Tapi, bagaimana pun juga itu terjadi tadi malam. Ada orang
asing yang tega membuang bayinya tepat di teras rumah partinah. Mungkin jika
bayi itu masih hidup, akan lain lagi ceritanya. Tapi bayi itu sudah dingin. Tak
bernyawa. Bahkan sudah dikerubungi semut.
Sayup-sayup, Partinah mendengar dengungan orang-orang yang
berkerumun di depan rumahnya. Makin hari para tetangganya semakin ramai berkumul.
Bahkan tetangga dari RW sebelah pun ikut datang tersebab rasa penasaran yang
menyebar.
“Kok tega bener ya, ada orang yang buang bayinya. Kejam banget.”
Itu komentar bu Ineu. Tetangga sebelah yang rumahnya terpisah tiga blok dari
rumah Partinah.
“Lha iya, itu sudah pasti bayi hasil hubungan gelap atau
hubungan di luar nikah. Kalau pasangan sah, tidak mungkin berani buang anaknya,
betul nggak sih.” Kali ini bu Rahmat, istri ketua RT setempat ikut menimpali.
“Padahal masih banyak orang yang mengharap kehadiran bayi
karena mandul. Bu partinah contohnya. Lho, bu partinahnya mana, kok nggak
kelihatan.” Timpal yang lainnya. Partinah sendiri tidak yakin siapa yang
mengucapkan. Tapi apa yang orang tersebut bilang benar adanya. Hati Partinah
semakin terasa diiris-iris karena rasa sedih. Benar. kenapa ada orang yang tega
buang bayi yang telah dia kandung, sementara dia sendiri telah belasan tahun
menanti kehadiran seorang anak. Ah, tidak mau terus menerus didera sedih,
Partinah segera keluar menemui para tetangga. “Wah, rame sekali.”
“Oalah, dari tadi kita ngobrol kok ibu masih di dalam.”
“Maklum lah bu, ini nanggung beresin cucian yang menggunung.
Bayinya sudah dibawa tho?” tanya Partinah kemudian. Dia sempat melihat bayi itu
beberapa menit sebelum dia masuk ke dalam rumah untuk menyembunyikan air mata
yang mendesak kedua kelopak matanya. Tapi sekarang dia sudah tidak lagi melihat
kardus mie instan dimana jasad bayi itu berada.
“Sudah dibawa ke kantor polisi. Biasa, nanti diotopsi ke
rumah sakit.” Jawab Bu Rahmat. “Bu partinah semalam nggak denger ada orang
datang?”
“Nggak tuh.” Jawab Partinah. “Memangnya ibu denger?”
“Semalam sih saya denger ada motor masuk gang. Kirain Pak
Tono suami ibu yang kerja lembur baru pulang.”
“Si bapak sejak kemarin nggak masuk kerja karena sakit.” Ujar
Partinah.
“Oh..mungkin suara yang saya kira suara kucing semalam itu
suara bayi ya.” Tiba-tiba Surti berseru.
“Lho, kamu denger tangisan bayi semalam? Kenapa nggak
keluar?”
“Lha iya, kan saya bilang, saya kira itu suara kucing. Tapi kok
saya pikir kenapa suara kucingnya aneh. Karena gantuk saya biarkan saja. Duh
gusti, kalau tahu itu suara bayi, saya keluar semalam. Duh, kok saya jadi ngera
berdosa.” Cerocos Surti dengan nada sedih.
Lambat laun, obrolan semakin mereda karena orang-orang sudah
kembali ke rumah masing-masing dan kembali bercerita tentang bayi di dalam
kardus di rumah mereka. Termasuk Partinah dan suaminya. Tapi kali ini Partinah
terisak sejadi-jadinya.
“Kenapa ya Pak. Tuhan seakan mengejek kita.”
“Hush! Istighfar! Jangan bilang begitu. Istighfar dek.”
Partinah masih terisak. “Lha iya, kita sudah 17 tahun
menanti kehadiran anak dalam hidup kita. Tapi sekarang Allah kirimkan bayi itu
di depan rumah kita. Sayangnya, bayi itu mati.” Bahu Partinah terguncang. Pak Toni
suaminya segera merengkuh bahu istrinya dan menenggelamkannya ke dalam dadanya
yang bidang. “Yang sabar ya dek, ini ujian dari Allah.”
“Andai semalam kita tidak tidur nyenyak. Andai semalam saya
nggak batalin rencana jemur baju di depan, andai semalam saya terjaga,
pasti....”
“Hish! Jangan banyak berandai-andai. Itu perangkap setan
untuk membuat kita selalu mengugat takdir.” Sergah Pak Toni sembari menepuk
pundak istrinya dengan pelan. Tapi isakan tangis Partinah belum juga usai. Masih
terbayang di pepupuk matanya seonggok bayi kecil yang dikerumuni semut dan
lalat tadi pagi.
Tepat pukul 5 pagi selepas shalat subuh tadi, Partinah
selalu beranjak ke teras untuk menjemur pakaian yang telah dia cuci semalam di
jemuran. Tapi langkah Partinah berhenti di ambang pintu karena matanya bersirobok
dengan kardus mie instan yang tergeletak satu meter di hadapannya.
Karena penasaran, Partinah membuka kardus tersebut dan
pemandangan yang paling mendebarkan telah terpampang di hadapannya. Bayi berkulit
putih pucat meringkuk dengan tali pusar yang masih menempel di pusar, lengkap
dengan plasentanya. Yang paling mendebarkan hati Partinah adalah bayi itu tidak
bersuara dan diam. Mati. Partinah menjerit dan suaminya datang, disusul oleh
para tetangga, kemudian pak RT, Pak Rw, hingga akhirnya polisi pun turun tangan
belasan menit kemudian.
“Meoong.....” suara si Belang membuyarkan kesedihan
Partinah. Dia mendongakan kepala dari pelukan sang suami dan menoleh ke asal
suara. Si belang menggesek-gesekan bulunya ke kaki Partinah. Artinya dia lapar.
Selama ini, demi mengobati rasa sepi karena tidak ada kehadiran buah hati,
Partinah memelihara si belang. Bukan hanya si Belang, dia juga memelihara dua
kucing lainnya, si endut dan si tompel. Partinah berpikir, setidaknya ada yang bisa
diajak bermain dan melupakan kesedihan.
Sering. Sering rasanya dia bermimpi punya buah hati. Mendengarkan
tangisan dan celotehan mereka. Jika ia melihat anak-anak tetangga, rasa iri itu
terkadang datang. Kenapa saya tidak punya anak, sementara para tetangga bisa
punya anak? Begitu jerit hati Partinah. Tetapi Pak Toni selalu membesarkan hati
sang istri dengan nasihatnya yang bijak.
Dulu pernah Partinah meminta suaminya untuk Poligami supaya
bisa punya anak dari istri kedua. Tapi Pak Toni bilang, ‘hanya kamu cinta pertama
dan cinta terakhirku.’
“Apakah artinya cinta jika kita tak punya anak!” seru
Partinah dengan suara yang menggambarkan rasa frustasi. Lagi-lagi Pak Toni
membesarkan hati sang istri.”
“Sabar dek, sabar...”
Ya, partinah harus selalu bersabar sepanjang hayatnya. Atau hingga
Tuhan memberikan keajaiban dengan kelahiran anak dari rahimnya yang divonis
mandul. Atau mungkin suatu hari nanti Pak Toni menikah lagi sehingga Partinah
ikut senang dengan kelahiran sang anak dari istri kedua suaminya. Mungkin. Tidak
ada yang tahu jalan takdir. Bahkan untuk hari esok pun, Partinah tidak tahu
tentang batas kesabarannya.
No comments:
Post a Comment