Aku tidak pernah diminta untuk memilih antara lahir dari
keluarga kaya atau miskin. Aku juga tidak pernah diminta untuk memilih lahir
sebagai lelaki atau perempuan. Dan yang paling krusial dari semua itu, aku
tidak pernah diberi kuasa untuk memilih lahir sebagai anak dari hasil
pernikahan yang suci, atau lahir sebagai bukti dari hubungan kotor nan nista. Hingga
pada akhirnya mereka lebih suka memanggilku anak jadah.
Jangan tanyakan kepadaku apa arti dari anak jadah. Karena hampir
semua orang tahu siapa Nina. Dia adalah aku yang lahir dari Rahim seorang
perempuan yang konon katanya seorang janda kembang yang seringkali membuat kaum
bapak di kampungku terpana dengan kecantikannya. Perempuan itu Siti, ibuku
sendiri. Masih kata orang, aku juga memiliki kecantikan yang sama persis dengan
kecantikan yang dimiliki ibuku. Ya, aku mewarisi pesonanya, tapi mungkin aku
harus berpikir dua kali untuk mewarisi bagaimana cara dia melahirkan anak. Bahkan
sampai saat ini aku tidak tahu siapa bapakku yang sesungguhnya. Dan setiap kali
aku bertanya kepada ibuku, dia hanya diam membisu. Apakah dia bingung tentang
siapa sebenarnya yang menjadi bapak biologisku?
Jangan terlalu sinis hanya karena aku nyinyir kepada ibuku
sendiri. Karena kenyinyiran ini juga bersumber dari desas-desus tetangga yang
diam-diam aku dengar. Pertama, para ibu itu memperbincangkan tentang ibu dan
aku di meja makan mereka. Disana ada kaum bapak, dan tentu saja putri-putri
mereka yang tidak lain adalah teman sekelasku. Setelah itu mereka akan membawa
percakapan di meja makan itu ke dalam kelas. Sengaja menyindirku habis-habisan.
“Katanya sih bapaknya itu penduduk kecamatan sebelah.” Ujar Ineu
sembari melirikku dengan tatapan penuh ejekan.
“Masa? Tapi ibuku bilang bapaknya tukang obat keliling.” Timpal
si lawan bicara. Siapa lagi kalau bukan Eka. Dia juga menatapku dengan senyuman
tipisnya.
Aku tidak peduli dengan celotehan mereka. Bagiku, semua
komentar nyinyir itu santapan sehari-hari yang aku terima dan bahkan aku sudah
terbiasa dengannya. Mereka bilang aku anak jadah. Gelar itu seakan mencadi cap
yang tidak bisa hilang dari diriku. NINA SI ANAK JADAH.
Terkutuklah mereka yang telah menudingkan jari telunjuknya
kepadaku, melirikku dengan lirikan penuh ejekan dan bergosip kesana kemari
tentang siapa diriku. Terkutuklah kedua orang tuaku. Terkutuklah bapakku yang
sampai sekarang bahkan aku tidak tahu siapa dia, darimana dia berasal dan
bagaimana rupa dia yang sesungguhnya. Terkutuklah ibuku yang karenanya aku
lahir ke dunia ini. Jangan dulu menghakimiku karena telah sembarangan mengutuki
orang-orang yang ada di sekitarku. Aku berhak melakukannya karena mereka telah
meninggalkan beban yang teramat sangat berat aku tanggung sendiri. Ingin rasanya
aku berteriak sekeras-kerasanya dan jika tuhan memberiku pilihan antara
melanjutkan hidup atau mati, maka aku lebih memilih mati saja. Tak berguna
rasanya hidup dengan selalu dihantui jejak noda kedua orang tuaku serta
penghakiman orang-orang yang ada di sekitarku. Aku tidak berhak disalahkan. Aku
bukan anak haram. Aku anak yang lahir karena dikehendaki tuhan. Lalu kenapa
julukan buruk itu mengalungi leherku?
Semua penderitaan itu mencapai puncaknya ketika Enjang
diam-diam mencintaiku. Dia teman sekelasku ketika SMP dulu. Jika aku mau jujur
kepadamu, maka bisa dikatakan dia adalah pahlawan untukku. Enjang selalu
membelaku dan tidak segan-segan memarahi orang-orang yang selalu menghinaku. Dia
tidak pernah sekalipun memanggilku dengan gelar ‘ANAK JADAH, ANAK HARAM’ atau
semacamnya. Dia selalu memanggilku dengan namaku. Bahkan dia selalu memujiku. Katanya
aku gadis yang cantik dan baik hati.
Aku tidak pernah mengenal cinta dan tidak tahu bagaimana
rasanya jatuh cinta hingga pada suatu hari, seminggu setelah kenaikan kelas Sembilan,
Enjang mengungkapkan rasa cintanya kepadaku di ruang perpustakaan yang sepi. Pipiku
memerah dan jantungku berdebar tidak seperti biasanya. Oh, inikah rasanya jatuh
cinta?
Aku tidak ingin memperpanjang cerita dengan mendeskripsikan
hubunganku yang istimewa dengan lelaki yang begitu sempurna di mataku. Enjang
adalah arjunaku yang diturunkan Tuhan untuk menghibur segala kesedihan yang
selama ini bersemayam di hatiku.
“Jangan bersedih Ninaku. Aku akan selalu ada bersamamu.” Lirih
Enjang suatu ketika. Saat itu aku diajaknya pelesiran ke pantai Karang tawulan,
seminggu setelah lebaran.
Tahun berganti, dan kami berdua berpisah karena keadaan yang
menuntut kami untuk tidak selalu bersama. Aku diajak temanku Lastri menjadi
babu di Jakarta. Aku pikir, meski menjadi babu, setidaknya aku bisa merasakan
bagaimana hidup di Jakarta. Dan lebih dari itu aku bisa membantu ibuku. Sementara
Enjang, kabar terakhir yang aku tahu dia mengadu nasib ke Batam dan bekerja di
sebuah pabrik. Entah baprik apa. Sejak saat itu, kami hanya berhubungan lewat
telpon dan SMS yang rutin. Tapi suatu ketika Enjang memintaku untuk membuat
akun facebook. Katanya, dengan facebook dia bisa bercengkrama denganku. Aku menurutinya,
ditemani Lastri, aku datang ke warnet untuk membuat akun facebook demi memenuhi
permintaan kekasihku. Benarlah apa yang dikatakan Enjang, semenjak itu aku dan
Enjang bisa berhubungan lebih instens. Aku bisa melihat wajahnya yang ganteng
di facebook, bahkan kami bisa berbagi foto di pesan.
Hingga suatu hari, Enjang tiba-tiba memintaku untuk menolongnya.
Aku mengerutkan kening. Apa yang bisa aku lakukan?
“Aku butuh bantuanmu.”
“Apa?”
Tak berapa lama dia mengirimkan sebuah foto yang aku tidak
bisa mendeskripsikannya di sini. Ya Tuhan, Enjangku ternyata tidak sebaik yang
aku bayangkan. Dia mengirimkan gambar tak senonoh sampai-sampai aku menjerit
saking kagetnya.
“Sekarang giliranmu, kirimkan gambarmu yang paling hot.”
Aku seakan menjadi terasing. Dia bukan seperti yang selama
ini aku kenal.
“Aku tidak mau.” Jawabku.
“Apakah kamu mencintaiku?” dia bertanya tentang cinta antara
kami berdua.
“Ya.”
“Kalau begitu lakukan.”
Karena dia bilang cinta, maka aku melakukannya. Sekali lagi
aku minta kepadamu untuk tidak menghakimiku.
Setahun kemudian Enjang tidak lagi di batam. Satu hari yang
paling membahagiakan adalah ketika dia mengirim pesan lewat facebook bahwa dia
pindah ke ibukota.
‘Aku sekarang bekerja sebagai security di bank.” Aku Enjang
kepadaku. ‘Jadi, kita bisa bertemu, sayangku.’
Sejak saat itu, kami berdua selalu bertemu di monas dan
saling melepas rindu. Semua kebersamaan itu selalu berakhir di atas ranjang
Enjang di rusun kumuh yang berada di bilangan kebayoran.
Awalnya aku tidak mau
menuruti kehendaknya. Tapi dia bilang dia sangat mencintaiku dan tidak ada
perempuan yang paling dia cintai di dunia ini selain diriku. Aku terharu. Begitu
besarnya cinta Enjang kepadaku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain
dirinya. Betapa aku menjadi gadis tak tahu berterimakasih jika aku tidak bisa
membahagiakan Enjang.
Dua tahun lamanya aku menjalani kehidupan yang aku anggap
sebagai episode terindah dalam hidupku. Hingga badai kepedihan itu datang
dengan tiba-tiba. Semua bermula dari sebuah postingan di facebook Enjang. Dia yang
selama ini mengatakan hanya aku satu-satunya wanita yang dia cinta tengah
berduaan dengan seorang gadis cantik.
‘Siapa dia?’ tanyaku dengan hati yang ketar-ketir. Jangan-jangan
Enjangku sudah kepincut wanita lain.
‘Vera.’
‘Siapa Vera?’
‘Teman.’ Jawabnya singkat. Tapi aku tidak percaya mereka
hanya sekedar teman. Karena dari hari ke hari mereka semakin terlihat mesra
satu sama lain. Hingga pada akhirnya Enjang mengungkapkan semuanya. Kami bertemu
di tempat yang sama seperti pertemuan pertama kami di ibukota. Monas.
“Sepertinya kita harus berpikir ulang. Aku tidak mungkin
bisa menikah denganmu.”
“Kenapa?”
“Karena itu tidak
mungkin. Ibuku melarangku untuk menjalin hubungan denganmu. Kamu harus
mengerti, Nina. Bagi seorang anak, ibu harus menjadi nomor satu dalam urusan
apa pun. Kecuali jika kau ingin dikatakan sebagai seorang anak pembangkang.”
Aku tidak peduli dengan penjelasannya. Toh aku juga bisa
membangkang kepada ibuku. Tapi aku bisa
apa?
Sejak saat itu, aku tidak lagi berpikir dengan Enjang dan
berusaha melupakannya, meski tidak mudah.
Satu tahun setelah itu aku pulang dari Jakarta, aku
berkenalan dengan seorang pria yang usianya selisih 20 tahun denganku. Aku tidak
peduli. Setelah pengalaman burukku dengan Enjang, kupikir menjalin hubungan
dengan lelaki dewasa lebih menguntungkan. Pria dewasa bisa dipercaya dan lebih
matang. Dan tentunya tidak seperti Enjang yang masih berlindung di ketiak
ibunya. Nama lelaki itu Hamid. Seorang lelaki yang tampan meski garis-garis
usia sudah Nampak tergurat di wajahnya. Tapi aku lebih berhati-hati supaya
tidak jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Enjang telah memanfaatkan
keluguanku dengan merenggut keperawanan dan kehormatanku. Jadi, aku tidak akan
menyerahkan apa pun kepada Hamid sebelum dia benar-benar tulus dengan cintanya.
Bahkan aku tidak pernah memberitahukan perihal hubunganku dengan Hamid kepada
ibu. Tidak seperti halnya Enjang yang bahkan hampir setiap pekan ibu selalu
menanyakan tentang hubungan kami berdua.
Hingga suatu ketika bencana kedua datang ketika tiba-tiba
ibu datang menemuiku dengan roman muka yang tidak seperti biasanya.
“Nin, maafkan ibu ya. Selama ini ibu tidak pernah
memberitahu siapa ayahmu.”
“Tidak penting bu.” Jawabku pendek. Aku bahkan sudah
melupakan itu dan tidak lagi berpikir tentang ayahku. Untuk apa? Itu semua
tidak pernah mengubah fakta bahwa aku tetap saja sebagai seorang anak jadah.
“Tapi setidaknya kamu harus tahu siapa bapakmu, Nin.” Jawab ibu.
Dia kemudian beranjak dari sampingku. Tak berapa lama kemudian dia menggenggam
sebuah potret yang sudah lusuh dan mengangsurkannya kepadaku. “Dulu, ibu dan
dia sudah saling jatuh cinta, tapi dia meninggalkan ibu.”
Deg! Tiba-tiba jantungku seakan berhenti berdetak. Aku kenal
wajah yang ada di potret lusuh itu. Itu wajah Hamid. Ah tidak! Lagi pula lelaki
di foto itu tampak lebih muda. Rambut hamid sudah dihiasi sedikit uban,
sementara lelaki di foto itu masih segar. Tapi waktu 20 tahun sudah berlalu,
kan?
“Siapa namanya?” tanyaku.
“Hamid!” jawab ibuku.
Aku terkesiap
No comments:
Post a Comment