Saya Nggak Suka Film Indonesia, Tanya Kenapa?
To be Honest, saya sebenarnya bukan penyuka film karya
sineas Indonesia (jangan kau katakan saya orang yang nggak cinta produk anak
bangsa). Tanya kenapa? Karena –ini menurut saya dan bisa saja kamu memiliki pandangan
berbeda- film karya sineas kita kurang greget dan kurang kreatif (jika tidak
boleh dikatakan tidak kreatif sama sekali).
Tapi, terlepas dari semua itu, saya tidak sepantasnya
mengatakan bahwa semua film Indonesia dibawah rata-rata. Ada beberapa film yang
mengambil hati saya seperti Larkar Pelangi dengan Tetraloginya, Ayat-Ayat Cinta
1 (Saya tidak mention AAC 2 karena secara kualitas jauh banget dari AAC 1, kok
kesannya kayak sinetron dan terlalu dramatis banget), dan Filosofi Kopi.
Nah kali ini saya akan mencoba mereview film Filosofi Kopi.
Sebenarnya telat banget ya saya review film yang satu ini, mengingat film ini
udah tayang sejak 2015 dulu. Tapi berhubung baru tadi pagi saya nonton, ya udah
saya review sebagai jejak.
Prinsip saya, saya hanya mau mereview film atau buku yang
menurut pertimbangan opini saya bagus dan layak ditonton, (lagian siapa yang
ngarep filmnya direview oleh seorang Husni J)
Filosofi Kopi, Memberi Makna Kehidupan Lewat Secangkir Kopi
Filosofi kopi adalah film yang diangkat dari buku karya Dee
Lestari dengan judul yang sama. Film ini mengisahkan perjalanan dua orang
sahabat bernama Ben dan Jodi dalam menjalankan usaha kedai kopi mereka. Jodi
yang perhitungan dan kalem, serta Ben yang grasa grusu dan temperamen adalah
dua karakter yang melengkapi satu sama lain, terlepas dari perbedaan yang
sangat kentara diantara mereka, mereka tetap bisa bersahabat. Yah, meski dengan
dibumbui oleh percekcokan, tapi pada akhirnya, yang namanya persahabatan tetap
harus dipertahankan. Itulah pesan moral sekaligus kesan pertama yang saya
tangkap dari Filosofi Kopi.
Melalui film ini diajarkan juga bahwa semua impian bisa
terwujud, jika kita bekerja keras setiap harinya. Seperti Ben yang membutuhkan
usaha sangat keras untuk bisa mencipta kopi ‘Ben Perfecto’. Terlihat juga bahwa
passion Ben dalam kopi, mendorongnya bisa menciptakan kopi yang nikmat serta
telah diakui banyak orang.
Tapi kerja keras saja tidaklah cukup, dukungan orang
terdekat bisa membantu kita dalam mewujudkan impian. Misalnya ketika sudah
bersusah payah menciptakan Ben Perfecto, Ben dikejutkan dengan kemunculan Kopi
Tiwus yang ternyata lebih enak dibandingkan dengan kopi buatannya.
Dari awalnya diremehkan, keberadaan Kopi Tiwus akhirnya
membuat Ben merasa tidak pantas menjadi Barista. Dalam keadaan terburuk ini,
kepercayaan dan dukungan dari Ayah dan sahabatnya, Jodi, Ben kembali percaya
diri dan bersemangat membuat Kopi.
Perjalanan itulah yang membuat para penggemar film Filosofi
Kopi, terutama anak muda agar menghargai kopi Indonesia serta menumbuhkan
semangat mereka untuk mewujudkan impian mereka layaknya Ben dan Jodi.
Dan yang pasti dari film ini saya menemukan filosofi saya
sendiri dari obrolan para tokohnya. Intinya, selera orang itu berbeda-beda
termasuk dalam masalah kopi. Bisa jadi seseorang mengatakan kopi A itu kopi
paling enak, tapi yang lain bilang kopi B kopi terenak yang pernah dia temukan.
Begitulah kehidupan, selalu ada pro dan kontra. Jangan tanyakan mana kopi
terenak, tapi tanyakan bagaimana cara kita menyajikan dan menikmati kopi. Yaitu
dengan cinta.
Termasuk dalam urusan film seperti yang saya singgung di
awal. Bisa saja saya mengatakan film karya sineas indonesia kurang menarik,
tapi tidak buat kamu. Ya itu sah-sah saja. yang paling penting, kita sama-sama
penyuka film. Gitu tho?
Kamu penasaran mau nonton filmnya?
No comments:
Post a Comment