Saya menghela napas dan tersenyum di kulum. Ok,
saya nggak membaca isi beritanya karena dari judulnya saja saya sudah tahu atau
mencoba menebak apa isi berita tersebut. Lagi pula masih banyak urusan lain
yang harus saya kerjakan yang lebih penting dibanding menekuri gosip-gosip
selebriti yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Apa sih manfaatnya ketika kita
tahu si nganu nggak bisa mengupas salak, si eneng habis miliaran rupiah untuk
oplas, si ijah cerai dengan suaminya, si minah habis lahiran anak pertama, dan
si nenok putus dengan pacar ketiganya. Haduhh...
Oke, kembali ke si fulanah yang kembali jadian
sama si fulan, mantan pacarnya. Saya jadi mikir gini, kok dia nggak ubahnya
seperti piala bergilir ya. Abis putus sama si A, jadian sama si B, abis selesai
sama si B, jadian sama yang disana, abis yang disana bosen, mencari orang di
situ. Kamu jadinya nggak ada bedanya kayak piala bergilir. Murah boo...
===
Sindiran Pengantin Baru
Alkisah, di sore hari yang mendung dan sedikit
gerimis saya menghabiskan waktu dengan scrolling beranda Facebook saya.
Jarang-jarang lho saya scrolling beranda facebook mengingat saya tipe orang
yang sangat menghargai waktu dan mengangap aktifitas di media sosial itu bisa
menghabiskan waktu produktif kita... (ehm).
Eh, mari kita kembali ke kisah. Di tengah
aktifitas mengintip belantara beranda yang ramainya naudzubillah itu, saya
merasa tertarik dengan satu status. Lebih tepatnya bukan tertarik sih, tapi
tersindir. Ya, jati diri kejombloan saya tersindir oleh status seorang teman
medsos yang baru hari kemarin nikah. Dan pasangannya beda jenis lah. (saya
harus tegaskan mengingat LGBT telah merebak, eh)
Si teman mengunggah foto mesra dengan suami
barunya (ini tokohnya cewek ya) dengan senyum mereka yang merekah. Tanpaknya
efek malam pertama benar-benar membuat mereka melayang-layang hingga mereka
tidak sabar untuk mengunggah kebahagiaan mereka di media sosial.
Lihat apa yang dia tulis di statusnya,
“Alhamdulillah, sekarang bangun tidur bisa menemukan seseorang yang memberi
kita senyum terindah di samping kita. Kamu kapan seperti ini.”
Makanlah kebahagiaanmu jeng. Tak perlu
menyindir-nyindir kita para jomblo yang belum ditakdirkan menemukan belahan
jiwa sepertimu.
Oh, saya barusaja marah, dan saya bisa kembali
meredam rasa kesal saya. Buktinya, saya pungkas tulisan ini dengan caption J
===
===
KISAH LAYANGAN PUTUS DAN JAHATNYA PARA NETIJEN
Saya awalnya mengira kisah layangan putus itu cerita
anak-anak yang mengejar layangan putus di lapangan. Ehehe. Tapi kok semakin
hari beranda saya semakin rame dengan emak-emak yang berkomentar tentang
layangan putus dan poligami. Karena didorong rasa penasaran, saya pun mencari
tahu lewat google. Dan jreng…muncullah kisah yang membuat saya melongok.
Jujur, saya ikut merasa miris dan prihatin terhadap sang
korban. Saya juga ikut kesal dengan sang suami tak bertanggung jawab tersebut
(jika memang cerita ini benar adanya mengingat sampai saat ini belum ada
tanggapan dari pihak yang menjadi bulan-bulanan para netijen). Bahkan sampai-sampai,
akun youtube dan instagram sang ‘pelaku’ yang isinya muratal dan ayat suci,
penuh dengan sampah hujatan, ghibahan dan cacian. Ya Ilahi….
Kisah layangan putus menjadi bukti betapa jahatnya komentar
para netijen dan betapa besarnya jiwa detektif emak-emak. Btw, saya tidak ingin
membahas kisahnya, apalagi komentar para emak. Semua sudah mafhum adanya.
Hanya saja, saya ingin mencoba mengulik pelajaran dari kisah
sang Mommy. Ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari kisahnya yang viral.
Pertama, setiap manusia punya salah dan punya peluang untuk
salah. Maka tak layak menghujat orang yang berbuat salah. Jangan mentang-mentang
pelaku seorang yang terlihat agamis, maka nyinyiran kita berlipat ganda
kepadanya.
Kedua, hendaknya ini menjadi cermin untuk menjaga diri,
apalagi bagi para publik figure yang notabene menjadi sorotan dan teladan
khalayak ramai.
Ketiga, sebejat-bejatnya dia, kita tidak tahu bisa jadi dia
telah bertaubat dari dosanya. Kita terus menghujat, dia beroleh Rahmat, kita
menabung laknat.
Keempat, semoga ini menjadi pelajaran buat para suami untuk
bersikap adil. Saya berharap, jika saya kelak menjadi suami, saya tidak berbuat
dzalim terhadap anak istri saya. (Sekali lagi jika kisah ini benar)
Kelima, untuk para netijen, tahanlah diri kalian. Apa untungnya
mengomentari kehidupan rumah tangga orang lain dan mencaci sana sini sementara
disaat yang sama, sang penulis kisah (korban) tidak melakukan hal yang sama.
Mommi Asf tidak mencaci suaminya, tidak juga istri keduanya, dia hanya curhat
lewat tulisan sebagai healing bagi jiwanya. Bahkan, ketika ceritanya semakin
viral, Mommi Asf lebih memilih menghapus ceritanya.
Semoga kita bisa mengambil pelajaran.
Sekian.

No comments:
Post a Comment