Pernahkah kita melihat gunung yang menjulang kokoh dan
tinggi? Apa yang kita rasakan dan apa yang kita pikirkan ketika melihatnya
menjulang dengan latar birunya langit dan sapuan awan di puncaknya?
Kemudian, berapa banyak diantara kita yang sudah mendakinya?
Mungkin gunung itu terlihat indah dan menawan dari kejauhan.
Tapi ketika kita dekati, kita masuki lebih dalam dan kita mencoba untuk
mendakinya, maka akan banyak hal-hal yang tidak menyenangkan kita temui selama
pendakian. Kita mungkin akan banyak menemukan onak duri yang mengoyak kulit
kita. Atau mungkin makhluk melata berbisa yang bisa mematuk kita lewat
semak-semak yang kita lalui. Atau makhluk pengisap darah yang menempel di betis
kita.
Ya, gunung itu akan terlihat indah dari kejauhan, tapi ketika
didekati akan banyak sekali rintangan yang kita hadapi.
Begitupun dengan kehidupan yang sedang kita jalani. Kita
pernah membayangkan bahwa surga itu sungguh menawan dan menggoda. Betapa banyak ayat-ayat yang
menjelaskan tentang indahnya surga. Dengan air yang mengalir di bawahnya,
dengan tanaman-tanaman hijau dengan buah-buahan yang mudah diraih, dengan
bidadari-bidadari bermata jelita, dan sumber air dan minuman yang beragam
jenisnya.
Tapi ternyata jalan menuju puncak kesuksesan bernama surga
itu tidaklah semudah yang kita bayangkan. Tidak seindah yang kita harapkan.
Layaknya rintangan-rintangan yang kita dapatkan ketika mendaki gunung, mendaki
jalan ke surga pun tak sepi dara aral yang melintang.
Kita harus menaklukan rasa malas untuk mengerjakan ketaatan
demi ketaatan. Kita harus menaklukan godaan nafsu syahwat yang ditunggangi
setan. Yang menawarkan keindahan dan kesejukan yang semu. Kita harus menaklukan
segala rayu nafsu yang mencoba membelokan kita dari jalan ketaatan.
Jika kita tidak tahan, mungkin kita akan tersesat dan binasa
sebelum menggapai surga yang kita harapkan. Sebagaimana seorang pendaki gunung
yang teresat di belantara sebelum bisa mencapai puncak gunung dan menancapkan
bendera kemenangan. Betapa banyak kita baca dan dengan tentang pendaki yang
tersesat selama pendakian. Hanya karena tidak membawa peta, atau salah membaca
peta, atau kehabisan bekal dan kecapean.
Begitu juga dalam menggapai surga, kita membutuhkan bekal,
bekal itu bernama kesabaran. Kita juga membutuhkan peta dan navigasi. Peta itu
bernama al-quran dan sunnah. Kita juga membutuhkan stamina yang kuat dan
suplemen supaya kita tidak kecapean. Suplemen itu bernama iman dan selalu
memperbarui ketakwaan.
Ketika kita telah selesai dalam pendakian, maka kita telah
berdiri di atas puncak gunung, menatap batas cakrawala, menikmati sunset dan
sunrise. Dan mungkin memetik bunga abadi bernama edelweiss. Kita akan merasa
bangga dan puas dengan pendakian kita. Seakan-akan rasa lelah itu sirna ketika
kita menghirup kesejukan aroma puncak gunung. Rasa pegal yang merajam tubuh
tidak ada artinya.
Begitulah ketika seseorang telah menggapai surga. Dia tidak
akan pernah ingat dengan semua penderitaan yang pernah dia alami selama masa
pendakian menuju surga. Yang ada hanyalah kepuasaan dan kebahagiaan. Jangan
jauh-jauh membandingkannya dengan surga. Seseorang yang sukses secara duniawi
pun akan melupakan semua kepedihan selama proses menggapai kesuksesannya.
Kemudian orang-orang akan kagum dengan kesuksesannya. Mereka
tidak melihat bagaimana proses dia mendaki gunung. Tapi orang akan melihat
bagaimana setelah dia mencapai puncak gunung. Oleh karena itu, kita tak perlu
kecewa dan marah ketika orang-orang bersikap acuh selama kita mendaki
kesuksesan.
Semoga menginspirasi
No comments:
Post a Comment