28 Oct 2018

Filosofi Gunung



Pernahkah kita melihat gunung yang menjulang kokoh dan tinggi? Apa yang kita rasakan dan apa yang kita pikirkan ketika melihatnya menjulang dengan latar birunya langit dan sapuan awan di puncaknya?

Kemudian, berapa banyak diantara kita yang sudah mendakinya?

Mungkin gunung itu terlihat indah dan menawan dari kejauhan. Tapi ketika kita dekati, kita masuki lebih dalam dan kita mencoba untuk mendakinya, maka akan banyak hal-hal yang tidak menyenangkan kita temui selama pendakian. Kita mungkin akan banyak menemukan onak duri yang mengoyak kulit kita. Atau mungkin makhluk melata berbisa yang bisa mematuk kita lewat semak-semak yang kita lalui. Atau makhluk pengisap darah yang menempel di betis kita.

Ya, gunung itu akan terlihat indah dari kejauhan, tapi ketika didekati akan banyak sekali rintangan yang kita hadapi.

Begitupun dengan kehidupan yang sedang kita jalani. Kita pernah membayangkan bahwa surga itu sungguh menawan dan  menggoda. Betapa banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang indahnya surga. Dengan air yang mengalir di bawahnya, dengan tanaman-tanaman hijau dengan buah-buahan yang mudah diraih, dengan bidadari-bidadari bermata jelita, dan sumber air dan minuman yang beragam jenisnya.

Tapi ternyata jalan menuju puncak kesuksesan bernama surga itu tidaklah semudah yang kita bayangkan. Tidak seindah yang kita harapkan. Layaknya rintangan-rintangan yang kita dapatkan ketika mendaki gunung, mendaki jalan ke surga pun tak sepi dara aral yang melintang.

Kita harus menaklukan rasa malas untuk mengerjakan ketaatan demi ketaatan. Kita harus menaklukan godaan nafsu syahwat yang ditunggangi setan. Yang menawarkan keindahan dan kesejukan yang semu. Kita harus menaklukan segala rayu nafsu yang mencoba membelokan kita dari jalan ketaatan.

Jika kita tidak tahan, mungkin kita akan tersesat dan binasa sebelum menggapai surga yang kita harapkan. Sebagaimana seorang pendaki gunung yang teresat di belantara sebelum bisa mencapai puncak gunung dan menancapkan bendera kemenangan. Betapa banyak kita baca dan dengan tentang pendaki yang tersesat selama pendakian. Hanya karena tidak membawa peta, atau salah membaca peta, atau kehabisan bekal dan kecapean.

Begitu juga dalam menggapai surga, kita membutuhkan bekal, bekal itu bernama kesabaran. Kita juga membutuhkan peta dan navigasi. Peta itu bernama al-quran dan sunnah. Kita juga membutuhkan stamina yang kuat dan suplemen supaya kita tidak kecapean. Suplemen itu bernama iman dan selalu memperbarui ketakwaan.

Ketika kita telah selesai dalam pendakian, maka kita telah berdiri di atas puncak gunung, menatap batas cakrawala, menikmati sunset dan sunrise. Dan mungkin memetik bunga abadi bernama edelweiss. Kita akan merasa bangga dan puas dengan pendakian kita. Seakan-akan rasa lelah itu sirna ketika kita menghirup kesejukan aroma puncak gunung. Rasa pegal yang merajam tubuh tidak ada artinya.

Begitulah ketika seseorang telah menggapai surga. Dia tidak akan pernah ingat dengan semua penderitaan yang pernah dia alami selama masa pendakian menuju surga. Yang ada hanyalah kepuasaan dan kebahagiaan. Jangan jauh-jauh membandingkannya dengan surga. Seseorang yang sukses secara duniawi pun akan melupakan semua kepedihan selama proses menggapai kesuksesannya.

Kemudian orang-orang akan kagum dengan kesuksesannya. Mereka tidak melihat bagaimana proses dia mendaki gunung. Tapi orang akan melihat bagaimana setelah dia mencapai puncak gunung. Oleh karena itu, kita tak perlu kecewa dan marah ketika orang-orang bersikap acuh selama kita mendaki kesuksesan.
Semoga menginspirasi

Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment