Ruzan menghela nafas panjang. Tatapannya menerawang ke luar jendela bis yang membawanya pergi menuju kampung halaman. Dia pulang hanya untuk mencari ketentraman dan ketenangan batin yang selama ini ia rasakan begitu menyesakan dada.
Sudah beberapa hari lamanya ia begitu merasakan kesempitan
yang begitu kentara. Kesempitan menguasai seluruh relung hati. Rasa hampa juga semakin
menderanya, setelah percakapannya dengan Fatih, sahabat yang ia anggap bukan
hanya sebagai seorang sahabat saja, tetapi juga sebagai…ah! Ia muak untuk
mengatakannya.
“Ruzan! Aku sadar apa yang selama ini kita jalani adalah hal
yang paling bodoh dan nista untuk hidup sebagai hamba yang mengaku
bertuhan,” ujar Fatih di suatu senja. Saat itu mereka berdua tengah menikmati suasana
sore dari teras kosan mereka.
Mereka sama-sama sebagai perantau, bekerja di pabrik tekstil
milik seorang peranakan cina. Ruzan dari Garut, sementara Fatih dari Kalianda.
Mereka sama-sama merantau ke Ibukota dengan tujuan yang sama. Mengadu nasib dan
berharap bisa membantu orang tua dan adik mereka yang butuh biaya untuk
sekolah.
“Seharusnya kita meyadari bahwa yang kita jalani selama ini
adalah kesalahan besar yang tidak seharusnya terjadi,” ujar Fatih lebih lanjut.
“Aku tahu!” seru Ruzan sembari menundukan kepalanya. Ia tak
berani menatap mata Fatih. Sebenarnya ia tak ingin dan tak pernah berharap
perbincangan ini bakalan terjadi.
“Aku tak ingin menjadi makhluk terkutuk layaknya kaum Luth
itu.” Nada suara Fatih semakin tajam.
Ruzan terdiam.
“Dan aku ingin mengakhiri semua itu dengan…” Fatih tersenyum
dengan mata yang menerawang awan gemawan yang berarak di langit selatan, "Ya, aku mencoba untuk menjalin hubungan yang serius dengan adik kelasku waktu SMP
dulu.”
Ruzan tak mampu menatap Fatih. Yang ia tahu hatinya semakin
membuncah dengan gemuruh kekecewaan. Panas di hatinya seakan-akan menjalar dari
ubun-ubun hingga ujung kaki. Ia kesal, marah, malu, sedih, dan merasa tak berguna lagi
sebagai manusia. Ia benci dengan kenyataan yang ada, semua kenyataan yang ia
terima; kenyataan Fatih menyukai adik kelasnya dan mungkin tak akan lama lagi mereka merayakan pesta perkawinan, kenyataan bahwa ia tak akan lagi menemukan Fatih sesuai dengan apa
yang ia harapkan, kenyataan bahwa ia abnormal, kenyataan bahwa ia tak bisa
seperti Fatih. Uh! Kalau seandainya waktu bisa diputar dan nasib bisa ditawar,
mungkin Ruzan lebih memilih untuk tidak dilahirkan di dunia saja dan tidak
punya eksistensi apa-apa di dunia ini.
Tapi apa gunanya berandai-andai dengan takdir? Emaknya pernah
bercerita bahwa itu dilarang oleh Gusti Allah dan bisa membuat kita gila. Dan
memang keyataannya Ruzan hampir setengah gila dengan memikirkan hal ini.
“Jangan kau salahkan takdir dan jangan kau berandai-andai
dengan takdir yang masih abu-abu. Yang harus kau lakukan adalah merubah semua
itu dan bertawakal kepada Gusti Allah dengan segenap usahamu yang maksimal.
Yakinlah bahwa Gusti Allah akan mengubah keadaan hamba-Nya jika hamba itu
sungguh-sungguh dalam pengharapan. Karena Dia Maha Mendengar doa hamba-hamba-Nya.”
Kata-kata berpetuah itu keluar dari mulut emaknya saat ia
mengeluh dan merengek karena tidak dibelikan sepatu baru pada tahun ajaran baru
sekolah belasan tahun lalu. Padahal Ruzan sudah sepenuh asa untuk membahagiakan kedua orang tuanya
dengan nilai-nilai rapornya yang diatas rata-rata. Ruzan berharap oarng tuanya akan senang dan terbujuk untuk membelikannya sepatu baru. Tapi apa daya, orang
tuanya hanyalah buruh tani biasa yang tak pernah punya uang lebih. Tapi emak
dan bapaknya selalu berpikir optimis dalam kehidupan mereka yang serba sulit.
Tanpaknya nasihat emak dulu masih juga menjadi cambuk ampuh untuk membangunkan
hatinya yang terlelap dalam kegelapan yang selama ini ia jalani.
“Kenapa kau terdiam seperti itu?” Tanya Fatih, menatapnya
tajam.
Ruzan terperanjat dari lamunannya.
“Kau tidak menerima kenyataan ini?” selidik Fatih dengan
suara yang lebih tinggi. "Kau tak rela aku berubah dari semua ketololan ini?”
Ruzan tersenyum sinis dan menggeleng lemah. Kemudian tertawa
sumbang. “Tidak! Kau berhak memilih jalanmu. Aku akan
berusaha untuk senang mendengarnya.”
Fatih menghela nafas panjang. Sementara Ruzan semakin
merasakan gejolak di hatinya. “Tapi aku tak tahu apa yang harus aku lakukan!”
serunya sembari membalikan tubuhnya.
Ia kembali menerawang lelangit senja yang mulai berpoles jingga. "Aku tak bisa menemukan jalanku. Aku iri kepadamu Fatih, kenapa kau bisa berubah
sementara aku tidak?”
”Apa kau bilang?” alis tebal Fatih yang nyaris
bertautan. "Perubahan itu karena keinginan kita sendiri untuk berubah. Bukan datang sendiri. Camkan itu!”
Ruzan terdiam.
“Aku selalu mendoakanmu,” Pungkas Fatih dan masuk ke dalam
kosan, sementara Ruzan menyusul dari belakang.
Ruzan memperhatikan Fatih yang tengah mengepak pakaian dan
barang-barangnya ke dalam koper. Yang tersisa hanyalah sebuah lemari yang kini
kosong melompong. Besok Fatih akan pulang ke kampungnya demi menuruti
permintaan ibunya untuk segera menikah dan menggarap sawah peninggalan sang bapak. Ditambah memelihara satu ekor sapi hasil menabung selama dua tahun.
“Kau yakin akan pulang besok?”
“Ya," jawab Fatih pendek. Tangannya sibuk memasukan helai
demi helai pakaiannya.
“Bukannya pemuda seusiamu masih terlalu muda untuk menikah?”
Fatih berhenti sejenak dan menatap Ruzan. "Apa salahnya?”
Ruzan kembali terdiam.
“Daripada aku terus berkubang dalam ketololan seperti itu, lebih baik aku segera menikah dan menjadi pria normal seutuhnya.
Maaf jika kau merasa tersinggung," ujar Fatih dengan nada tajam.
Ruzan tahu Fatih marah dengan pertanyaannya. "Ya, maafkan
aku. Sepertinya aku harus bangga dengan keberuntunganmu itu.”
“Ya, aku memang beruntung bisa sadar dari kebodohanku. Tapi
kau akan lebih beruntung dariku jika kau berhenti mencintaiku layaknya….”
“DIAM!” seru ruzan dengan tatapan penuh amarah.
Fatih terperanjat ketika dilihatnya ruzan berlari dan
berkata.” Lebih baik aku mati saja.”
***
Ruzan menyingkapkan gorden jendela bis di sampingnya.
Matahari telah sepenggalah tingginya dan ia bisa merasakan kehangatan di jendela itu.
Sehangat ketentraman yang kini dimiliki hatinya. Sehangat rasa tenang yang
menggelora di segenap rongga dadanya.
Ruzan yakin, rasa bahagia itu akan begitu purna ketika ia
bisa melihat wajah keriput emaknya yang selalu tersenyum ikhlas dikala ia
pulang. Wajah adik-adiknya yang tersenyum sumringah melihat oleh-oleh
alakadarnya yang ia bawa. Dan sapaan tulus Haji Romli, guru ngaji semasa kecil
di surau dulu.
Ah, Ruzan tak sabar untuk segera menjejakan kaki di kampung
halamannya. Sekali lagi Ruzan menghela nafas panjang. Benar katamu Fatih, aku
akan lebih beruntung darimu jika aku menyadari bahwa selama ini jalan hidup
kita salah.
Kembali berkelebat kejadian dua hari yang lalu dalam
pikirannya. Tepat sebelum Fatih pulang. Ketika itu Ruzan menunggu kereta fajar
utama melintas di dekat rumah kosannya. Ketika didengarnya suara itu semakin
mendekat ia berlari dari kosan menuju rel dan merentangkan tangan, menantang
malaikat maut –yang mungkin- siap mencabut nyawanya.
Ia pejamkan matanya, menunggu detik demi detik yang seakan
memakan ketakutannya. Beberapa detik setelah itu, Ruzan merasakan sebuah
terjangan. Tapi ia berharap itu hanya perasaannya saja. Karena yang ia rasakan
bukanlah hantaman kereta api seperti yang ia harapkan. Akan tetapi, justru ia merasakan
sekelebat sosok menubruknya dari samping secara tiba-tiba, hingga membuatnya
berguling-guling di semak belukar yang landai.
Ruzan memicingkan kedua matanya.
“GILA! KAU SUDAH GILA RUZAN!” Sebuah suara yang mencoba
mengalahkan suara kereta kembali mengumpulkan segenap kesadarannya.
Ruzan terengah-engah dengan peluh yang membanjiri tubuhnya.
Ia baru merasakan andrenalin yang memuncak seperti saat itu. Sementara ia
melihat Fatih dengan ekspresi yang sama sepertinya.
”Kau gila Ruzan!”
“Aku hampir mati, Fatih?”
Fatih tak merespon dan sibuk mengatur nafasnya yang memburu.
. ***
"Jangan sekali-kali kamu menantang maut lagi, Ruzan!”
ujar Fatih. Sementara di tangannya terdapat kopor yang membengkak karena
disesaki barang-barang.
Ruzan tersenyum hambar,” Aku juga akan pulang.”
“Kapan?”
“Besok.”
“Dan kamu kan meninggalkan pekerjaanmu seperti halnya
diriku?”
“Tidak. Aku hanya ingin pulang untuk sementara.”
Fatih hanya tersenyum kecil. "Tapi aku berharap kamu akan
berubah, Ruzan.” Entah yang keberapa kalinya Ruzan mendengar kalimat yang sama
meluncur dari mulut Fatih. Yang pasti, akhir-akhir ini Fatih selalu mengucapkan
kata-kata itu dan Ruzan selalu menanggapinya dengan setengah hati.
Awalnya Ruzan takut Fatih akan membencinya dan tidak
mempedulikannya karena dia belum berubah. Tapi rupanya anggapan Ruzan salah
besar. Fatih telah membuktikan bahwa dia adalah seorang sahabat yang mempunyai
hati yang ikhlas. Bukan hati yang dipenuhi nafsu angkara sebagaimana hatinya.
Setidaknya hal itu sudah cukup bagi Ruzan ketika Tuhan
menjadikan Fatih sebagai perantara Tuhan untuk menyelamatkan nyawanya kemarin sore.
“Aku tetap sahabatmu, Ruzan. Dan memang seharusnya kita hanya
sebagai sahabat karib. Tidak lebih dari itu.”
Ruzan tersenyum dan menganggukan kepalanya.
“Prabumulih! Prabumulih!” seru sang kondektur membuyarkan
lamunan dan kantuk yang mendera para penumpang.
Pun dengan Ruzan. Ia tergeragap dari kantuknya dan langsung
berseru. “KIRI! KIRI!”
Bus berhenti tepat di pertigaan jalan berbatu yang mengarah
ke kampung. Ruzan turun dari bus dan menyampirkan tasnya di bahu sebelah
kiri.
“Ojeg kang?" seorang tukang
ojek menawarkan jasa.
Ruzan menampik tawarannya. Tak perlu repot-repot naik ojek
untuk sampai ke rumahnya. Baginya jarak satu kilometer bukanlah jarak yang
terlalu jauh untuk ditempuh dengan jalan kaki. Lagi pula ia ingin merasakan
suasana kampung yang sudah dua tahun ini ia tinggalkan. Ia ingin merasakan
udara pagi yang menguarkan aroma jerami basah dari sawah-sawah sepanjang jalan.
Dan ia paling suka mengenang masa kecilnya dengan aroma
sederhana itu. Ruzan mendengar kicau burung kenari yang sedang berloncatan di
dahan pohon-pohon randu. Ruzan melihat bagaimana burung-burung jantan sedang berebut betina di musim kawin.
Sepasang burung itu tiba-tiba melintas tepat dihadapan
Ruzan. Ya Allah, burung pun terbang berpasangan. Betapa jauhnya hamba dari
tanda-tanda kebesaran-Mu selama ini.
Sementara ia menikmati kicauan burung kenari itu hingga tak
terasa sudah menjejak halaman rumah panggungnya. Senyum tulus wajah keriput
emak sebentar lagi akan menyambutnya.
Cibeureum , 28 April
2014
Teruntuk ER, AZ, dan TO semoga kalian menemukan secercah
harapan di lembar kehidupan baru kalian
No comments:
Post a Comment