Cerpen oleh Husni Magz
Persahabatan terkadang hancur karena kebohongan. Meski
kebohongan itu dirangkai dengan alasan demi kebaikan dan hubungan yang semakin
erat, tetap saja namanya kebohongan. Alika telah berbohong kepadaku.
Kebohongannya itu telah menyebabkan penderitaan dan penyesalan dalam
kehidupanku. Dan kebohongan itu telah mengorbankan kepercayaan yang telah
tumbuh diantara kami.
Kau penasaran apa kebohongan Alika kepadaku?
Semua bermula ketika aku berkunjung ke rumah Alika pada
pesta ulang tahunnya tiga tahun yang lalu. Saat itu, kami bersenang-senang
dalam perayaan yang membahagiakan. Keluarga, teman, kerabat berkumpul untuk
memakan kue ulang tahun dengan canda dan tawa.
Di pesta itu aku melihat seorang lelaki yang sangat mirip
dengan Alika. Matanya yang tajam, hidungnya yang mancung dan dagunya yang
berbelah. Dia aku duga sebagai kakaknya Alika. Pantas saja bagai pinang dibelah
dua. Sang kakak tampan dan sang adik sangat jelita.
Keesokan harinya, ketika kami berkumpul di kampus, aku pun
bertanya kepada Alika tentang lelaki itu. “Apakah lelaki yang memakai kemeja
putih di pestamu itu kakakmu?” tanyaku kepada Alika.
“Hai, yang memakai kemeja putih itu kan banyak? Keponakanku
yang cowok juga pakai kemeja putih,” jawab Alika bingung.
“Yang selalu ada di dekatmu. Yang memiliki tahi lalat di
dagunya. Aku pikir dia pasti kakakmu,” aku menambah deskripsi.
Alika tersenyum lebar. “Ya, dia memang kakakku.”
Sejak saat itu, aku tahu Alika selalu berusaha menjadi mak
comblang yang menginginkan supaya aku dan kakaknya benar-benar menjadi sepasang
kekasih. Apalagi Alika tahu bahwa aku tidak pernah berhubungan atau menjalin
cinta dengan lelaki mana pun.
“Kita ini sahabat sejak sekolah dasar. Dan persahabatan kita
tetap bertahan sampai sekarang. Aku pikir akan semakin membahagiakan jika
kemudian kelak kamu menjadi saudari iparku,” ujar Alika dengan nada sumringah.
Ah, siapa yang tidak ingin memiliki hubungan ipar dengan
gadis seperti Alika? Siapa yang tidak ingin memiliki suami tampan seperti
kakaknya Alika? Tapi aku tahu diri, aku tidak pantas untuk mereka. “Kamu
terlalu berlebihan, Alika. Aku ini gadis miskin, tak punya apa-apa. Aku tidak
pantas bersanding dengan kakakmu itu.”
Alika menutup mulutku dan menggeleng cepat. “Jangan bilang
begitu. Kamu sangat cocok bersanding dengan kakakku. Aku juga pernah bertanya
kepadanya, ‘apakah kamu mencintai Renita?’ Kau tahu apa jawabnya?”
Alika tahu bagaimana caranya memancing rasa penasaranku.
“Apa?”
“Dia bilang, ‘Renita itu gadis yang manis. Sampaikan salamku
kepadanya.’”
Saat itu aku benar-benar melayang. Aku pernah memang jatuh
cinta kepada beberapa pria tapi tentu aku tidak pernah mengungkapkannya secara
langsung. Dan aku juga jatuh cinta kepada kakaknya Alika yang belakangan aku
tahu namanya Aldo. Hanya saja aku tidak ingin mengungkapkan atau mengakui
perasaanku. Lebih dari itu, aku juga merasa tidak pantas.
Hanya saja, pepatah bilang pucuk dicinta ulam tiba. Ketika
kita menginginkan sesuatu, ada satu hal yang menyebabkannya menjadi kenyataan.
Itu adalah Alika. Alika yang menginginkan aku menjadi iparnya dan ternyata Aldo
diam-diam menyukaiku juga.
Kami sempat dipertemukan beberapa kali. Alika yang memiliki
rencananya. Dia memintaku untuk bertemu di kafe ini dan itu. ketika aku tiba,
ternyata dia tidak sendiri. ada sang kakak di sampingnya.
“Maaf aku tidak bilang kepadamu kalau kakak aku ingin ikut,”
ujarnya dengan sorot mata tanpa dosa.
Aku mengangkat bahu. “Tidak apa-apa.” Aku menatap Aldo dan
mengangguk. Suasana begitu canggung. Beruntungnya, Alika lumayan pintar untuk
menyiasati kecanggungan. Kesan pertama yang aku dapat, Aldo cukup pendiam dan
tidak seheboh adiknya.
Sejak pertemuan itu, aku lebih sering bertemu dengan mereka
berdua. Dan puncaknya adalah Aldo mengungkapkan perasaannya dengan disaksikan
oleh adiknya sendiri. Aku tentu saja merasa terkejut, tapi aku menyadari bahwa
aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Aku menyukai lelaki itu dan
mendapatkan momentumnya ketika dia mengungkapkan perasaannya secara langsung. Dari
sanalah kami mulai hubungan kami. Bahkan kami terbiasa untuk mengobrol, jalan
bersama atau sekedar menghabiskan waktu sore di kafe tanpa bersama Alika.
Orangtuaku merestui hubunganku dengan Aldo. Pun dengan
orangtua lelaki itu. maka tak ada alasan untuk menunda atau mengulur waktu. Aku
sendiri ingin hubungan ini dibawa ke jenjang yang lebih serius. Aldo tentu saja
memiliki pemikiran yang sama. Maka tidak ada halangan apa pun untuk
melangsungkan pernikahan. Aku dan Aldo setuju dan orangtua kami juga mendukung.
Pada akhirnya, kami melangsungkan pernikahan dengan pesta yang meriah.
Aku pikir Aldo adalah pria yang tepat yang telah Tuhan
kirimkan dalam hidupku. Dia adalah anugerah terindah yang tidak pernah aku
bayangkan sebelumnya. Sebelum aku menikah dengannya, aku sangat yakin bahwa aku
tidak salah dalam memilih. Di mataku dia seorang pria penyayang, romantis,
rajin beribadah dan tidak ada satu pun cela yang nampak. Jika kau bertanya
kepadaku untuk memberi nilai dari angka satu sampai sepuluh, maka aku pikir itu
kurang. Karena aku akan memberinya angka seribu.
Tapi ternyata aku kecele. Beberapa bulan setelah pernikahan
aku tidak menemukan semua kebaikan itu. semua ternyata hanya ilusi. Lelaki ini
hanya menampakan semua sikap manisnya ketika aku belum menjadi istrinya. Ketika
dia sah menjadi suamiku, semua sifat aslinya telah nampak ke permukaan.
Dahulu, sebelum menikah dia selalu mengirim pesan singkat
hanya untuk memastikan bahwa aku sudah makan. Maklum, aku memang terkadang
telat makan karena kesibukan. Tapi setelah menikah dia menjadi lelaki yang
sangat cuek. Dia tidak akan pernah peduli apakah aku ada di sampingnya atau
tidak. Ketika kami bersama, dia menganggapku seperti seonggok benda yang tidak
pantas untuk diperhatikan.
Ketika kami bersama, dia lebih sering fokus dengan gawai di
tangannya. Dia tidak pernah memuji masakan yang kumasak. Dia tidak pernah
bersikap romantis ketika keinginan biologisnya ingin dipenuhi. Dia akan cepat
tidur setelah berhubungan badan tanpa pernah membelaiku. Dia tidak pernah
mengajakku mengobrol.
Dia sangat pelit. Bahkan dia terkadang menyindirku bahwa aku
juga punya uang dari usahaku. “Jadi, untuk apa aku harus memberi uang lebih?”
begitulah sesumbarnya.
Dia tidak pernah ingin membantuku. Ketika aku meminta tolong
untuk membelikan sesuatu ke toko, dia akan membentakku dan bilang bahwa aku
bisa melakukannya sendiri. dia juga jarang shalat. Bahkan aku baru tahu bahwa
dia ternyata kecanduan pornografi. Itu aku ketahui ketika aku melihat history
mesin pencarian di ponselnya. Bahkan kutemukan dia menginstal aplikasi kencan
dan saling berkirim pesan mesum dengan banyak wanita.
Aku benar-benar dibuat stress dan depresi dengan keadaan
ini. Diam-diam, selain menyalahkan diriku yang terburu-buru dalam menilainya,
aku juga membenci Alika. Karena dia punya andil dalam hubunganku dengan Aldo. Alika
telah menjerumuskanku pada kehidupan jahanam ini. Dia punya andil
menjerumuskanku menjadi korban lelaki tak tahu diri yang tak lain adalah
kakaknya sendiri.
No comments:
Post a Comment