Oleh: Husni Magz
Yandi menatap kursi kosong di hadapannya sembari menghela napas panjang. Helaan yang dimaknai sebagai penyesalan yang paling dalam. Penyesalan yang tidak layak untuk selalu diingat. Tapi tetap saja perasaan ganjil itu tetap datang dan meremas seluruh kebahagiaan yang masih tersisa di dalam jiwa Yandi. Seharusnya di kursi kosong itu duduk Sri, istrinya yang sebulan yang lalu meminta untuk bercerai hanya karena masalah sepele. Dia bercanda dengan wanita lain –lebih tepatnya teman sekolahnya dulu- lewat facebook dan sang istri mengetahui percakapan itu.
“Dasar lelaki! Selama ini aku pikir kamu lelaki setia yang bisa menjaga perasaan istrinya. Tapi ternyata dugaanku salah. Kau hanya lelaki buaya yang tak tahu diuntung.”
“Sudah berkali-kali aku bilang, Muniroh hanya teman SD-ku. Kemarin kebetulan dia meminta pertemanan di fesbuk. Dia menyapaku dan tentu aku harus meladeni sapaannya. Kamu juga sudah lihat kan bagaimana obrolanku. Aku tidak menggodanya.”
“Alasan! Kenapa pula kau panggil dia Eneng?”
“Memang itu panggilannya.”
“Aku tidak mau tahu. Yang jelas kamu memang lelaki bajingan. Tak tahu diuntung. Dasar_”
Sri belum menuntaskan kata-katanya karena telapak tangan Yandi yang lebar dan kapalan telah mendarat di pipi kanannya. Mampu membuat bibir tipisnya terkatup diiringi dengan kedua bola mata yang memerah. Entah merah karena amarah atau karena air mata yang tiba-tiba berdesakan ingin keluar.
“Sekarang sudah berani menampar?”
“Sudah kubilang jangan terlalu mendramatisir. Ini hanya salah paham.”
“Kita cerai saja!” seru Sri dengan kemarahan yang tidak bisa ia bendung lagi. Kemarahan yang bersumber dari rasa cemburu yang tak pada tempatnya. Kemudian kemarahan itu menjalar, menular memasuki hati Yandi yang panas karena melihat amarah istrinya.
“Baik. Silakan pulang sekarang juga!”
Yandi kembali menghela napas panjang. Dia kembali terpekur diantara detik demi detik jarum jam yang berbunyi ‘tik-tik-tik’. Di hadapan Yandi tertata berbagai jenis makanan untuk berbuka puasa yang dua puluh menit yang lalu dia beli dari ibu-ibu yang menjual takjil dan lauk di luar komplek perumahan. Ini adalah hari pertama puasa. Dan ini adalah hari pertama dimana dia melewatkan puasa tanpa adanya Sri.
Yandi menatap dapur melalui pintu ruang makan. Di matanya, dia masih menyimpan memori dimana Sri tengah sibuk memasak di dapur. Suara alat-alat masak yang berdenting, suara minyak goreng yang dipanaskan, aroma yang menguar. Ah…semuanya kini tinggal kenangan.
Yandi tidak pandai memasak. Sehingga setelah kepergian Sri sebulan yang lalu dia hanya mengandalkan mie instan yang dia rebus setiap malam untuk makan malam. Sementara untuk pagi dia hanya sarapan roti. Dan siangnya, dia hanya perlu datang ke warung makan di seberang jalan. Agaknya, puasa pun dia hanya perlu membeli lauk. Sementara nasi bisa dia tanak di rice cooker.
Yandi menengadah hanya untuk melihat jarum jam yang berdetak di tengah kesunyian. ‘Ah, dua puluh menit lagi adzan maghrib akan segera berkumandang,’ bisiknya di dalam hati.
Tiba-tiba dia mendengar suara pintu depan diketuk dari luar. Hm, agaknya ada tamu yang datang. Sungguh ini di luar kebiasaan. Bagaimana mungkin ada orang bertamu menjelang buka puasa? Aha! Atau barangkali ada tetangga yang ingin berbagi takjil buka puasa? Tapi, sejak kapan ada tetangga yang melestarikan tradisi berbagi makanan untuk berbuka puasa sebagaimana yang biasa dia temukan di kampung Mama dulu?
Ini adalah komplek perumahan yang diisi oleh orang-orang super sibuk yang tidak lagi berpikir bahwa berinteraksi dengan tetangga adalah kebutuhan. Jangankan saling berbagi makanan, menyapa pun terkadang jarang. Ini adalah komplek perumahan dengan pagar yang membatasi setiap rumah. Kebetulan saja dia tadi membiarkan pagar depan terbuka sehingga barangkali sang tamu memiliki akses untuk masuk ke halaman dan mengetuk pintu. Ah, Yandi jadi teringat bahwa sudah seharusnya dia memasang bel listrik di pintu depan.
Yadi melangkah dari meja makan, menyusuri ruang tengah dan membuka daun pintu. Disaat itulah, di bawah cahaya lembayung di barat sana, dia kembali menatap wajah istrinya dengan senyuman tipis di bibir tipisnya. ‘Sri?’
“Apa kabar?” tanyanya dengan canggung secanggung senyuman tipisnya.
“Baik. Kamu sendiri bagaimana?”
“Baik?”
“Mama sama Papa?”
“Mereka juga baik. Cuma, Mama ada keluhan di lututnya. Biasa, faktor umur. Kemarin saja baru beli obat rematik.” Seperti biasa, Sri selalu heboh ketika berbicara.
“Kenapa kok datangnya menjelang buka puasa?” tanya Yandi kemudian.
“Sri mengangkat tangan kanannya. Disana terjinjing rantang. “Aku bawa kolak sama lauk buat buka puasa.”
“Terimakasih, Sri. Kamu mau buka disini kan?”
Dia hanya mengangguk kecil. Tapi saat itu Yandi melihat istrinya seperti menahan air mata. Matanya berkilat-kilat. Tangan kanannya menaruh rantang di meja rotan yang terletak di samping pintu. Sekonyong-koyong Sri memeluk Yandi dengan erat sembari terisak. “Maafkan aku, Mas.”
Yandi tidak perlu menjawabnya. Ia berpikir bahwa ia tidak perlu menimpali permintaan maaf istrinya. Karena sejatinya yang bersalah adalah dirinya. Dia hanya mengelus dan menepuk punggung Sri sebagai bentuk perasaan cinta yang masih sama.
“Harusnya aku tidak pulang dan mengadu ke Mama. Harusnya aku…”
“Sudahlah. Ayo kita masuk.” Yandi melepaskan pelukan istrinya dan menuntun Sri ke meja iftar. Tak lupa membawa rantang.
Yandi tidak pernah menyangka bahwa istrinya akan kembali. Dia pikir Sri akan kembali datang hanya untuk memastikan bahwa dirinya akan hadir di acara sidang perceraian nanti. Sidang pertama telah berlangsung dan mereka berdua disuruh untuk bermediasi sebelum sidang lanjutan. Tapi agaknya, hal itu tidak perlu.
“Aku sudah membeli takjil sama lauk dari warung Yuk Parmi,” ujar Yandi. Dia menggeser kursi untuk Sri. Sri duduk di kursinya. Kemudian membuka rantang dari kerangkanya. “Aku tadi memasak kolak pisang sama labu.”
Yandi duduk di kursinya, mengamati paras istrinya itu dengan perasaan bahagia. Tadi dia khawatir kursi itu akan kosong dan dia akan melewati buka puasa dan sahur dengan rasa sepi yang merajam hatinya. Tapi Tuhan masih berbaik hati untuk mengantarkan Sri kembali pulang.
“Kenapa?” tanya Sri demi melihat sang suami yang menatapnya dengan lekat.
“Nggak apa-apa. Entah kenapa, aku naksir sama kamu untuk yang
kedua kalinya,” jawab Yandi dengan senyuman simpul. Sementara tangan mereka
berpautan untuk menuntaskan kerinduan. Adzan berkumandang dan mereka melepaskan
tangan mereka yang saling menggenggam di meja iftar.Kekhawatiran Yandi tidak terbukti. Kursi iftar itu tidak kosong. Di atas kursi itu masih ada cinta.
No comments:
Post a Comment