Melalui tulisan ini, saya ingin meluruskan yang sekiranya
perlu diluruskan dan ingin membuka cara pandang kita supaya tidak terkungkung
oleh slogan kebencian yang selama ini sering kali kita terjebak di dalamnya. Dalam
hal ini, muasal keinginan saya menulis artikel ini adalah karena mendengar
informasi kajian Ust. Felix Siauw di Bandung Barat ditolak oleh GP Ansor dengan
alasan, Ustadz Felix Siauw adalah pengusung khilafah dan corong HTI sehingga
bertentangan dengan NKRI. Benarkah?
Perlu diketahui bahwa HTI ditolak eksistensinya karena
masalah ‘NKRI Harga Mati’. Pun Ust. Felix ditolak oleh segelintir warga Bandung
Barat dengan alasan ‘NKRI Harga Mati.’ Padahal, pengajiannya belum tentu
tentang masalah khilafah. Saya kira ini terlalu berlebihan dan bentuk respon
tak beradab dan tak toleran.
Selain itu, saya menangkap adanya paradox dengan kenyataan
yang terjadi. Benarkah mereka yang menggembar-gemborkan NKRI Harga Mati sedang
membela NKRI? Atau hanya menjadikan slogan tersebut sebagai tameng untuk
melibas lawan politik, orang-orang yang berbeda mazhab atau bahkan melibas
saudara seiman karena kedengkian tanpa dasar.
Coba saja kita lihat, apakah yang selama ini menggembar
gemborkan NKRI Harga mati, terkhusus yang doyan membubarkan atau membatalkan
kajian ustadz menampakan kepedulian mereka terhadap aksi separatism yang
mengancam NKRI? Apakah ada demo papua merdeka yang dikecam oleh para komplotan bertameng
‘NKRI Harga Mati?’ sebagaimana kita tahu bahwa sudah sering aksi demonstrasi
papua merdeka terjadi, dimana mereka mengibarkan bendera OPM, yang ini
jelas-jelas ancaman bagi keutuhan NKRI. Dan baru-baru ini ada sejumlah
mahasiswa di yogya melakukan aksi sembari mengibarkan benda separatis OPM. Lihat,
mereka yang selama ini selalu bertameng ‘NKRI Harga Mati’ untuk melibas lawan
politik atau lawan ‘mazhab’ diam dan masa bodoh. Mana slogan NKRI Harga Mati
yang selama ini mereka sering gaungkan??
Tak ada ceritanya warga yogya dikoordinir oleh GP Ansor atau
Banser untuk menolak aksi tersebut. Atau mereka dengan gagah berani melucuti
bendera papua sebagaimana mereka pernah melucuti bendera tauhid dengan alasan ‘NKRI
Harga Mati’
Saya bukan seorang anggota HTI, lebih tepatnya ‘mantan
anggota HTI’ karena organisasi ini sudah dibubarkan pemerintah. Tapi saya tidak
abai dengan sepak terjang HTI dalam kancah dakwah nasional, dan internasional
secara umum. Saya bukan seorang anggota HTI, tapi saya tidak buta dengan
realita.
Mari kita refleksi sejenak, organisasi mana yang pernah
mencetak jutaan pamphlet yang isinya menggugah kesadaran bangsa Indonesia untuk
berjuang melawan hegemoni ekonomi asing?
Organisasi apa yang ratusan ribu kadernya berbicara tentang
eksploitasi pihak asing di Indonesia, mengenalkan tentang bahaya neolib hingga
bikin risih siapapun rezim yg pro asing? Tentunya siapa pun yang memiliki jiwa
nasionalisme tidak rela negaranya dibawah kendali pihak asing.
Apakah organisasi itu Banser atau GP Ansor? Sayang,
organisasi itu bukan Banser, tapi HTI.
Hanya ada satu perbedaan. Banser ‘beriman’ bahwa gerakan ekstrimisme
membahayakan NKRI, sedang HTI percaya bahwa Neoliberalisme membahayakan NKRI ..
Lalu mana yang lebih berbahaya? Kedua-duanya bagi saya
berbahaya. Tapi lebih berbahaya neoliberalisme dibanding ekstrimisme! Wah, saya
nggak macam-macam. Coba saja dinalar, mana yang mudah diatasi antara kumpulan
orang-orang ekstrimis stress atau tekanan IMF/ World Bank?
Untuk mengatasi ekstrimisme cukup turunkan densus dan perkuat
intelejen. Jika intelejennya professional, kasus ekstrimisme bisa diatasi. Tapi
terkait tekanan neoliberalisme semua rezim sejak Soeharto hingga sekarang tidak
berani sama IMF/ World Bank yang sukses mengacak-acak perekonomian Negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia.
Jadi kesimpulannya, slogan ANTI NKRI yang dilontarkan selama
ini salah alamat. Sementara ANTI NKRI sesungguhnya adem ayem melihat drama ini.
Mengenaskan!
No comments:
Post a Comment