14 Oct 2018

Review Film 'Filosofi Kopi.' Memaknai Persahabatan dan Idealisme dari Secangkir Kopi



Saya Nggak Suka Film Indonesia, Tanya Kenapa?

To be Honest, saya sebenarnya bukan penyuka film karya sineas Indonesia (jangan kau katakan saya orang yang nggak cinta produk anak bangsa). Tanya kenapa? Karena –ini menurut saya dan bisa saja kamu memiliki pandangan berbeda- film karya sineas kita kurang greget dan kurang kreatif (jika tidak boleh dikatakan tidak kreatif sama sekali).

Tapi, terlepas dari semua itu, saya tidak sepantasnya mengatakan bahwa semua film Indonesia dibawah rata-rata. Ada beberapa film yang mengambil hati saya seperti Larkar Pelangi dengan Tetraloginya, Ayat-Ayat Cinta 1 (Saya tidak mention AAC 2 karena secara kualitas jauh banget dari AAC 1, kok kesannya kayak sinetron dan terlalu dramatis banget), dan Filosofi Kopi.

Nah kali ini saya akan mencoba mereview film Filosofi Kopi. Sebenarnya telat banget ya saya review film yang satu ini, mengingat film ini udah tayang sejak 2015 dulu. Tapi berhubung baru tadi pagi saya nonton, ya udah saya review sebagai jejak.

Prinsip saya, saya hanya mau mereview film atau buku yang menurut pertimbangan opini saya bagus dan layak ditonton, (lagian siapa yang ngarep filmnya direview oleh seorang Husni J)

Filosofi Kopi, Memberi Makna Kehidupan Lewat Secangkir Kopi


Filosofi kopi adalah film yang diangkat dari buku karya Dee Lestari dengan judul yang sama. Film ini mengisahkan perjalanan dua orang sahabat bernama Ben dan Jodi dalam menjalankan usaha kedai kopi mereka. Jodi yang perhitungan dan kalem, serta Ben yang grasa grusu dan temperamen adalah dua karakter yang melengkapi satu sama lain, terlepas dari perbedaan yang sangat kentara diantara mereka, mereka tetap bisa bersahabat. Yah, meski dengan dibumbui oleh percekcokan, tapi pada akhirnya, yang namanya persahabatan tetap harus dipertahankan. Itulah pesan moral sekaligus kesan pertama yang saya tangkap dari Filosofi Kopi.

Melalui film ini diajarkan juga bahwa semua impian bisa terwujud, jika kita bekerja keras setiap harinya. Seperti Ben yang membutuhkan usaha sangat keras untuk bisa mencipta kopi ‘Ben Perfecto’. Terlihat juga bahwa passion Ben dalam kopi, mendorongnya bisa menciptakan kopi yang nikmat serta telah diakui banyak orang.

Tapi kerja keras saja tidaklah cukup, dukungan orang terdekat bisa membantu kita dalam mewujudkan impian. Misalnya ketika sudah bersusah payah menciptakan Ben Perfecto, Ben dikejutkan dengan kemunculan Kopi Tiwus yang ternyata lebih enak dibandingkan dengan kopi buatannya.

Dari awalnya diremehkan, keberadaan Kopi Tiwus akhirnya membuat Ben merasa tidak pantas menjadi Barista. Dalam keadaan terburuk ini, kepercayaan dan dukungan dari Ayah dan sahabatnya, Jodi, Ben kembali percaya diri dan bersemangat membuat Kopi.

Perjalanan itulah yang membuat para penggemar film Filosofi Kopi, terutama anak muda agar menghargai kopi Indonesia serta menumbuhkan semangat mereka untuk mewujudkan impian mereka layaknya Ben dan Jodi.

Dan yang pasti dari film ini saya menemukan filosofi saya sendiri dari obrolan para tokohnya. Intinya, selera orang itu berbeda-beda termasuk dalam masalah kopi. Bisa jadi seseorang mengatakan kopi A itu kopi paling enak, tapi yang lain bilang kopi B kopi terenak yang pernah dia temukan. Begitulah kehidupan, selalu ada pro dan kontra. Jangan tanyakan mana kopi terenak, tapi tanyakan bagaimana cara kita menyajikan dan menikmati kopi. Yaitu dengan cinta.

Termasuk dalam urusan film seperti yang saya singgung di awal. Bisa saja saya mengatakan film karya sineas indonesia kurang menarik, tapi tidak buat kamu. Ya itu sah-sah saja. yang paling penting, kita sama-sama penyuka film. Gitu tho?

Kamu penasaran mau nonton filmnya?

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment