Aku yang tengah membaca novel di teras rumah mendongakan
wajah demi mendengar suara dari arah depan. Mataku menangkap seorang nenek tua
dengan wajah sayu membawa tampah besar berisi kankung yang sudah tersusun rapi,
diikat oleh tali rafia.
“Nggak, Nek,” jawab saya pendek. Kemudian kembali menundukan
kepala, menekuri kata demi kata di lembaran buku yang sedang aku baca. Aku tidak
ingin membeli kangkung itu. aku juga sangat yakin Emak tidak akan tertarik
untuk membeli kangkung. Jadi aku tidak perlu repot-repot memanggil emak ke
dalam dan memberitahu beliau bahwa ada penjual kangkung yang menawarkan
dagangannya di depan rumah.
Lagi pula, keluargaku tidak terlalu suka makan sayur mayur,
apalagi kangkung. Maksudku, aku memang kadang makan sayur, tapi jarang. Begitu
juga dengan Emak, Bapak dan adik-adikku.
Karena si nenek penjual kangkung itu yakin bahwa aku tidak
berniat untuk membeli barang satu ikat dari kangkung yang dia jual, dia pun
kembali mengangkat nampah itu dan menjunjungnya di atas kepala. Dia kembali
melangkah pergi sembari berteriak dengan suara yang serak dan lemah. “Kangkung…kangkung….”.
“Dandi! Emak mau beli kangkung. Panggil lagi neneknya!” aku
mendengar teriakan emak dari ruang tengah.
Ya sudah kalau begitu, pikirku. “Nek!” seruku. Memanggil si
nenek yang sudah beberapa langkah menjauhi pagar rumah kami.
Tak berapa lama Emak sudah muncul di pintu depan sembari
membenahi kerudung instan yang dikenakannya dengan terburu-buru.
Nenek penjual kangkung berhenti melangkahkan kaki dan
menoleh. “Mau beli kangkung?”
“Iya nek,” jawab Emak sembari memakai sandal dan bergegas
untuk membuka pintu pagar. Si nenek pun masuk ke dalam halaman dan mengikuti
Emak. Emak kemudian duduk di teras, begitu juga dengan si nenek penjual
kangkung. Dia menyimpan nampah itu di hadapan Emak.
“Mau beli berapa iket, neng? Ini kangkungnya masih
segar-segar lho. Nini baru memetiknya tadi pagi dari halaman rumah,” si nenek
dengan antusias mempromosikan barang dagangannya.
“Beli tiga ikat ya, Nek.” Emak mengambil tiga ikat kangkung,
kemudian menyerahkan uang dua puluh ribuan kepada si nenek.
Si nenek pun menerima uang itu, membuka buntalan tempat menyimpan
uang yang dia selipkan di kain yang dia pakai. “Kembaliannya sebelas ribu ya,
Neng.”
“Kembaliannya buat Nenek saja,” timpal Emak dengan senyuman
lebar.
Nenek penjual kangkung itu mendongak. “Nenek ada uang receh
kok, Neng.”
“Iya, nggak apa-apa, Nek. Kembaliannya buat Nenek saja,”
ulang Emak. Masih dengan senyumannya yang teduh.
“Beneran, Neng?”
“Iya, Nek.”
Ada rona bahagia yang
bisa aku lihat dari sorot mata si nenek. “Terimakasih, Neng. Semoga Gusti Allah
melimpahkan rezeki yang lapang kepada keluarga Eneng.”
“Amiiin…”
Si nenek pun pamit dan kembali melanjutkan langkah kakinya,
menyusuri gang demi gang perumahan. Menawarkan kangungnya dengan suara yang
serak. Kemudian aku berpikir tentang anak cucunya. Dimanakah anak-anaknya
sehingga mereka membiarkan sang ibu menelusuri gang demi gang hanya untuk
mengais recehan? Atau jangan-jangan si nenek tidak memiliki anak dan cucu? Atau
jangan-jangan anak dan cucunya merantau ke kota dan menelantarkan orangtua
mereka? Ah, terlalu kejam jika kenyataannya seperti itu. Atau jangan-jangan
anak si nenek sama miskinnya sehingga mereka tidak mampu memberikan
kesejahteraan kepada orangtua mereka. Anak mana yang tega membuat orangtuanya
terlantar, tapi jika keadaan tidak memberikan kesempatan untuk berbakti, mau
apa lagi? Aku pun yang sampai hari ini masih menganggur setelah enam bulan
wisuda terkadang merasa malu sekaligus merasa bersalah kepada Emak. Tapi aku
bisa apa?
Emak pun berlalu dari teras. Sementara aku tidak berminat
untuk melanjutkan membaca novel. Aku lebih memilih mengikuti Emak ke arah
dapur. Sepertinya Emak sudah mulai sibuk memasak untuk takjil buka puasa.
“Mak, bukannya Emak nggak terlalu suka kangkung?” tanyaku
keheranan. Karena di keluarga kami, tidak ada yang doyan kangkung.
“Nanti Emak kasih ke Mbak Sari.”
Mbak Sari adalah gadis anak tetangga yang biasa bantu-bantu
di rumah kami. Dari mulai mengepel dan mencuci baju, Mak biasanya memakai jasa
Mbak Sari. Bahkan, tidak cukup dengan menggajinya setiap bulan, Emak seringkali
membekali Mbak Sari dengan kue-kue dan lauk ketika gadis itu pulang setelah
menuntaskan tugas hariannya di rumah kami. Lebih-lebih ketika bulan Ramadhan
tiba seperti sekarang ini, Emak akan memasak dua kali lebih banyak dari
biasanya.
“Sebagian kita kasih ke Mbak Sari sama Mang Oding,”
begitulah jawaban Emak ketika aku bertanya, kenapa Emak memasak takjil dengan
porsi yang banyak. Padahal jumlah keluarga kami hanya lima orang. Emak, bapak,
aku dan kedua adikku.
Begitulah, Emak memiliki hati yang bersih dan suci. Dia
seringkali membeli barang-barang bukan karena butuh, tapi karena kasihan kepada
pedagangnya. Emak pernah membeli bunga ros dari lelaki tua yang menjajakan
bunga keliling kampung. Emak bilang, dia merasa kasihan karena lelaki tua itu
masih banyak dagangannya. Emak juga pernah membeli tirai bambu dari penjaja
keliling dengan alasan kasihan. Pun pernah mensol sepatu yang pada dasarnya
tidak perlu disol lagi karena lemnya sudah cukup kuat. Tapi emak berkilah bahwa
dia kasihan sama abang tukang sol sepatu. Di hari yang lain, Emak juga pernah
memborong buah pisang dari seorang pedagang keliling yang tampak sudah renta.
Alasan utama dari semua aktifitas jual beli itu adalah didorong karena rasa kasihan
yang terbit di hati Emak.
“Kalau kasihan, tinggal dikasih duit aja atuh, Mak. Bukan
malah dibeli barangnya. Lagian apa itu nggak mubazir?”
Emak tersenyum. “Para pedagang itu punya kehormatan, Ndi.
Mereka akan senang jika jualannya ada yang membeli. Mereka bukan pengemis yang
minta uang. Justru kalau Emak hanya memberi uang, mereka malu.”
“Terus pisang sebanyak ini mau digimanain? Masa dimakan
semua?”
“Dibagiin ke tetangga lah,” jawab Emak simpul.
Bulan puasa ini, justru emak semakin dermawan dari biasanya.
Suatu hari, Emak memintaku untuk mengantarnya keluar. “Emak mau nyari takjil
buat berbuka puasa.”
Aku pun langsung membawa emak ke alun-alun kota. Biasanya
disana sudah berjajar semua penjual takjil. Tentu saja suasananya ramai dan
riuh oleh penjual takjil dan para pemburu takjil dari berbagai sudut perumahan.
“Ndi, berhenti, Ndi. Emak mau beli Bajigur.”
“Bukannya tadi udah beli?”
“Mau beli lagi. Tuh, yang dipojok itu tuh.” Emak menunjuk
penjual bajigor di pojok alun-alun yang dagangannya sepi. Bahkan gelas-gelas
plastik itu masih penuh di atas meja dagangannya. Padahal dua puluh menit lagi,
adzan maghrib akan berkumandang. Aku juga melihat banyak diantara pedagang yang
sudah berbenah untuk pulang. Aku paham ada rasa belas kasihan yang bersemayam
di hati emak untuk si tukang bajigur itu.
Sungguh, aku telah belajar arti berbagi, empati dan cinta
dari emak. Emak memiliki cinta seluas samudera. Aku juga belajar arti
kedermawanan dari Emak.
Tamansari, 20-04-2021
Edit, Tamansari, 13-04-2022
No comments:
Post a Comment