TAK disangka-sangka, rupanya yang dimaksud
kejutan oleh Arti adalah kedatangan
Tante Viola dari Jakarta. Tante Viola adalah suami Om Rendi, sepupu bapak dari
pihak kakek.
Kenapa
dibilang kejutan? Tentu saja ini sebuah kejutan buat Nurani dan adik-adiknya.
Ini adalah kedatangan yang pertama setelah Om Rendi meninggal dunia akibat
kecelakaan lima tahun silam. Walau tidak sepenuhnya dekat dan akrab,
setidaknya, Nurani bisa merasakan kepedulian Tante Viola dengan berkunjung ke
kampung untuk menemui sepupunya. Mungkin saja Tante Viola meninggalkan
kesibukannya mengurus butik dan hal-hal
lainnya hanya untuk menengok saudara jauhnya itu.
Dan hal lain
dari kejutan itu adalah bingkisan-bingkisan yang tak pernah mereka duga
sebelumnya. Baju-baju bermerk yang masih baru, sepatu dan makanan-makanan yang
sengaja Tante Vioa,bawa buat mereka bertiga.
Nurani
merasa sangat senang melihat binar mata kedua adiknya ketika baju baju baru itu
dipakai adiknya.
Malam masih
belum larut ketika Nurani terlibat percakapan yang tiada habisnya bersama Tante
Viola. Arti dan Dani sudah tertidur pulas setelah makan malam tadi. Mereka
kekenyangan menghabiskan dua ikan bakar yang mereka masak sejak sore tadi. Dan
ini merupakan salah satu bentuk kebaikan Tante Viola juga. Suatu keberkahan
tersendiri karena dengan kedatangannya mereka bisa makan enak. Tante Viola
memberi mereka uang untuk membeli bahan-bahan makanan yang enak dan tentunya
lauk yang membuat perut mereka merasa dimanjakan setelah sekian lama hanya
makan dengan yang itu-itu saja. Apa lagi kalau bukan sambal terasi dan ikan
asin.
Tadi pagi
Tante memberi mereka sejumlah uang untuk jajan dan membeli ikan mas untuk makan
malam mereka. Sorenya, Dani begitu antusias menyalakan arang untuk memanggang
ikan. Sementara Arti menggerus bumbu
dapur.
*****
Tante Viola
menyalakan rokoknya yang kedua. Dan nurani baru tahu bahwa Tente Viola adalah
seorang perokok.
“Jadi kamu
selama ini bekerja di sawah Tuan Samsuri sebagai buruh rambet?’ Tanya
Tante Viola. Tangannya menarik resleting jaketnya supaya lebih rapat. Udara
malam desa memang terasa dingin untuk orang kota seperti dirinya.
“Ya, kalau
saya tidak bekerja siapa lagi yang membiayai sekolahnya Dani.” Jawab Nurani.
Sementara tangannya sibuk melipat baju-baju jemuran yang sudah kering.
“Ada korek?’
Tanya Tante Viola. Ia mengeluarkan rokok kretek yang ketiga dari bungkusnya.
Puntung yagn ia hisap tadi telah padam apinya.
“Ada.”Nurani
beranjak hendak mengambil korek yang dipinta
Tantenya.
‘Cape lah
bekerja di sawah seharian.”ujar Tante Viola.”kau panas-panasan tiap hari Nur.”
Nurani
kembali dan meyerahkan korek kepada tantenya.”Tak jadi masalah. Semenjak keluar
SD saya sudah biasa membantu emak untuk menjadi buruh di sawah.
Tante Viola
memantik api dan menyalakan rokoknya.”Nggak mencoba jadi TKW seperti
gadis-gadis desa yang lainnya? Kan gajinya lumayan tuh.”
“Enggak.”
Kini asap
putih kembali membubung dari kedua belah bibirnya yang bergincu tebal.”Kenapa
tidak?”
“Yah, saya
tidak berani meninggalkan Arti dan Dani. Biar bekerja di kampung saja sekalian
mengurus adik-adik.”Tante Viola masih asyik dengan asap rokoknya. Nurani kini
beralih pada pekerjaan lainnya. Ia kini mulai menjahit baju Dani yang robek
karena tersangkut pagar saat mengejaar layang-layang kemarin sore.
Untuk
beberapa saat lamanya mereka kembali terdiam. Serangga malam mulai meningkahi
malam yang sudah semakin larut.
Tante Viola
tanpak sedang memikirkan sesuatu. Lalu matanya menatap nurani penuh
arti,”Bagaimana kalau kamu ikut Tante ke Jakarta.”
Nurani
menghentikan jahitannya dan menatap tantenya.”ke Jakarta?”
“Iya. Kamu
nanti bekerja di kafe Tante. Dan kalau hari Minggu jualan teh botol dekat
monas.”
Nurani
terdiam. Ia masih ragu dengan tawaran dari tantenya barusan.
“Gimana?
Kamu mau nggak?”
Nurani
kembali menatap sangsi.”Kan saya udah bilang tante, saya nggak bisa ninggalin
adik-adik. Saya sudah berjanji untuk menjaga mereka di hadapan emak sendiri
sebelum kematiannya.”
Tante viola
kembali terdiam.
“Mereka masih
membutuhkan bimbingan dan perhatian saya Tante.”
Tante Viola mengangguk dan tersenyum.”Kamu
bisa menitipkan mereka di paman Salim kan?”
Nurani
tersenyum kecut.”Saya rasa itu bukan tindakan yang bijaksana Tante. Mungkin
tante tidak tahu bagaimana kehidupan paman Salim. Mereka sama miskinnya seperti
kami. Dengan mengurus tiga anaknya saja paman salim sudah merasa kewalahan.
Apalagi nanti jika ditambah dengan dua keponakannya.”
Tante
mengangguk paham. “Kamu tidak punya lagi paman selain Salim kan?”tanyanya meyakinkan.
“Tidak.
Paman saman satu-satunya adik bapak. Paman dan bibi dari pihak emak di
Banjarmasin semua.
“Ya. Tante
juga pernah kesana dan bertemu dengan beberapa kerabat emakmu. Sayangnya mereka
tak pernah berkunjung ke sini.”Tante Viola melepaskan gumpalan-gumpalan asap
putih dari mulutnya. Kemudian ia benamkan puntung ketiganya ke dalam asbak yang
dulu biasa digunakan abah membuang abu cerutu. Hmm, apa pun barang yang tersisa
di rumah itu selalu membawa kerinduan dan kenangan demi kenangan yang tak
pernah tertahankan. Dan kerinduan selalu menyertai kenangan-kenangan itu
sendiri. Pun ketika Nurani melihat asbak itu. Matanya kembali berkaca-kaca dan
ia bisa melihat bagaimana bapaknya membuang puntung di asbak.
“Kau
menangis, ada apa?”
Nurani
menghapus butir air mata di sela-sela matanya.”Ah tidak. Saya jadi teringat
bapak melihat tante merokok.”
Tante Viola
tertawa mendengarnya.
*****
“Nurani kamu
jangan terombang-ambing dengan kesedihan. Kamu harus bangkit dari segala
penderitaan.”
Nurani
terdiam. Hatinya membenarkan apa yang dikatakan tantenya.
“Tante ingin
membicarakan sesuat hal kepadamu Nur.” Ia menatap nurani tajam. “dan ini
menyangkut masa depan kamu dan adik-adikmu.”
Apa itu?”
Beberapa
detik lamanya tante viola terdiam.” Bibi yakin, kamu sebaiknya ikut bibi ke
Jakarta. Adapun mengenai Arti dan Dani bisa disiasati.”
Nurani akan
berbicara ketika akhirnya tante Viola memotongnya.”Tenang. kamu ke kota bukan
hanya pindah tidur dan makan saja. Tapi kerja!”
“Nanti kamu
aku gaji perbulannya dan kamu bisa membiayai adikmu sekolah.”
Nurani
terdiam.
“Jangan
terlalu memikirkan adikmu.”Tante Viola seakan-akan tahu arah pikiran Nurani.
“Paman Salim
pasti akan merasa kerepotan Tante.”
“Tak
masalah.”potong Tante Viola.”Kamu bisa mengirimi pamanmu uang tiap bulan secara
rutin. Tante yakin, pamanmu tidak akan merasa keberatan.”
Dan pada
saat itulah Nurani mulai tertarik dengan tawaran tantenya untuk ikut ke
Jakarta. Walau tak bisa dipungkiri hatinya masih menyimpan kegamangan. Seumur
hidupnya ia tak pernah ke jakarta. Ia tak pernah membayangkan bahwa suatu saat
nanti ia kan pergi jauh meninggalkan kampungnya. Jakarta sangatlah jauh untuk
ukuran gadis desa seperti dirinya. Nurani masih meraba-raba, seperti apakah
kehidupan di Jakarta. Bagaimana orang-orangnya? Apakah jika seandainya ia ikut
kemauan tantenya, ia akan betah tinggal disana? Yang Nurani tahu, jakarta
adalah kota metropolitan Ibukota
Indonesia.itu saja.
“Bagaimana
Nur?”
Nurani
tersenyum malu. “Saya masih ragu Tante.”
“Walah nur,
kamu teh harus cerdas dalam memilih prioritas. Tante yakin kamu akan lebih baik
jika ikut Tante. Kamu bisa bantu Arti untuk bisa ngelanjutin sekolah dari gaji
bulananmu.”
“Iya juga
sih.”
“Ngomong-ngomong
upah ngrambetmu di sawah samsuri berapa?’
Nurani
kembali tersipu.”Gak tentu, paling besar dua puluh ribu dalam sehari.”
“Tuh kan.
Mendingan kerja di kafe tante. Si Ninon sama si Denok bibi gaji lima puluh ribu
dalam sehari.”
Nurani
menatap Tante Viola penuh minat.
“Begitu juga
kamu. Bibi akan memberimu gaji ;lima puluh ribu setiap harinya.”
Dan sekarang
nurani sudah merasa yakin bahwa memang ia harus ikut Tante Viola ke Jakarta. Ia
yakin ia akan menjemput nasib baiknya disana dan bisa membuat kedua adiknya
tersenyum bahagia. Ah, imajinasinya kini semakin melambung dan menerka-nerka
semua tentang kota Jakarta yang sering diceritakan tantenya.
----
Bagaimana kisah
selanjutnya? Apakah Nurani benar-benar di Jakarta? Apa yang dia lakukan dan
temui di kota metropolitan itu? Wait n see part selanjutnya ya
No comments:
Post a Comment