepatunya ke dalamkantong kresek yang sudah ia siapkan sejak berangkat tadi. Sulit
baginya berjalan di jalan setapak menurun dengan lumpur yang mendominasi dengan
memakai sepatu.
Rani mulai menjejakan kakinya di tanah merah berlumpur. Dilihatnya
anak-anak didiknya berjalan di pematang-pematang sawah berwarna kecokelatan di
bawah sana.diantara hamparan sawah yang menghijau dan terbelah dengan sungai
cileuwi yang mengalir dengan deras.
Sayup-sayup rani mendengar mereka menyanyikan sebait tembang
sunda diantara langkah-langkah riang mereka.
Indonesia gemah ripah loh jinawi
Alam endah hejo ngemploh sugih mukti
Subur tutuwuhan, beunghar pepelakan
Daun heo ngemploh karaharjan lemah cai
Bait tembang yang menggambarkan tentang alam Indonesia yang hijau subur. Yang kaya dengan beraneka
tumbuh-tumbuhan dan selalu memberikan penghidupan yang mensejahterakan.
Tiba-tiba rani teringat kota tempat tinggalnya. Ia teringat
bukit di sebelah utara kotanya yang smakin gundul. Ia masih ingat dengan banjir
yang memecah tanggul dan menggenangi kampong.
Duh, apakah lagu itu masih cocok disebut sebagai ilustrasi
keadaan alam Indonesia? Ciliwung sudah lama tercemar. Citarum apalagi.kini kita
yang dijuluki sebagai kota kembang,kota bandung yang dilingkung gunung menjadi
langganan banjir tiap hujan tiba.
Tapi sudah sepantasnya anak-anak itu menyanyi tembang
tersebut. Menyanyikan tentang keindahan alam. Karena ternyata disini alam asih
hijau dan permai dan masih nyingkur di pedalaman. Dari pinggang bukit pasir awi
rani dengan leluasa menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru alam.sawah-sawah
yang menghijau bagai hamparan permadani yang dijaga gunung-gunung dan bukit nan
kokoh dan sama hijaunya. Hamparan kebun the,kebun karet dan jagung di puncak
dan pinggang bukit memanjakan matanya. Di daratan bawah sana, rani melihat
sungai cileuwi mengular dan mengalir tenang dari hulu bukit cileuwi. Rani benar-benar
tersihir dengan keindahannya.ia mencintai desa yang bersahaja ini.
Rani terus melangkah diantara butir-butir peluh yang menuruni
dahinya. Ditemani senandung alam yang mengantarnya pada kedamaian. Kicauan burung
dan tonggeret kembali mengantar langkahnya.sementara lagu anak-anak tadi masih
terngiang-ngiang di benaknya. Senandung alam yang begitu sempurna. Rani berjanji
akan mewujudkan semua itu dikotanya bila ia bias. Dan dimulai dari hal-hal
terkecil saja.
Husni mubarok
Padaherang, 02 januari 2013
“
No comments:
Post a Comment