7 Aug 2020

KEPEDIHAN DAN AIR MATA DALAM CERITA

 Air mata dan penderitaan selalu menjadi unsur yang menarik dalam cerita. Jika tidak percaya, lihatlah bagaimana sinetron-sinetron Indonesia menyajikan kepada kita bagaimana tokoh protagonis sangat menderita oleh orang-orang kejam. Yang bahkan kita berpikir, 'Adakah orang sekejam itu di kehidupan nyata? Mendelikan bola mata dan berbicara sinis di dalam hati. Kemudian para pemirsa yang kebanyakan ibu-ibu akan nangis bombay di depan layar televisi mereka sembari melontarkan sumpah serapah kepada tokoh antagonis. Di sisi lain mereka gemas dengan ketidakberdayaan si tokoh terdzalimi.

Tidak hanya dalam sinetron, di film-film pun kita menemukan air mata. Pun di novel yang kita baca. Jujur, saya sendiri suka memasukan unsur penderitaan yang menjadi muasal terbitnya air mata di cerita-cerita saya. (lebih tepatnya sih sebagian cerita). Puas rasanya ketika ada pembaca yang baper dan ikut menangis setelah membaca karya kita. "Ya ampun...ceritanya bikin gue nangis nih." Serasa udah sukses jadi penulis karena telah memainkan emosi orang lain.

Ada dua alasan kenapa cerita yang berurai air mata selalu sukses.

Pertama, Ada rasa senasib
Banyak diantara masyarakat kita yang mengalami tekanan dan penderitaan dalam kehidupan mereka. Entah itu didzalimi, prahara rumah tangga atau semacamnya. Maka, ketika kita menemukan kisah-kisah sedih tersebut, seakan-akan itu telah mewakili apa yang telah kita alami. Bahkan cerita tersebut menjadi angan-angan dan terkadang inspirasi. Dia berpikir, semoga hidupnya berakhir happy ending (jika memang kisah tragis tersebut berakhir bahagia).

Kedua, karena sisi nurani yang dimiliki oleh setiap manusia
Jika pun ada orang yang merasa hidupnya baik-baik saja, dia menemukan bahwa banyak orang lain yang tidak beruntung dan menderita. Dia melihat realitas tersebut dan cerita-cerita itu mewakili nurani mereka yang terketuk.

Jika kita melihat karya sastra dan perfilman indonesia, kemudian membandingkannya dengan film-film hollywood misalnya. Maka kita akan menemukan ketimpangan yang jauh. Jika penulis barat lebih suka menulis romance orang-orang 'gedean' dan fantasi, maka penulis indonesia suka menulis cerita romance yang sedih, komedi dan religi. sedikit sekali yang menggarap genre Fantasi. Ini sesuai dengan kondisi psikologi masyarakat Indonesia saat ini.

Uniknya, fakta yang sama juga bisa kita temukan dalam sinema bollywood. betapa banyak sinema-sinema bollywood yang menjual kepedihan dan air mata. Entah itu bercerita tentang kedzaliman terhadap orang kecil, ketimpangan sosial, cinta yang kandas atau semacamnya. Tampaknya, kondisi psikologis masyarakat kita tidak jauh beda dengan negeri sakhru khan sana.

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment