"Gue heran, kenapa politisi busuk dengan rekam jejak yang gak baik masih bisa menang," ujar seorang sohib kepada saya, sembari geleng-geleng kepala.
"Ya inilah sifat dari demokrasi. Siapa pun bisa menjadi pemimpin selama suara mayoritas bisa dia raup. Bahkan seorang kriminal pun bisa menjadi pemimpin. Dan itu sah-sah saja. Ini demokrasi dan kita tidak bisa mengelak dari sistemnya. Bahkan, jika pemenang dari pesta demokrasi ini seorang kriminal, dia tetap manifesto dari kebenaran. Ingat, suara rakyat suara Tuhan. Vox Populi Vox Dei," begitu timpal saya sembari menyeruput kopi.
Barangkali, keheranan itu bukan hanya milik sohib saya itu. Ada banyak kepala dengan pertanyaan yang sama di atas kepalanya. Lebih-lebih ketika ada beberapa mantan koruptor yang ikut pemilu di pileg tahun ini yang diusung oleh banyak parpol. Ada juga beberapa politisi yang dianggap tidak kompeten menang dengan telak, mengalahkan rivalnya yang justru jauh lebih kompeten dalam penilaian kita.
Mereka adalah cerminan dari pemilihnya. Jika mayoritas pemilih adalah masyarakat yang cerdas dan paham moralitas, tentunya tidak mungkin para kriminal ini naik takhta. Untuk alasan itulah barangkali sebagian islamis mencoba berkompromi dengan cara membuat partai Islam untuk membawa aspirasi ummat. Ingat, jika ada sepuluh pemilih dan sembilan diantaranya bandit, maka jelas pemimpin banditlah yang akan keluar sebagai pemenang. Sekali lagi, suara mayoritas suara Tuhan. Kita sudah berkubang pada lumpur demokrasi yang mendefinisikan benar atau salah berdasarkan suara mayoritas, bukan berdasarkan kitab suci agama tertentu.
Alasan rakyat memilih seorang politisi bukan berdasarkan gagasan dan ide-ide cemerlang, tapi karena banyak hal lain. Diantaranya adalah:
1. Faktor kedekatan. Biasanya seorang pemilih akan memilih seorang politisi yang dia kenal dan cukup familiar di benaknya. Dia tidak peduli tentang kompetensi orang yang dia pilih. Atau mungkin bahkan peduli dengan kompetensi, hanya saja itu hanya pelengkap saja.
Untuk alasan itulah, para politisi berkampanye dengan cara membagikan gambar mereka seluas-luasnya tanpa mempedulikan gagasan atau ide. Lagi pula, menyertakan gagasan dan visi serta misi tidak relevan dengan masyarakat Indonesia yang cenderung lebih mementingkan daya tarik visual. Pun dari segi efektivitas, membagikan visi dan gagasan secara gamblang tidak efektif untuk dikampanyekan lewat baliho yang hanya dilihat sambil lalu.
Untuk alasan ini juga, para selebritis menjajal kesuksesan mereka lewat lahan politik. Karena para selebritis ini memahami bahwa wajah-wajah mereka sudah begitu akrab di benak jutaan rakyat. Maka tidaklah heran jika kemudian seorang komedian mampu meraup jumlah suara yang fantastis tanpa perlu melakukan kampanye.
Tentunya saya tidak mengatakan bahwa selebriti-selebriti yang menjajal dunia politik itu hanya menjual muka dan kepopuleran belaka. Boleh jadi ada diantara mereka yang memiliki kapasitas dan kompetensi yang memadai untuk melayani rakyat dan bertransformasi menjadi politisi handal. Hanya saja, tidak sedikit dari mereka yang tidak punya ide-ide yang jelas selain hanya menjual muka karena sudah tidak laku di layar hiburan.
2. Faktor keuntungan. Manusia sebagai makhluk ekonomi selalu mementingkan asas untung dalam segala jenis transaksi, termasuk dalam ranah politik yang tidak bisa lepas dari praktek transaksi. Para capres dan caleg itu bisa maju di perhelatan demokrasi karena mendapatkan suntikan modal dari para pemodal yang memiliki sumber daya tak terbatas. Ketika 'pion politik' itu menang, tentunya mereka harus memberikan timbal balik atau balas budi dengan cara menggolkan proyek-proyek pemodal, entah dari para pengusaha yang dibekingi oleh partai politik atau bahkan pemilik partai politik itu sendiri.
Sebenarnya banyak para politisi kompeten dan memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan pelayanan dengan ikhlas. Mereka tidak dipilih oleh rakyat karena mereka tidak pandai melakukan gimmick-gimmick, tidak mau melakukan strategi kotor berupa menjatuhkan lawan dengan black campaign dan money politics, dan mereka tidak punya cukup modal untuk melakukan kampanye dengan menyewa space iklan secara jor-joran. Yah, intinya kembali ke point awal. Masyarakat tidak cukup mengenal mereka sehingga popularitas mereka tenggelam oleh ingar-bingar rival yang tidak kompeten tapi lebih banyak modal.
Lalu untuk apa modal-modal itu digunakan? Sudah barang tentu untuk membeli suara rakyat yang tidak gratis. Para pemilih (masyakarat) kita juga masih menerapkan teori untung rugi ala kapitalis. Mereka--jika bukan karena faktor kedekatan--akan mencoblos seseorang yang dianggap telah berjasa memberikan selembar dua lembar rupiah dan sepaket sembako untuknya. Peduli amat tentang harga yang amat murah untuk nasib lima tahun mendatang.
Yang jelas, menjadi politisi itu tidak butuh orang pintar. Yang paling penting, dia percaya diri!
No comments:
Post a Comment