11 May 2020

BAYI DI DALAM KARDUS

Hati partinah benar-benar hancur laksana direcah oleh palu godam. Ia tidak habis pikir bagaimana mungkin ada seorang ibu yang tega membuang darah dagingnya sendiri. apakah sang ibu tidak punya sedikit hati nurani, sementara dalam hidupnya, partinah tidak pernah melihat seekor binatang pun yang tega membuang anaknya yang baru lahir. Termasuk si belang, kucing kesayangannya.

Tapi, bagaimana pun juga itu terjadi tadi malam. Ada orang asing yang tega membuang bayinya tepat di teras rumah partinah. Mungkin jika bayi itu masih hidup, akan lain lagi ceritanya. Tapi bayi itu sudah dingin. Tak bernyawa. Bahkan sudah dikerubungi semut.

Sayup-sayup, Partinah mendengar dengungan orang-orang yang berkerumun di depan rumahnya. Makin hari para tetangganya semakin ramai berkumul. Bahkan tetangga dari RW sebelah pun ikut datang tersebab rasa penasaran yang menyebar.

“Kok tega bener ya, ada orang yang buang bayinya. Kejam banget.” Itu komentar bu Ineu. Tetangga sebelah yang rumahnya terpisah tiga blok dari rumah Partinah.

“Lha iya, itu sudah pasti bayi hasil hubungan gelap atau hubungan di luar nikah. Kalau pasangan sah, tidak mungkin berani buang anaknya, betul nggak sih.” Kali ini bu Rahmat, istri ketua RT setempat ikut menimpali.

“Padahal masih banyak orang yang mengharap kehadiran bayi karena mandul. Bu partinah contohnya. Lho, bu partinahnya mana, kok nggak kelihatan.” Timpal yang lainnya. Partinah sendiri tidak yakin siapa yang mengucapkan. Tapi apa yang orang tersebut bilang benar adanya. Hati Partinah semakin terasa diiris-iris karena rasa sedih. Benar. kenapa ada orang yang tega buang bayi yang telah dia kandung, sementara dia sendiri telah belasan tahun menanti kehadiran seorang anak. Ah, tidak mau terus menerus didera sedih, Partinah segera keluar menemui para tetangga. “Wah, rame sekali.”

“Oalah, dari tadi kita ngobrol kok ibu masih di dalam.”

“Maklum lah bu, ini nanggung beresin cucian yang menggunung. Bayinya sudah dibawa tho?” tanya Partinah kemudian. Dia sempat melihat bayi itu beberapa menit sebelum dia masuk ke dalam rumah untuk menyembunyikan air mata yang mendesak kedua kelopak matanya. Tapi sekarang dia sudah tidak lagi melihat kardus mie instan dimana jasad bayi itu berada.

“Sudah dibawa ke kantor polisi. Biasa, nanti diotopsi ke rumah sakit.” Jawab Bu Rahmat. “Bu partinah semalam nggak denger ada orang datang?”

“Nggak tuh.” Jawab Partinah. “Memangnya ibu denger?”
“Semalam sih saya denger ada motor masuk gang. Kirain Pak Tono suami ibu yang kerja lembur baru pulang.”
“Si bapak sejak kemarin nggak masuk kerja karena sakit.” Ujar Partinah.
“Oh..mungkin suara yang saya kira suara kucing semalam itu suara bayi ya.” Tiba-tiba Surti berseru.
“Lho, kamu denger tangisan bayi semalam? Kenapa nggak keluar?”

“Lha iya, kan saya bilang, saya kira itu suara kucing. Tapi kok saya pikir kenapa suara kucingnya aneh. Karena gantuk saya biarkan saja. Duh gusti, kalau tahu itu suara bayi, saya keluar semalam. Duh, kok saya jadi ngera berdosa.” Cerocos Surti dengan nada sedih.
Lambat laun, obrolan semakin mereda karena orang-orang sudah kembali ke rumah masing-masing dan kembali bercerita tentang bayi di dalam kardus di rumah mereka. Termasuk Partinah dan suaminya. Tapi kali ini Partinah terisak sejadi-jadinya.
“Kenapa ya Pak. Tuhan seakan mengejek kita.”
“Hush! Istighfar! Jangan bilang begitu. Istighfar dek.”

Partinah masih terisak. “Lha iya, kita sudah 17 tahun menanti kehadiran anak dalam hidup kita. Tapi sekarang Allah kirimkan bayi itu di depan rumah kita. Sayangnya, bayi itu mati.” Bahu Partinah terguncang. Pak Toni suaminya segera merengkuh bahu istrinya dan menenggelamkannya ke dalam dadanya yang bidang. “Yang sabar ya dek, ini ujian dari Allah.”

“Andai semalam kita tidak tidur nyenyak. Andai semalam saya nggak batalin rencana jemur baju di depan, andai semalam saya terjaga, pasti....”

“Hish! Jangan banyak berandai-andai. Itu perangkap setan untuk membuat kita selalu mengugat takdir.” Sergah Pak Toni sembari menepuk pundak istrinya dengan pelan. Tapi isakan tangis Partinah belum juga usai. Masih terbayang di pepupuk matanya seonggok bayi kecil yang dikerumuni semut dan lalat tadi pagi.

Tepat pukul 5 pagi selepas shalat subuh tadi, Partinah selalu beranjak ke teras untuk menjemur pakaian yang telah dia cuci semalam di jemuran. Tapi langkah Partinah berhenti di ambang pintu karena matanya bersirobok dengan kardus mie instan yang tergeletak satu meter di hadapannya.

Karena penasaran, Partinah membuka kardus tersebut dan pemandangan yang paling mendebarkan telah terpampang di hadapannya. Bayi berkulit putih pucat meringkuk dengan tali pusar yang masih menempel di pusar, lengkap dengan plasentanya. Yang paling mendebarkan hati Partinah adalah bayi itu tidak bersuara dan diam. Mati. Partinah menjerit dan suaminya datang, disusul oleh para tetangga, kemudian pak RT, Pak Rw, hingga akhirnya polisi pun turun tangan belasan menit kemudian.

“Meoong.....” suara si Belang membuyarkan kesedihan Partinah. Dia mendongakan kepala dari pelukan sang suami dan menoleh ke asal suara. Si belang menggesek-gesekan bulunya ke kaki Partinah. Artinya dia lapar. Selama ini, demi mengobati rasa sepi karena tidak ada kehadiran buah hati, Partinah memelihara si belang. Bukan hanya si Belang, dia juga memelihara dua kucing lainnya, si endut dan si tompel. Partinah berpikir, setidaknya ada yang bisa diajak bermain dan melupakan kesedihan.

Sering. Sering rasanya dia bermimpi punya buah hati. Mendengarkan tangisan dan celotehan mereka. Jika ia melihat anak-anak tetangga, rasa iri itu terkadang datang. Kenapa saya tidak punya anak, sementara para tetangga bisa punya anak? Begitu jerit hati Partinah. Tetapi Pak Toni selalu membesarkan hati sang istri dengan nasihatnya yang bijak.

Dulu pernah Partinah meminta suaminya untuk Poligami supaya bisa punya anak dari istri kedua. Tapi Pak Toni bilang, ‘hanya kamu cinta pertama dan cinta terakhirku.’

“Apakah artinya cinta jika kita tak punya anak!” seru Partinah dengan suara yang menggambarkan rasa frustasi. Lagi-lagi Pak Toni membesarkan hati sang istri.”

“Sabar dek, sabar...”

Ya, partinah harus selalu bersabar sepanjang hayatnya. Atau hingga Tuhan memberikan keajaiban dengan kelahiran anak dari rahimnya yang divonis mandul. Atau mungkin suatu hari nanti Pak Toni menikah lagi sehingga Partinah ikut senang dengan kelahiran sang anak dari istri kedua suaminya. Mungkin. Tidak ada yang tahu jalan takdir. Bahkan untuk hari esok pun, Partinah tidak tahu tentang batas kesabarannya.

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment