20 Apr 2021

Emak Memang Dermawan

 “Kangkung neng…”

Aku yang tengah membaca novel di teras rumah mendongakan wajah demi mendengar suara dari arah depan. Mataku menangkap seorang nenek tua dengan wajah sayu membawa tampah besar berisi kankung yang sudah tersusun rapi, diikat oleh tali rafia.

“Nggak, Nek,” jawab saya pendek. Kemudian kembali menundukan kepala, menekuri kata demi kata di lembaran buku yang sedang aku baca. Aku tidak ingin membeli kangkung itu. aku juga sangat yakin Emak tidak akan tertarik untuk membeli kangkung. Jadi aku tidak perlu repot-repot memanggil emak ke dalam dan memberitahu beliau bahwa ada penjual kangkung yang menawarkan dagangannya di depan rumah.

Lagi pula, keluargaku tidak terlalu suka makan sayur mayur, apalagi kangkung. Maksudku, aku memang kadang makan sayur, tapi jarang. Begitu juga dengan Emak, Bapak dan adik-adikku.

Karena si nenek penjual kangkung itu yakin bahwa aku tidak berniat untuk membeli barang satu ikat dari kangkung yang dia jual, dia pun kembali mengangkat nampah itu dan menjunjungnya di atas kepala. Dia kembali melangkah pergi sembari berteriak dengan suara yang serak dan lemah. “Kangkung…kangkung….”.

“Dandi! Emak mau beli kangkung. Panggil lagi neneknya!” aku mendengar teriakan emak dari ruang tengah.

Ya sudah kalau begitu, pikirku. “Nek!” seruku. Memanggil si nenek yang sudah beberapa langkah menjauhi pagar rumah kami.

Tak berapa lama Emak sudah muncul di pintu depan sembari membenahi kerudung instan yang dikenakannya dengan terburu-buru.

Nenek penjual kangkung berhenti melangkahkan kaki dan menoleh. “Mau beli kangkung?”

“Iya nek,” jawab Emak sembari memakai sandal dan bergegas untuk membuka pintu pagar. Si nenek pun masuk ke dalam halaman dan mengikuti Emak. Emak kemudian duduk di teras, begitu juga dengan si nenek penjual kangkung. Dia menyimpan nampah itu di hadapan Emak.

“Mau beli berapa iket, neng? Ini kangkungnya masih segar-segar lho. Nini baru memetiknya tadi pagi dari halaman rumah,” si nenek dengan antusias mempromosikan barang dagangannya.

“Beli tiga ikat ya, Nek.” Emak mengambil tiga ikat kangkung, kemudian menyerahkan uang dua puluh ribuan kepada si nenek.

Si nenek pun menerima uang itu, membuka buntalan tempat menyimpan uang yang dia selipkan di kain yang dia pakai. “Kembaliannya sebelas ribu ya, Neng.”

“Kembaliannya buat Nenek saja,” timpal Emak dengan senyuman lebar.

Nenek penjual kangkung itu mendongak. “Nenek ada uang receh kok, Neng.”

“Iya, nggak apa-apa, Nek. Kembaliannya buat Nenek saja,” ulang Emak. Masih dengan senyumannya yang teduh.

“Beneran, Neng?”

“Iya, Nek.”

 Ada rona bahagia yang bisa aku lihat dari sorot mata si nenek. “Terimakasih, Neng. Semoga Gusti Allah melimpahkan rezeki yang lapang kepada keluarga Eneng.”

“Amiiin…”

Si nenek pun pamit dan kembali melanjutkan langkah kakinya, menyusuri gang demi gang perumahan. Menawarkan kangungnya dengan suara yang serak. Kemudian aku berpikir tentang anak cucunya. Dimanakah anak-anaknya sehingga mereka membiarkan sang ibu menelusuri gang demi gang hanya untuk mengais recehan? Atau jangan-jangan si nenek tidak memiliki anak dan cucu? Atau jangan-jangan anak dan cucunya merantau ke kota dan menelantarkan orangtua mereka? Ah, terlalu kejam jika kenyataannya seperti itu. Atau jangan-jangan anak si nenek sama miskinnya sehingga mereka tidak mampu memberikan kesejahteraan kepada orangtua mereka. Anak mana yang tega membuat orangtuanya terlantar, tapi jika keadaan tidak memberikan kesempatan untuk berbakti, mau apa lagi? Aku pun yang sampai hari ini masih menganggur setelah enam bulan wisuda terkadang merasa malu sekaligus merasa bersalah kepada Emak. Tapi aku bisa apa?

Emak pun berlalu dari teras. Sementara aku tidak berminat untuk melanjutkan membaca novel. Aku lebih memilih mengikuti Emak ke arah dapur. Sepertinya Emak sudah mulai sibuk memasak untuk takjil buka puasa.

“Mak, bukannya Emak nggak terlalu suka kangkung?” tanyaku keheranan. Karena di keluarga kami, tidak ada yang doyan kangkung.

“Nanti Emak kasih ke Mbak Sari.”

Mbak Sari adalah gadis anak tetangga yang biasa bantu-bantu di rumah kami. Dari mulai mengepel dan mencuci baju, Mak biasanya memakai jasa Mbak Sari. Bahkan, tidak cukup dengan menggajinya setiap bulan, Emak seringkali membekali Mbak Sari dengan kue-kue dan lauk ketika gadis itu pulang setelah menuntaskan tugas hariannya di rumah kami. Lebih-lebih ketika bulan Ramadhan tiba seperti sekarang ini, Emak akan memasak dua kali lebih banyak dari biasanya.

“Sebagian kita kasih ke Mbak Sari sama Mang Oding,” begitulah jawaban Emak ketika aku bertanya, kenapa Emak memasak takjil dengan porsi yang banyak. Padahal jumlah keluarga kami hanya lima orang. Emak, bapak, aku dan kedua adikku.

Begitulah, Emak memiliki hati yang bersih dan suci. Dia seringkali membeli barang-barang bukan karena butuh, tapi karena kasihan kepada pedagangnya. Emak pernah membeli bunga ros dari lelaki tua yang menjajakan bunga keliling kampung. Emak bilang, dia merasa kasihan karena lelaki tua itu masih banyak dagangannya. Emak juga pernah membeli tirai bambu dari penjaja keliling dengan alasan kasihan. Pun pernah mensol sepatu yang pada dasarnya tidak perlu disol lagi karena lemnya sudah cukup kuat. Tapi emak berkilah bahwa dia kasihan sama abang tukang sol sepatu. Di hari yang lain, Emak juga pernah memborong buah pisang dari seorang pedagang keliling yang tampak sudah renta. Alasan utama dari semua aktifitas jual beli itu adalah didorong karena rasa kasihan yang terbit di hati Emak.

“Kalau kasihan, tinggal dikasih duit aja atuh, Mak. Bukan malah dibeli barangnya. Lagian apa itu nggak mubazir?”

Emak tersenyum. “Para pedagang itu punya kehormatan, Ndi. Mereka akan senang jika jualannya ada yang membeli. Mereka bukan pengemis yang minta uang. Justru kalau Emak hanya memberi uang, mereka malu.”

“Terus pisang sebanyak ini mau digimanain? Masa dimakan semua?”

“Dibagiin ke tetangga lah,” jawab Emak simpul.

Bulan puasa ini, justru emak semakin dermawan dari biasanya. Suatu hari, Emak memintaku untuk mengantarnya keluar. “Emak mau nyari takjil buat berbuka puasa.”

Aku pun langsung membawa emak ke alun-alun kota. Biasanya disana sudah berjajar semua penjual takjil. Tentu saja suasananya ramai dan riuh oleh penjual takjil dan para pemburu takjil dari berbagai sudut perumahan.

“Ndi, berhenti, Ndi. Emak mau beli Bajigur.”

“Bukannya tadi udah beli?”

“Mau beli lagi. Tuh, yang dipojok itu tuh.” Emak menunjuk penjual bajigor di pojok alun-alun yang dagangannya sepi. Bahkan gelas-gelas plastik itu masih penuh di atas meja dagangannya. Padahal dua puluh menit lagi, adzan maghrib akan berkumandang. Aku juga melihat banyak diantara pedagang yang sudah berbenah untuk pulang. Aku paham ada rasa belas kasihan yang bersemayam di hati emak untuk si tukang bajigur itu.

Sungguh, aku telah belajar arti berbagi, empati dan cinta dari emak. Emak memiliki cinta seluas samudera. Aku juga belajar arti kedermawanan dari Emak.

Tamansari, 20-04-2021

Edit, Tamansari, 13-04-2022

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment