24 Apr 2014

Rindu yang Tak Lekang


Aku selalu menulis di diary hitamku yang sehitam mimpi-mimpiku. Sehitam rindu yang tak pernah lapuk,seiring zaman yang semakin  kejam memenjaraku dalam kesunyian. Selalu kutulis di akhir halamanku ; diary, aku merindukan mama dan papa. Halaman-halaman itu semakin buram, seburam mataku yang berlinang air mata. Maka setelah itu aku selalu menutup diary hitamku dan kembali asyik dengan duniaku yang sunyi.

Aku terbangun dari mimpi panjangku ketika kudengar suara ribut  dari ruang sebelah. Disusul suara tembakan membahana. Satu tembakan menyusul suara tembakan yang selanjutnya. Aku terperanjat dan segera berlari ke ruang tamu. Tiba-tiba kubaui bau anyir darah. Baru kali ini aku membaui bau anyir yang sangat pekat menyengat hidung. Kuikuti sumber bau itu. Bau anyir itu menuntunku menuju kamar mama yang tak terlalu jauh dari ruang tamu. Pintu kamar itu terbuka beberapa centi. Lamat-lamat kudengar suara isak tangis seorang lelaki. 

Papa. 

Ya, itu suara Papa. Ada apakah gerangan? Aku tidak bisa memendam semua rasa penasaranku yang membuncah. Hingga kenop pintu kubuka, dan pada saat itulah aku melihat papa menangis dengan suasana yang begitu tragis. Di sudut ruangan kamar kulihat kengerian yang mencekam. Mataku menangkap dua sosok tubuh tak bernyawa. Tergeletak tak berdaya di atas lantai putih dengan genangan merah darah. Pekat. 

Salah satu dari tubuh belepotan darah itu adalah tubuh mamaku. Dan satu lagi, aku tak tahu pasti siapa dia. Seorang lelaki dengan pakaian yang nyaris telanjang. Darah bersimbah diamana-mana. Dari sanalah sumber bau anyir menyengat itu.

“PAPA!”

Papa mendongak dengan tatapan tak percaya. Aku berlari dengan berurai air mata. Aku benar-benar yakin Papa telah membunuh Mama. Papa seorang pembunuh! Aku berlari  keluar rumah  dengan air mata yang semakin menggenang di kedua pipiku. 

"Tunggu, Nak!"

Kutolehkan kepala dan kulihat Papa bergegas menyusul. Oh Tuhan, Papa mengejarku. Apakah dia juga ingin membunuhku?

Aku menghentikan langkah kakiku dan lututku gemetar memikirkan hal itu. Aku terduduk di atas rerumputan yang masih basah dengan embun pagi. Aku gemetar saat Papa mendekatiku. 

"Papa… ke-kenapa Ma-ma di- …” Aku tak sanggup menuntaskan kata. Lidahku tiba-tiba kelu. Papa meraih tubuh mungilku yang gemetar karena rasa takut. Dia mencium keningku dengan penuh sayang. Kurasai detak jantungnya dan gemetar  tangannya. Desah nafasnya dan air matanya membasahi punggungku. Papa membelai rambutku dengan penuh cinta.

“ Kenapa papa membunuh Mama?” Akhirnya, setelah pelukan hangat itu, lidahku tak lagi kaku. 

Papa menatapku sayu.” Tidak sayang, Papa tidak membunuh Mamamu. Mamamu setia  kepada Papa. Tetapi wanita itu mengkhianati cinta Papa. Itu bukan Mama yang selama ini papa kenal.”

'Tidak! Itu benar-benar Mama yang aku kenal,' batinku membanatah semua kata yang terlontar dari mulut Papa. Aku tak pernah mengerti dengan semua kata-kata Papa. Aku hanyalah bocah berumur belasan tahun yang tak tahu papa-apa. Aku suka pelukan Papa, tapi aku juga masih menginginkan belaian kasih Mama. Oh Papa…kenapa kau lakukan itu?

Setelah itu, Papa mengajakku untuk berkunjung ke rumah Nenek. Meninggalkan jasad Mama dan jasad 'entah siapa' yang tergeletak dan membisu di ubin rumah kami. Kata Papa, aku tidak boleh sedih. Jika dia mau, dia akan memberikanku Mama yang lebih baik dari Mama yang kukenal selama ini.

Sekali lagi, aku tidak paham apa yang Papa katakan. Tapi hatiku sakit karena harus melihat Mama dalam kondisi seperti itu. 

"Kamu jangan mengatakan kejadian ini kepada siapa pun. Termasuk kepada nenekmu." Pinta Papa. Suaranya tak lebih seperti ancaman. Aku mengangguk ketakutan. 


Sepanjang malam itu aku menangis dan Papa mendiamkanku karena dia juga selalu menangis sesering aku menangis. Itu yang aku tahu jika kulihat matanya sebak.  Nenek selalu bertanya kenapa kau selalu menangis. Papa menjawab bahwa aku sedang sakit. Ingin sekali aku mengatakan yang sebenarnya pada nenek, tapi Papa bilang, jika aku mengatakan hal yang sebenarnya, papa akan masuk penjara dan tidak akan bisa mengurusku lagi.  Nenek juga bertanya ada apa sampai pulang ke desa tanpa ada pemberitahuan dahulu. Dan kenapa pula Mama tidak ikut.

“Dia sedang ada urusan," jawab papa dengan suara bergetar. Sementara adikku selalu tertawa dan asyik dengan teman-temannya.

Aku masih ingat dengan kepergian kami bertiga. Papa, aku dan adikku meninggalkan rumah dengan tatapan curiga para tetangga. Curiga dengan keributan, suara tngisanku, atau wajah papa yang  misterius, barangkali. Maka sepanjang perjalanan itu menangislah aku. Sementara Papa mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi. Aku selalu terkesiap jika mobil melewati tikungan tajam atau jalanan menurun. Beruntung jalanan itu lenggang dengan kendaraan.

“Papa!!!” seruku memperingatkan. Aku tidak ingin mati konyol dengan cara menabrak bus dari arah berlawanan atau masuk ke dalam jurang yang dalam, atau...

“DIAM!!” Bentak Papa, memalingkan muka. Menatapku tajam. Mobil tiba-tiba direm mendadak sebelum menabrak bebatuan tebing  yang mencuat di kiri kanan jalan yang lengang. Papa memukul dahinya dan untuk kesekian kalinya dia kembali menangis sesenggukan. Aku tahu Papa tertekan dan shock dengan apa yang selama ini dia lakukan. Apakah Papa menyesal telah membunuh mama dan seorang laki-laki yang entah siapa?

Dua hari kami di desa nenek. Tiba-tiba saja datang beberapa orang polisi untuk menangkap Papa.

"Bapak Darma telah melakukan pembunuhan  dua orang sekaligus, termasuk istrinya dua hari yang lalu," terang seorang polisi ketika nenek bertanya pada mereka. Nenek shock dan tiba-tiba  tubuhnya mengelosor tak berdaya. Papa tanpak terdiam. Tatapan matanya sayu. 

Tanpa kuduga papa mengeluarkan sesuatu dari pinggangnya dan….

DOR! DOR! DOOR!

Suara tembakan kembali membahana. Telingaku berdenging. Adikku menjerit. Tetangga menjerit dan berdatangan dengan tatap ingin tahu sekaligus ngeri. 

Dua polisi meregang nyawa di teras  rumah nenek.  Aku membaui darah yang aromanya tak jauh beda dengan bau anyir tiga hari yang lalu. Papa telah membunuh empat orang  dalam  tempo lima hari. Papa memang seorang pembunuh! Rutukku dalam hati.

DOR!

Satu suara tembakan semakin membuat aku terbelalak tak percaya. Papa menembak sendiri kepalanya sebelum polisi lain menembak kedua betisnya. Kulihat darah menciprat. Tak hanya membasahi kaus putih yang Papa kenakan. Darah itu menciprati tembok, dinding, ubin dan jambangan. 

Kudengar pula teriakan adikku yan g tak ingin aku dengar.  Pandanganku gelap dan untuk selanjutnya aku tidak ingat apa-apa.

Beberapa hari setelah itu nenek jatuh sakit.  Aku benar-banar semakin menderita. Tanpaknya air mata telah habis untuk menangisi semua yang aku alami. Ingin sekali mulutku menyumpah papa dan mencerca mama yang telah membuat hidupku hancur dalam tempo yang begitu cepat.

Takdir berkata lain. Nenek meninggal dunia  karena penyakit jantungnya dan aku tahu, nenek meninggal dengan membawa kesedihan. Jika aku dibolehkan untuk memilih  antara hidup dan mati, maka aku lebih memilih mati saja.  Aku ingin menyusul Papa, Mama dan nenek yang selama ini menyayangiku. Hingga akhirnya Paman Salim membawa kaaku dan adikku yang masih balita, ke kotanya.

Paman Salim adalah adik papaku. Kupikir paman akan membawaku ke rumahnya. Tapi sungguh tak pernah kuduga jika kemudian mereka membawaku kembali ke rumah dimana Papa dan lelaki 'entah siapa' itu ditembak oleh Papa. Rumah kami. Rumah kenangan yang meninggalkan aroma getir yang tak berkesudahan. Aku tidak ingin kembali lagi untuk selama-lamanya. Aku ingin melupakan ketragisan itu.

Paman mencoba membujukku. “Dari pada paman harus mengeluarkan uang tiap bulan untuk mengontrak, lebih baik paman mendiami rumah Papamu. Insha Allah, semuanya akan baik-baik saja.” Itulah alasan paman setiap kali aku protes kepadanya.

“Kamu jangan mengingat-ngingat terus papa-mamamu, sayang. Kalian masih punya kami berdua yang menyayangi kalian," hibur Bibi Santi suatu hari ketika didapatinya aku menangis tergugu. Dan benar apa yang telah dikatakan bibi, mereka menyayangi aku dan adiku seperti orang tua terhadap anaknya sendiri.

Tapi kasih sayang itu tidak akan bisa meluruhkan kesedihan yang telah bersemayan di hatiku. Bayangan Papa dan Mama tak akan pernah lekang dari kedua pelupuk mata.

Potret Papa dan Mama kugantung di dinding dengan pigura yang indah. Mereka tersenyum bahagia. Papa merangkul mama bersama aku  dan adikku. Aku seperti tersedot oleh lorong waktu.

Lalu kenapa keceriaan itu harus berakhir dengan tragis? Kenapa mereka harus meregang nyawa di saat aku masih membutuhkan kehangatan kasih mereka? Mengapa mereka harus pergi disaat mereka belum cukup  tua untuk meninggalkan dunia? Mama meninggal pada usia 30 tahun dan papa 32 tahun. Paman dan bibi pernah mengambil pigura itu dan diam-diam membuangnya ke tong sampah tanpa sepengetahuanku . Tapi aku berhasil mengetahuinya dan aku mengambilnya kembali untuk dipasang di tempat semula. Lalu kutanya kenapa mereka membuangnya?

"Paman tak ingin  kamu murung dan selalu menangis dengan keberadaan potret itu."

Tidak! Aku akan mengenangnya, Paman. Aku akan mengenang kepedihan itu hingga akhir hidupku. Atau mungkin hingga aku bosan karenanya. Tapi sampai kapankah aku bisa bosan?

Dua tahun berlalu. Aku masih berteman dengan mimpi yang kukarang sendiri. Tentang Mama dan Papa dan tentang semua kepedihan yang kurasa.

Kadang aku tertawa bila mengenang  semua yang pernah aku alami bersama mereka berdua. Tertawa mengenang canda tawa, menangis  dan histeris bila malam menyergapku  ke dalam kesunyian yang semakin mencekam.

Tak ada yang bisa mengobati kesunyian dan rasa rinduku ini selain Papa dan Mama yang telah menambatkan semua cinta kasih itu di seluruh ruang hatiku.

Paman dan bibi merasa khawatir dengan kondisiku dan membawaku ke psikiater. Untuk apa aku dibawa kesana? Aku harus dibawa satu minggu sekali secara rutin. Jika masa tiga bulan belum ada perubahan aku disarankan dibawa ke rumah sakit jiwa karena aku di diagnosis paranoia.  Sejak saat itu aku tak pernah lagi percaya terhadap psikiater. Aku menganggapnya hanya seorang pembohong dan mulut besar. Itu asumsiku. Tapi parahnya paman dan bibiku lebih percaya terhadap psikiater itu ketimbang keponakannya sendiri.bah!
Tiga bulan setelah itu paman benar-benar membawaku ke rumah sakit jiwa.

“Paman! Aku tidak gila!”

Paman mengeluh panjang dan bibi mengusap air matanya,”sayang, tiap minggu kami akan selalu menengokmu. Kamu pasti akan rindu terhadap adikmu bukan?”

Tinggallah aku di lingkungan yang terasa asing bagiku, tempat yang benar-benar membuatku semakin frustasi setengah mati. Tak ada lagi potret mama dan papa. Hari-hariku kujalani dengan beban rindu  yang menyiksa perasaan.
“Paman, bawa potret itu kesini.”pintaku saat paman menengokku minggu berikutnya. Paman hanya mengangguk lemah. Namun tak pernah sekalipun paman membawanya.

Aku membenci semua penghuni rumah sakit jiwa . Kenapa pula aku harus hidup di tengah orang-orang seperti mereka. Apa salahku ? aku hanya merindukan kedua orang tuaku dan aku hanya menumpahkan rindu yang tak terperi itu dengan apa yang aku mau. Bukan apa kehendak paman dan bibiku. Palagi psikiater  pembohong itu.

Selalu kutulis surat untuk merteka-orangtuaku-.surat rindu yang tak akan pernah lekang dalam mimpi-mimpi sekalipun. Bila angin lewat, kurobek-robek secarik surat itu hingga menjadi serpihan-serpihan kecil. Biarlah angin yang berkesiut itu mengantarkan pesanku pada mama dan papa. Atau aku bakar surat itu dan kutabur abunya di kolam taman. Aku harap mereka menyampaikan rindu ini pada bumi sebagai  tempat terakhir orang tuaku bersemayam. Aku….ah, aku terlampau rindu.

Semua perawat di tempat ini sungguh menjengkelkan. Tapi tiba-tiba ada seorang berjilbab yangbelum pernah kujumpai sebelumnya. Mungkin ia perawat baru  di sini. Ia baik sebaik mamaku dulu. Mengajakku bercerita dan bercanda. Ia periang seperti periangnya papaku. Ia selalu mengajakku bermain dan seakan-akan ia adalah titisan dari kedua orang tuaku. Aku merasakan kehadiran mamaku disini.

“Apa ibu juga menganggapku gila?”tanyaku suatu hari.

Perempuan itu terperanjat mendengar pertanyaanku.”Tidak, kamu anak yang baik . siapa bilang kamu gila.”

"Kata orang-orang.”

Perempuan itu tersenyum dan mencoba meyakinkanku bahwa aku baik-baik saja. Dan aku percaya kepadanya, karena aku tahu, dia atak pernah berbohong sebagaimana berbohongnya psikiaterku dulu.

Suatu hari ia menemukan diary hitamku. Diam-diam dia membacanya dengan tuntas, lantas menatapku.”sayang, kamu… “dia tidak meneruskan kata-katanya dan tiba-tiba ia memelukku dalam kehangatan kasih sayangnya. Tiba-tiba aku merasakan pelukan mama.”mama…”

Perempuan itu mengangkat daguku”sayang, kamu tahu dunia ini belum berakhir. Kamu masih punya orang-orang yang menyayangimu. Jangan kau biarkan dirimu menderita seperti itu.”

“Aku hanya rindu mama dan papa.”

“Tapi kamu tak pernah sekali pun merindukan Tuhan yang telah menciptakan mama dan papa.”

“Karena Tuhan telah mengambil nyawa mama dan papaku.” bantahku.

“Tapi Tuhan telah memberimu kesempatan untuk merasakan kasih  sayang mereka berdua. Kau tahu? Tuhan juga memberimu rasa rindu itu.”

Aku terdiam dan mencoba mencerna setiap kata-katanya.

“Apa yang terjadi jika seandainya Tuhan tidak pernah  memberimu kesempatan untuk  bisa melihat kedua orang tuamu. Atau kau tidak terlahir dari mamamu?” lanjutnya dan tatapannya menyisir setiap relung hatiku. Dia tersenyum dan melanjutkan kata-katanya’’ Ibu ingin melihatmu tersenyum.”

Entah kenapa,Aku terdiam dalam tangis. Tapi tangis saat ini berbeda dengan tangisan sebelum ini. Aku merasakan kehangatan menjalari hatiku. Aku merasakan getar kerinduan pada Tuhan yang selama ini aku nyaris melupakannya.

“Antarkan aku pulang.” Lirihku dan perempuan itu mengangguk senang dan kembali membenamkan kepalaku pada pelukannya.

Cibeureum,  02 Januari 2014

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment