27 Oct 2018

Korelasi Cinta dan Kebahagiaan


Kita akan selalu merasa tentram dan bahagia ketika kita mengetahui bahwa orang-orang yang kita cintai merasakan kebahagiaan dan tidak kekurangan satu hal apa pun. Kita jauh dari rasa khawatir ketika orang yang kita cintai tidak merasa takut dalam menjalani kehidupannya.
Oleh karena itulah seorang ayah akan rela bekerja banting tulang demi menghidupi keluarga tercintanya, demi membiayai pendidikan anak tercintanya dan demi membelikan baju baru untuk mereka. Seorang lelaki akan tersenyum ketika melihat anak istrinya tersenyum puas karena jerih payahnya.
Seorang lelaki akan merasa bahagia ketika mampu membelikan hadiah ulangtahun anaknya, membelikan cincin untuk istrinya dan mengirim uang bulanan untuk orang tuanya.
Seorang ibu akan merasa bahagia ketika melihat anak-anaknya tidur nyenyak. Oleh karena itulah kita dapati ada ibu yang rela tidak tidur demi mengusir nyamuk-nyamuk yang mengganggu ketenangan bayinya. Seorang ibu juga rela bangun untuk mengganti popok bayinya yang basah. Ia rela mengorbankan kebahagiaannya demi si buah hati. Karena justru kebahagiaan itu datang ketika dia melihat mata buah hatinya.
Mungkin inilah yang menjadi sebab kenapa ikatan batin seorang anak kepada orang tua, terkhusus kepada ibu begitu kuat. Seakan ikatan itu tidak akan pernah putus, dan tak ada yang bisa memutuskannya meski ajal menjemput.
Saya jadi teringat masa ketika saya harus berpisah dengan orang tua saya dulu. Waktu itu saya berniat melanjutkan sekolah menengah ke pondok pesantren. Saya tertarik dengan cerita teman-teman saya bahwa ternyata mondok itu sangat mengasyikan.
Mau tak mau saya harus berpisah dengan ayah dan ibu saya. Perpisahan yang begitu menyakitkan dan selama dua minggu lamanya saya tidak bisa move on. Mungkin ibu saya juga merasakan hal yang sama.
Setiap sepekan sekali saya rutin menghubungi ibu lewat telpon milik pesantren. Yang pertama kali ditanyakan oleh ibu atau ayah saya adalah kabar saya. Berbicara tentang menanyakan kabar, maka ini adalah indikasi bahwa kabar itu sangat penting bagi orang-orang tercinta. Saling bertanya kabar adalah cara lain untuk menerbitkan kebahagiaan. Ketika kita mendengar bahwa kabar orang yang kita cintai baik, kita pun akan bernafas lega.
Selain bertanya kabar, ada kalimat khusus yang sering dilontarkan ibu saya. Dia selalu bertanya, “Husni, kamu betah disana?’
Maka saya akan menjawabnya, “Alhamdulillah bu, saya betah disini. Ibu nggak usah khawatir.”
Kemudian setelah itu ibu juga bertanya, “Bekalmu masih ada? jika sudah habis nanti ibu kirim.”
Dari sini saya bisa menyimpulkan dua hal,
Pertama, seseorang akan selalu khawatir dengan keadaan orang yang dicintainya sehingga dia selalu memastikan bahwa orang yang dia cintai baik-baik saja. itulah yang ayah dan ibu saya lakukan ketika menelpon saya di setiap pekan.
Kedua, seseorang tidak ingin membuat khawatir orang yang dia cintainya sehingga dia rela menutupi penderitaannya demi menenangkan hati orang yang dicintainya. Itulah yang saya lakukan kepada orang tua saya. Ketika mereka menanyakan kepada saya, apakah saya betah tinggal di pondok pesantren. Maka saya harus berbohong dengan mengatakan saya betah tinggal di pesantren. Padahal sejatinya, di awal-awal saya mondok, saya merasa tersiksa dengan peraturan-peraturan yang mengekang. Saya juga harus beradaptasi dengan kebiasaan baru seperti bangun dini hari atau serba mengantri. Ngangtri di kamar mandi dan di dapur adalah hal yang membuat saya tidak suka. Tapi saya tidak akan pernah menceritakan itu semua kepada orang tua saya. Karena saya ingin mereka bahagia. Karena saya ingin mereka tidak mengkhawatirkan saya. Saya ingin mereka tidur nyenyak. Biarlah saya membebani mereka dengan biaya sekolah yang harus dibayar. Saya tidak akan menambah beban mereka dengan harus menceritakan semua penderitaan saya.
Selain kisah di pondok, ada kisah lainnya yang sayang untuk tidak saya tulis disini. Di pertengahan tahun 2015 saya mengikuti program beasiswa dari salah satu pondok pesantren di Bogor. Pondok pesantren tersebut memberikan beasiswa full untuk program S1. Saya merasa inilah peruntungan nasib saya.
Tapi sayangnya, selama empat bulan saya menjalani program pondok pesantren tersebut, saya merasa tidak puas dan mencoba untuk keluar dan mencari beasiswa lain. Saat itu saya menceritakan semua kegundahan saya kepada adik pertama saya yang sama-sama mondok di Tasikmalaya. Tentu saja saya tidak menceritakan kegundahan saya kepada ibu dan ayah saya. Lagi-lagi alasannya satu; tidak ingin membuat mereka khawatir.
Mungkin kamu bertanya-tanya, apakah saya tidak mencintai adik saya? Apakah saya tidak takut adik saya khawatir sehingga berani bercerita kepada adik saya? Well, ini pertanyaan sulit. Yang jelas saya mencintai adik saya dan percaya kepadanya. Karena itulah saya curhat kepadanya.
Tapi Alhamdulillah ala kuli hal, walaupun saya berniat untuk keluar dari pondok, saya berusaha menahan gejolak di hati saya. Ada teman-teman yang mencoba membujukku untuk bertahan, dan sekarang saya merasa bersyukur karena saya tidak jadi menuruti hasrat saya.
Kelak, ibu saya tahu bahwa saya pernah curhat kepada adik saya tentang keinginan saya untuk keuar dari pondok. Ibu menyinggungnya dengan tawa kecil ketika kami berbicara di telpon di musim hujan tahun lalu.
“Darimana ibu tahu?” tanya saya penasaran.
“Ibu membacanya dari diari adik kamu.”
Ya Allah. Jadi beginilah ceritanya, adik saya ternyata doyan mengungkapkan semua hal di buku jurnal dan buku jurnal itulah pengantar rahasia kami berdua. Lagi-lagi saya bersyukur karena ibu mengetahui itu setelah beberapa tahun peristiwa itu berlalu. Sehingga itu tidak membuatnya khawatir, justru membuat ibu saya tertawa.
Nah, disinilah saya bisa mengambil pelajaran bahwa betapa orang-orang tercinta selalu ingin melihat kita bahagia. Orang tua, saudara, guru, teman dan siapa pun itu selalu ingin membuat kita bahagia. Pun dengan diri kita, kita selalu ingin melihat mereka bahagia.

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment