Abdullah dikenal sebagai seorang pemuda yang rajin beribadah. Akan tetapi dia kurang memiliki adab yang baik. Dikisahkan pada suatu hari dia pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat dzuhur berjamaah.
Di tengah perjalanan dia melihat seorang lelaki yang berada di atas pohon kurma. Lelaki itu sedang memanen kurmanya yang ranum dan lebat. Abdullah merasa heran karena lelaki itu tidak berhenti dari pekerjaannya untuk shalat. Padahal adzan sudah berkumandang lima menit yang lalu. Seakan-akan orang itu tidak peduli dengan shalat berjamaah.
Maka Abdullah pun berteriak, “Hei! Turun! Mari kita shalat!
Si lelaki tadi menjawab dengan acuh, “Ya…ya…sebentar lagi.”
Kemudian Abdullah menghardik, “Cepat! Shalatlah wahai keledai!!”
Si lelaki yang bertengger di atas pohon serta merta naik pitam. Dia marah disebut sebagai keledai. “Apa kau bilang?!” serunya sembari turun dari pohon kurma. Dia memegang satu pelepah kurma untuk memukul Abdullah.
Abdullah pun segera lari dari bawah pohon kurma sembari menutup mukanya dengan kain sorban. Dia yakin orang itu tidak melihat wajahnya.
Singkat cerita, waktu ashar pun tiba dan Abdullah kembali lewat di tempat tersebut. Dia masih melihat lelaki itu masih memanen kurmanya. Kali ini Abdullah mengajaknya dengan cara yang berbeda.
“Assalamu alaikum. Bagaimana kabarmu?” sapa Abdullah sembari tersenyum.
“Alhamdulillah, aku baik-baik saja.” jawab si lelaki dari atas pohon.
“Omong-omong, bagaimana hasil panen kurmamu tahun ini?” tanya Abdullah berbasa-basi.
Lelaki itu menjawab pendek. “Alhamdulillah.”
Abdullah kembali berkata, “Semoga Allah memberkahi rezekimu dan membalas kerja kerasmu untuk menafkahi keluargamu. Semoga Allah memberi kamu taufik.”
Orang tersebut merasa gembira telah didoakan oleh Abdullah. Dia mengaminkan doa Abdullah dan mengucapkan terimakasih.
Kemudian Abdullah berkata kepadanya, “Ngomong-ngomong, ini sudah masuk waktu shalat ashar. Sebentar lagi iqomah. Sebaiknya engkau menghentikan dulu pekerjaan dan ke masjid bersama saya. Saya tertarik ngobrol bersama kamu.”
“Insya Allah, Insya Allah,” jawab lelaki itu dengan agak malu.
Si lelaki pun segera turun dan menyalami Abdullah dengan senyuman yang lebar. Dia berkata, “Terimakasih, kamu pemuda yang baik dan beradab. Adapun siang tadi, ada pemuda seusia kamu yang buruk akhlaknya. Jika aku menemukan dia, sudah aku hajar mukanya.”
Abdullah tersenyum, andai lelaki itu tahu bahwa dia adalah orang yang sama, tentu dia celaka.
Dari kisah ini kita bisa mengambil pelajaran bahwa akhlak yang baik adalah hiasan bagi setiap pribadi muslim. Terkadang, seorang yang giat beribadah tidak memiliki nilai apa pun di mata orang-orang selama dia jauh dari akhlak yang baik. Karena memang, akhlak yang baik juga termasuk ibadah dan amal yang paling utama.
Mari kita benahi diri kita. Semoga kita selalu menjadi pribadi yang memiliki akhlak yang agung.
Wallahu a’lam
Artikel ini pernah dimuat di plukme dengan alamat >> https://www.plukme.com/post/sikap-sebagai-kuncinya-5bb701263e533
=
Suatu hari seorang tukang kayu yang buta huruf menerima sepucuk surat. Karena ia buta huruf, maka ia tergesa-gesa menuju ke penjual daging kenalannya, yang punya watak keras untuk minta tolong membacakan surat…
“Ini surat dari putramu”, seru si tukang daging. “Begini bunyinya, Ayah aku sakit dan tidak punya uang sesenpun, tolong kirimkan aku sejumlah uang sesegera mungkin… putramu…”
Dibacakan dengan keras dan kasar oleh si tukang daging. Tukang kayu menjadi marah, ia berkata, “Dasar anak tak tahu diri…!! Memangnya dia siapa memerintah aku, ayahnya…!? Jangan kira aku akan mengirimi dia sesenpun…”
Dalam kemarahannya ia kembali ke rumah, tapi di perjalanan ia bertemu sahabatnya, Seorang penjahit yang bersuara lembut.
Ia pun bercerita tentang surat yang tadi.
“Coba kau lihat sendiri surat putraku ini…”
Penjahit itu lalu membaca surat itu dengan suaranya yang lembut, tenang, dan jelas…
Tiba-tiba surat itu berbunyi sangat lain, si Tukang kayu itupun menjadi sedih “Oh anakku malang…!!”, katanya dengan cemas…
“Ia pasti sangat menderita, lebih baik aku segera mengirimnya uang sekarang juga…”
Memang benar…! Pesan sangat tergantung pada cara penyampaiannya…
“Bila kita renungkan, konflik yang sering terjadi antara pasangan, sahabat, rekan kerja, sering bukan karena ada masalah besar dan rumit yang tidak bisa dipecahkan. Namun karena kita tidak dapat mengatur cara kita menyampaikannya…”
“Terutama saat kita tidak setuju, lalu menyampaikannya dengan sikap lebih sabar, ramah, lembut, maka yang mendengarnya akan mudah menerima dan tidak akan terjadi pertentangan…”
=
Cara membaca pesan
Suatu hari seorang tukang kayu yang buta huruf menerima sepucuk surat. Karena ia buta huruf, maka ia tergesa-gesa menuju ke penjual daging kenalannya, yang punya watak keras untuk minta tolong membacakan surat…
“Ini surat dari putramu”, seru si tukang daging. “Begini bunyinya, Ayah aku sakit dan tidak punya uang sesenpun, tolong kirimkan aku sejumlah uang sesegera mungkin… putramu…”
Dibacakan dengan keras dan kasar oleh si tukang daging. Tukang kayu menjadi marah, ia berkata, “Dasar anak tak tahu diri…!! Memangnya dia siapa memerintah aku, ayahnya…!? Jangan kira aku akan mengirimi dia sesenpun…”
Dalam kemarahannya ia kembali ke rumah, tapi di perjalanan ia bertemu sahabatnya, Seorang penjahit yang bersuara lembut.
Ia pun bercerita tentang surat yang tadi.
“Coba kau lihat sendiri surat putraku ini…”
Penjahit itu lalu membaca surat itu dengan suaranya yang lembut, tenang, dan jelas…
Tiba-tiba surat itu berbunyi sangat lain, si Tukang kayu itupun menjadi sedih “Oh anakku malang…!!”, katanya dengan cemas…
“Ia pasti sangat menderita, lebih baik aku segera mengirimnya uang sekarang juga…”
Memang benar…! Pesan sangat tergantung pada cara penyampaiannya…
“Bila kita renungkan, konflik yang sering terjadi antara pasangan, sahabat, rekan kerja, sering bukan karena ada masalah besar dan rumit yang tidak bisa dipecahkan. Namun karena kita tidak dapat mengatur cara kita menyampaikannya…”
“Terutama saat kita tidak setuju, lalu menyampaikannya dengan sikap lebih sabar, ramah, lembut, maka yang mendengarnya akan mudah menerima dan tidak akan terjadi pertentangan…”
No comments:
Post a Comment