13 Apr 2022

Harga Sebuah Kebohongan

 

Cerpen oleh Husni Magz

Persahabatan terkadang hancur karena kebohongan. Meski kebohongan itu dirangkai dengan alasan demi kebaikan dan hubungan yang semakin erat, tetap saja namanya kebohongan. Alika telah berbohong kepadaku. Kebohongannya itu telah menyebabkan penderitaan dan penyesalan dalam kehidupanku. Dan kebohongan itu telah mengorbankan kepercayaan yang telah tumbuh diantara kami.

Kau penasaran apa kebohongan Alika kepadaku?

Semua bermula ketika aku berkunjung ke rumah Alika pada pesta ulang tahunnya tiga tahun yang lalu. Saat itu, kami bersenang-senang dalam perayaan yang membahagiakan. Keluarga, teman, kerabat berkumpul untuk memakan kue ulang tahun dengan canda dan tawa.

Di pesta itu aku melihat seorang lelaki yang sangat mirip dengan Alika. Matanya yang tajam, hidungnya yang mancung dan dagunya yang berbelah. Dia aku duga sebagai kakaknya Alika. Pantas saja bagai pinang dibelah dua. Sang kakak tampan dan sang adik sangat jelita.

Keesokan harinya, ketika kami berkumpul di kampus, aku pun bertanya kepada Alika tentang lelaki itu. “Apakah lelaki yang memakai kemeja putih di pestamu itu kakakmu?” tanyaku kepada Alika.

“Hai, yang memakai kemeja putih itu kan banyak? Keponakanku yang cowok juga pakai kemeja putih,” jawab Alika bingung.

“Yang selalu ada di dekatmu. Yang memiliki tahi lalat di dagunya. Aku pikir dia pasti kakakmu,” aku menambah deskripsi.

Alika tersenyum lebar. “Ya, dia memang kakakku.”

Sejak saat itu, aku tahu Alika selalu berusaha menjadi mak comblang yang menginginkan supaya aku dan kakaknya benar-benar menjadi sepasang kekasih. Apalagi Alika tahu bahwa aku tidak pernah berhubungan atau menjalin cinta dengan lelaki mana pun.

“Kita ini sahabat sejak sekolah dasar. Dan persahabatan kita tetap bertahan sampai sekarang. Aku pikir akan semakin membahagiakan jika kemudian kelak kamu menjadi saudari iparku,” ujar Alika dengan nada sumringah.

Ah, siapa yang tidak ingin memiliki hubungan ipar dengan gadis seperti Alika? Siapa yang tidak ingin memiliki suami tampan seperti kakaknya Alika? Tapi aku tahu diri, aku tidak pantas untuk mereka. “Kamu terlalu berlebihan, Alika. Aku ini gadis miskin, tak punya apa-apa. Aku tidak pantas bersanding dengan kakakmu itu.”

Alika menutup mulutku dan menggeleng cepat. “Jangan bilang begitu. Kamu sangat cocok bersanding dengan kakakku. Aku juga pernah bertanya kepadanya, ‘apakah kamu mencintai Renita?’ Kau tahu apa jawabnya?”

Alika tahu bagaimana caranya memancing rasa penasaranku. “Apa?”

“Dia bilang, ‘Renita itu gadis yang manis. Sampaikan salamku kepadanya.’”

Saat itu aku benar-benar melayang. Aku pernah memang jatuh cinta kepada beberapa pria tapi tentu aku tidak pernah mengungkapkannya secara langsung. Dan aku juga jatuh cinta kepada kakaknya Alika yang belakangan aku tahu namanya Aldo. Hanya saja aku tidak ingin mengungkapkan atau mengakui perasaanku. Lebih dari itu, aku juga merasa tidak pantas.

Hanya saja, pepatah bilang pucuk dicinta ulam tiba. Ketika kita menginginkan sesuatu, ada satu hal yang menyebabkannya menjadi kenyataan. Itu adalah Alika. Alika yang menginginkan aku menjadi iparnya dan ternyata Aldo diam-diam menyukaiku juga.

Kami sempat dipertemukan beberapa kali. Alika yang memiliki rencananya. Dia memintaku untuk bertemu di kafe ini dan itu. ketika aku tiba, ternyata dia tidak sendiri. ada sang kakak di sampingnya.

“Maaf aku tidak bilang kepadamu kalau kakak aku ingin ikut,” ujarnya dengan sorot mata tanpa dosa.

Aku mengangkat bahu. “Tidak apa-apa.” Aku menatap Aldo dan mengangguk. Suasana begitu canggung. Beruntungnya, Alika lumayan pintar untuk menyiasati kecanggungan. Kesan pertama yang aku dapat, Aldo cukup pendiam dan tidak seheboh adiknya.

Sejak pertemuan itu, aku lebih sering bertemu dengan mereka berdua. Dan puncaknya adalah Aldo mengungkapkan perasaannya dengan disaksikan oleh adiknya sendiri. Aku tentu saja merasa terkejut, tapi aku menyadari bahwa aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Aku menyukai lelaki itu dan mendapatkan momentumnya ketika dia mengungkapkan perasaannya secara langsung. Dari sanalah kami mulai hubungan kami. Bahkan kami terbiasa untuk mengobrol, jalan bersama atau sekedar menghabiskan waktu sore di kafe tanpa bersama Alika.

Orangtuaku merestui hubunganku dengan Aldo. Pun dengan orangtua lelaki itu. maka tak ada alasan untuk menunda atau mengulur waktu. Aku sendiri ingin hubungan ini dibawa ke jenjang yang lebih serius. Aldo tentu saja memiliki pemikiran yang sama. Maka tidak ada halangan apa pun untuk melangsungkan pernikahan. Aku dan Aldo setuju dan orangtua kami juga mendukung. Pada akhirnya, kami melangsungkan pernikahan dengan pesta yang meriah.

Aku pikir Aldo adalah pria yang tepat yang telah Tuhan kirimkan dalam hidupku. Dia adalah anugerah terindah yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Sebelum aku menikah dengannya, aku sangat yakin bahwa aku tidak salah dalam memilih. Di mataku dia seorang pria penyayang, romantis, rajin beribadah dan tidak ada satu pun cela yang nampak. Jika kau bertanya kepadaku untuk memberi nilai dari angka satu sampai sepuluh, maka aku pikir itu kurang. Karena aku akan memberinya angka seribu.

Tapi ternyata aku kecele. Beberapa bulan setelah pernikahan aku tidak menemukan semua kebaikan itu. semua ternyata hanya ilusi. Lelaki ini hanya menampakan semua sikap manisnya ketika aku belum menjadi istrinya. Ketika dia sah menjadi suamiku, semua sifat aslinya telah nampak ke permukaan.

Dahulu, sebelum menikah dia selalu mengirim pesan singkat hanya untuk memastikan bahwa aku sudah makan. Maklum, aku memang terkadang telat makan karena kesibukan. Tapi setelah menikah dia menjadi lelaki yang sangat cuek. Dia tidak akan pernah peduli apakah aku ada di sampingnya atau tidak. Ketika kami bersama, dia menganggapku seperti seonggok benda yang tidak pantas untuk diperhatikan.

Ketika kami bersama, dia lebih sering fokus dengan gawai di tangannya. Dia tidak pernah memuji masakan yang kumasak. Dia tidak pernah bersikap romantis ketika keinginan biologisnya ingin dipenuhi. Dia akan cepat tidur setelah berhubungan badan tanpa pernah membelaiku. Dia tidak pernah mengajakku mengobrol.

Dia sangat pelit. Bahkan dia terkadang menyindirku bahwa aku juga punya uang dari usahaku. “Jadi, untuk apa aku harus memberi uang lebih?” begitulah sesumbarnya.

Dia tidak pernah ingin membantuku. Ketika aku meminta tolong untuk membelikan sesuatu ke toko, dia akan membentakku dan bilang bahwa aku bisa melakukannya sendiri. dia juga jarang shalat. Bahkan aku baru tahu bahwa dia ternyata kecanduan pornografi. Itu aku ketahui ketika aku melihat history mesin pencarian di ponselnya. Bahkan kutemukan dia menginstal aplikasi kencan dan saling berkirim pesan mesum dengan banyak wanita.

Aku benar-benar dibuat stress dan depresi dengan keadaan ini. Diam-diam, selain menyalahkan diriku yang terburu-buru dalam menilainya, aku juga membenci Alika. Karena dia punya andil dalam hubunganku dengan Aldo. Alika telah menjerumuskanku pada kehidupan jahanam ini. Dia punya andil menjerumuskanku menjadi korban lelaki tak tahu diri yang tak lain adalah kakaknya sendiri.

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment