18 Oct 2021

CINTA YANG HENING

 

Cerpen oleh Husni Magz

 

Orang bilang, keheningan itu adalah sumber dari kedamaian dan ketentraman hati. Berapa banyak orang-orang kota melarikan diri mereka dari hingar bingar metropolitan menuju daerah puncak yang hening dan damai. Berapa banyak orang menginginkan dijauhkan dari kebisingan dan rutinitas yang merajam kedamaian. 

 

Tapi bagiku keheningan adalah siksaan. Rumah tanggaku terlalu hening untuk bisa digambarkan sebagai rumah yang hangat dan penuh cinta. Bukan aku yang menghendaki keheningan. Tapi suamiku. Dia pendiam. Dia tak pernah tertawa. Oh, dia sesekali tersenyum tapi itu jarang. Dia tidak pernah bilang ‘I Love You kepadaku sebagai istrinya. Dia terlalu lempeng, pendiam, tak banyak tingkah, bahkan di ranjang sekalipun dia tak memiliki banyak gaya. Satu hal yang selama ini selalu menjadi anganku. 

 

Tapi dia tidak impoten. Tidak pula menjauhiku di tempat tidur. Dia hanya terlalu lempeng dan begitu-begitu saja. Tak ada variasi. Tak ada kehangatan. Hanya ada kecupan ringan, penetrasi, setelah itu selesai. Dia bahkan tidak sekalipun bertanya apakah aku sudah selesai dengan kebutuhanku.

 

Dia tak pernah memujiku, meski aku sudah habis-habisan berdandan di depan cermin sebelum kepulangannya. Aku telah membeli beberapa lingerie dari Anita temanku untuk membuat hasrat suamiku bangkit. 

 

Malam selepas isya, aku mengenakan pakaian sensual itu di hadapannya, dia hanya melirik sembari bergumam, “Kok kamu memakai pakaian seperti itu?”

 

“Memangnya kenapa? Tidak boleh?”

 

Dia hanya menghela napas panjang. 

 

“Apakah aku cantik malam ini?”

 

“Hm…” dia hanya bergumam. Menatapku, dan tersenyum. Sangat tipis. Bukan senyuman lebar dan kerlingan yang aku harapkan. 

 

Jadi, aku berpikir bahwa rumah tanggaku tidak baik-baik saja. Keheningan ini sangat menyiksa dan mencekikku setiap hari. Aku tidak bisa bertahan terlalu lama. Kamu mungkin memberiku saran untuk membicarakan hal ini baik-baik dengan suamiku. Aku katakan padamu, aku sudah berkali-kali mengatakan semua ini padanya. 

 

“Mas, bisa tidak kamu sesekali bercanda. Kok kamu dingin banget sih.”

 

“Karakterku seperti ini,” balasnya. Roman mukanya memperlihatkan rasa tak suka karena aku menggugat apa yang selama ini menjadi identitas dirinya sendiri. Dingin. Kaku. Tak menggairahkan. 

 

“Bisa tidak kamu memujiku. Kenapa sih kamu pelit memberi pujian?”

 

“Memangnya pujian itu bisa mendatangkan uang?” kelitnya sembari menyeruput kopi, kemudian dia tersenyum. Seperti biasa, senyuman tipis yang sangat membosankan. 

 

Diam-diam aku menyesal. Menyesal karena telah mengenalnya. Menyesal karena telah salah menduga. Dahulu aku menilai dia dari parasnya yang sangat maskulin dengan kumis tipis dan mata elangnya. Aku tidak mempertimbangkan tentang bagaimana aku membutuhkan suami yang romantis, hangat dan murah senyum. Bukan seperti patung yang hanya menjadi teman tidur sekedarnya. Aku diam-diam menyesal karena telah menikah dengannya.

 

Penyesalan itu semakin menggunung ketika aku menemukan lelaki-lelaki yang lebih atraktif di luar sana. Terutama Agus yang menjadi staf baru di perusahaan tempatku bekerja. Dia sangat humoris dan begitu mudah mengumbar pujian-pujian manis. Meski hampir semua wanita di kantor kami, tak peduli lajang ataupun sudah menikah pernah mendapatkan pujian dari bibirnya yang menggoda, tapi aku selalu memiliki geletar aneh setiap kali lelaki berkulit putih itu tersenyum kepadaku.

 

Kemudian orang-orang juga bilang bahwa Agus itu hanya seorang playboy yang memiliki bibir dan lidah yang manis. Akan tetapi aku berpikir bahwa lidah manis Agus lebih memabukan dibandingkan seorang suami yang pelit mengumbar kata-kata mesra. 

 

Rasa kagum itu menjelma menjadi khayalan tentang kisah cinta terlarang yang selalu bermain-main di benakku. Rasa kagum itu menimbulkan khayalan jika seandainya Aguslah menjadi suamiku. Tapi semuanya sudah terlanjur. 

 

Lalu apa yang harus aku lakukan jika sudah terlanjur menikah dengannya? Tidak ada yang bisa aku lakukan selain pasrah menerima takdirku. Tapi kau membutuhkan romantisme yang selama ini tidak kau dapatkan, sisi hatiku berteriak dan memberontak. Tidak ada salahnya bermain-main dengan agus, Kan? Suara itu semakin menggila dan mencoba menggodaku dengan godaan yang tidak bisa aku tolak.  Apalagi suara-suara nakal itu datang setiap kali Agus menatapku dan melempar senyum mautnya dari seberang meja kerjaku. Sungguh tatapan maut yang tidak bisa ditolak. 

 

“Jangan pernah berharap menggangguku. Aku sudah punya suami.” Pada akhirnya nuraniku menang ketika Agus menghampiriku saat waktu makan siang tiba dan mengajakku untuk menemaninya ke party yang digelar di rumah keponakannya. 

 

“Tak ada salahnya kau sedikit melenceng dari lelaki dingin dan tak romantis itu.”

 

“Kenapa kau bilang begitu?” aku sendiri kaget bagaimana mungkin lelaki ini tahu bahwa suamiku dingin dan tak romantis. 

 

“Karena aku bisa membaca hatimu,” jelasnya sembari diiringi gelak yang renyah. Gelak yang selalu aku rindukan. Andai gelak canda itu keluar dari mulut suamiku, bukan dari mulut agus. 

 

Aku curiga jangan-jangan Agus mencoba mencari tahu kehidupanku, lengkap dengan hubunganku dengan suami. Tapi aku tidak pernah bercerita kepada siapa pun. Pun tidak di media sosial. Lalu dari mana dia tahu suamiku dingin. Ah, jangan pikirkan hal itu sekarang, hatiku mencoba mengalihkan pertanyaan demi pertanyaan yang membombardir benakku. 

 

“Ayolah, kamu pasti bisa menemaniku.” Agus masih belum menyerah.

 

“Gimana ya… kan sudah kubilang aku punya Renata.”

 

“Memangnya kau dikekang?”

 

“Tidak.”

 

“Kalau begitu kau bisa minta izin padanya. Kau bisa memberikan alasan bahwa kamu ingin menghadiri acara ulang tahun temanmu, kan?”

 

Pada akhirnya aku kalah. Malam itu adalah malam paling fatal dalam hidupku. Aku meminta izin padanya untuk keluar malam. Dia mengizinkan. Dia tidak pernah mencurigaiku. Dia berpikir bahwa aku setia dan tidak mungkin menyeleweng. Dia salah besar. 

 

Malam itu, selepas menghadiri party, Agus mengajakku untuk check in dan aku mengikuti semua skenarionya bak kerbau yang dicocok hidungnya. Malam itu, di pojok kamar hotel bintang lima, aku tergugu. Berpikir ulang tentang kehidupanmu yang kacau balau hingga berakhir disini. 

 

Itu adalah kesalahan yang tak pernah lagi terulang. Satu kesalahan besar itu memang tidak pernah terungkap dan tak pernah bocor. Aku dan Agus menutupnya rapat-rapat. Agus selalu memintaku untuk mengulanginya, tapi aku terlalu takut untuk mengulangi dosa untuk yang kesekian kalinya. 

 

Berbulan-bulan lamanya, kejadian itu telah berlalu. Aku berusaha menjauhi Agus. Tapi rasa bersalah itu selalu membuntutiku. Bahkan mungkin penyesalan itu baru berakhir jika aku sudah tutup usia. 

 

Dia masih tetap seperti sedia kala. Dingin. Tak romantis. Tak meninggalkan gairah apa pun selain rutinitas antara suami istri yang begitu monoton. Tapi aku baru menyadari bahwa dia adalah seorang lelaki yang sangat romantis dengan caranya sendiri. Aku baru menyadarinya setelah aku mengalami kecelakaan yang menyebabkan aku harus dirawat berbulan-bulan di rumah sakit. Aku harus merelakan dokter mengamputasi kakiku yang tergilas truk. 

 

Di sisi ranjang itulah aku melihat dia yang romantis. Bertahun-tahun aku tidak pernah menyadarinya. Lelakiku itu tak pernah meninggalkanku. Dia bahkan meminta izin cuti untuk menungguiku meski bisa saja aku meminta adik dan ibuku yang menungguiku disini. 

 

Di hari pertama aku siuman, aku menangkap matanya yang berkaca-kaca karena bahagia. “Alhamdullah, kau sadar juga…Terimakasih ya Allah…” ungkapnya sembari bersujud di lantai kamar. Dia kembali bangkit dan menggenggam tanganku dengan erat tapi lembut. Aku melihat air matanya berlinang. 

 

Dia memang tidak suka bercanda. Dia memang tidak pernah memujiku. Dia tidak pernah memiliki banyak gaya dan terkesan monoton dalam bercinta. Tapi…ini sungguh membuatku meleleh. Satu sikap romantis yang hanya bisa didefinisikan oleh ketulusan dan cinta yang tersembunyi di hatinya. 

 

“Ayo, sarapan dulu,” pintanya sembari menyodorkan sesuap nasi ke arah mulutku. Caranya memperlakukanku seperti apa yang telah dilakukan Papa berbelas tahun yang lalu. aku menangis di dalam hati. Aku berteriak dalam rasa bersalah yang semakin menggunung. 

 

Ketika malam tiba, dia tertidur di sampingku, menggenggam tanganku dengan erat. Ya tuhan, bahkan hatiku kini menghangat. Dia bahkan lebih romantis dibandingkan lelaki mana pun. Dari caranya menyuapiku. Dari sikapnya yang selalu siap sedia untukku. 

 

Aku tiba-tiba menangis. Aku belum pernah menangis seperti tangisku saat ini. Aku ditelan oleh penyesalan yang bersumber dari pengkhianatan yang telah aku lakukan padanya.

 

“Kenapa kamu menangis?”

 

Aku menggeleng. Aku semakin ditelan rasa penyesalan yang menyesakan. Mencekik dan membunuhku secara perlahan.

TAMAT

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment