Kita akan selalu merasa tentram dan bahagia ketika kita mengetahui
bahwa orang-orang yang kita cintai merasakan kebahagiaan dan tidak kekurangan
satu hal apa pun. Kita jauh dari rasa khawatir ketika orang yang kita cintai
tidak merasa takut dalam menjalani kehidupannya.
Oleh karena itulah seorang ayah akan rela bekerja banting tulang
demi menghidupi keluarga tercintanya, demi membiayai pendidikan anak
tercintanya dan demi membelikan baju baru untuk mereka. Seorang lelaki akan
tersenyum ketika melihat anak istrinya tersenyum puas karena jerih payahnya.
Seorang lelaki akan merasa bahagia ketika mampu membelikan hadiah
ulangtahun anaknya, membelikan cincin untuk istrinya dan mengirim uang bulanan
untuk orang tuanya.
Seorang ibu akan merasa bahagia ketika melihat anak-anaknya tidur
nyenyak. Oleh karena itulah kita dapati ada ibu yang rela tidak tidur demi
mengusir nyamuk-nyamuk yang mengganggu ketenangan bayinya. Seorang ibu juga
rela bangun untuk mengganti popok bayinya yang basah. Ia rela mengorbankan
kebahagiaannya demi si buah hati. Karena justru kebahagiaan itu datang ketika
dia melihat mata buah hatinya.
Mungkin inilah yang menjadi sebab kenapa ikatan batin seorang anak
kepada orang tua, terkhusus kepada ibu begitu kuat. Seakan ikatan itu tidak
akan pernah putus, dan tak ada yang bisa memutuskannya meski ajal menjemput.
Saya jadi teringat masa ketika saya harus berpisah dengan orang tua
saya dulu. Waktu itu saya berniat melanjutkan sekolah menengah ke pondok
pesantren. Saya tertarik dengan cerita teman-teman saya bahwa ternyata mondok
itu sangat mengasyikan.
Mau tak mau saya harus berpisah dengan ayah dan ibu saya.
Perpisahan yang begitu menyakitkan dan selama dua minggu lamanya saya tidak
bisa move on. Mungkin ibu saya juga merasakan hal yang sama.
Setiap sepekan sekali saya rutin menghubungi ibu lewat telpon milik
pesantren. Yang pertama kali ditanyakan oleh ibu atau ayah saya adalah kabar
saya. Berbicara tentang menanyakan kabar, maka ini adalah indikasi bahwa kabar
itu sangat penting bagi orang-orang tercinta. Saling bertanya kabar adalah cara
lain untuk menerbitkan kebahagiaan. Ketika kita mendengar bahwa kabar orang
yang kita cintai baik, kita pun akan bernafas lega.
Selain bertanya kabar, ada kalimat khusus yang sering dilontarkan
ibu saya. Dia selalu bertanya, “Husni, kamu betah disana?’
Maka saya akan menjawabnya, “Alhamdulillah bu, saya betah disini.
Ibu nggak usah khawatir.”
Kemudian setelah itu ibu juga bertanya, “Bekalmu masih ada? jika
sudah habis nanti ibu kirim.”
Dari sini saya bisa menyimpulkan dua hal,
Pertama, seseorang akan selalu khawatir dengan keadaan orang yang
dicintainya sehingga dia selalu memastikan bahwa orang yang dia cintai
baik-baik saja. itulah yang ayah dan ibu saya lakukan ketika menelpon saya di
setiap pekan.
Kedua, seseorang tidak ingin membuat khawatir orang yang dia cintainya
sehingga dia rela menutupi penderitaannya demi menenangkan hati orang yang
dicintainya. Itulah yang saya lakukan kepada orang tua saya. Ketika mereka
menanyakan kepada saya, apakah saya betah tinggal di pondok pesantren. Maka
saya harus berbohong dengan mengatakan saya betah tinggal di pesantren. Padahal
sejatinya, di awal-awal saya mondok, saya merasa tersiksa dengan
peraturan-peraturan yang mengekang. Saya juga harus beradaptasi dengan
kebiasaan baru seperti bangun dini hari atau serba mengantri. Ngangtri di kamar
mandi dan di dapur adalah hal yang membuat saya tidak suka. Tapi saya tidak
akan pernah menceritakan itu semua kepada orang tua saya. Karena saya ingin
mereka bahagia. Karena saya ingin mereka tidak mengkhawatirkan saya. Saya ingin
mereka tidur nyenyak. Biarlah saya membebani mereka dengan biaya sekolah yang
harus dibayar. Saya tidak akan menambah beban mereka dengan harus menceritakan
semua penderitaan saya.
Selain kisah di pondok, ada kisah lainnya yang sayang untuk tidak
saya tulis disini. Di pertengahan tahun 2015 saya mengikuti program beasiswa
dari salah satu pondok pesantren di Bogor. Pondok pesantren tersebut memberikan
beasiswa full untuk program S1. Saya merasa inilah peruntungan nasib saya.
Tapi sayangnya, selama empat bulan saya menjalani program pondok
pesantren tersebut, saya merasa tidak puas dan mencoba untuk keluar dan mencari
beasiswa lain. Saat itu saya menceritakan semua kegundahan saya kepada adik
pertama saya yang sama-sama mondok di Tasikmalaya. Tentu saja saya tidak menceritakan
kegundahan saya kepada ibu dan ayah saya. Lagi-lagi alasannya satu; tidak ingin
membuat mereka khawatir.
Mungkin kamu bertanya-tanya, apakah saya tidak mencintai adik saya?
Apakah saya tidak takut adik saya khawatir sehingga berani bercerita kepada
adik saya? Well, ini pertanyaan sulit. Yang jelas saya mencintai adik saya dan
percaya kepadanya. Karena itulah saya curhat kepadanya.
Tapi Alhamdulillah ala kuli hal, walaupun saya berniat untuk keluar
dari pondok, saya berusaha menahan gejolak di hati saya. Ada teman-teman yang
mencoba membujukku untuk bertahan, dan sekarang saya merasa bersyukur karena
saya tidak jadi menuruti hasrat saya.
Kelak, ibu saya tahu bahwa saya pernah curhat kepada adik saya
tentang keinginan saya untuk keuar dari pondok. Ibu menyinggungnya dengan tawa
kecil ketika kami berbicara di telpon di musim hujan tahun lalu.
“Darimana ibu tahu?” tanya saya penasaran.
“Ibu membacanya dari diari adik kamu.”
Ya Allah. Jadi beginilah ceritanya, adik saya ternyata doyan
mengungkapkan semua hal di buku jurnal dan buku jurnal itulah pengantar rahasia
kami berdua. Lagi-lagi saya bersyukur karena ibu mengetahui itu setelah
beberapa tahun peristiwa itu berlalu. Sehingga itu tidak membuatnya khawatir,
justru membuat ibu saya tertawa.
Nah, disinilah saya bisa mengambil pelajaran bahwa betapa
orang-orang tercinta selalu ingin melihat kita bahagia. Orang tua, saudara,
guru, teman dan siapa pun itu selalu ingin membuat kita bahagia. Pun dengan
diri kita, kita selalu ingin melihat mereka bahagia.
No comments:
Post a Comment