Kita begitu repot dan khawatir dalam memantau kesehatan dan
penampilan fisik kita. Bahkan ketika melihat satu jerawat tumbuh di wajah kita,
kita mengerahkan segala cara untuk menghilangkannya. Begitulah, tanpaknya
masyarakat modern telah membuat kita semua sadar akan fisik kita dan penampilan
yang sempurna.
Kadang kita juga menghabiskan banyak biaya untuk membeli
produk yang menunjang penampilan kita.
Kita rela menghabiskan energi dan waktu untuk penampilan
yang sempurna, karena kita sadar bahwa memang kebanyakan orang menilai kita
dari tampilan kita untuk pandangan yang pertama. Orang juga akan menduga sisi
internal seseorang dari sisi eksternal kita. Meski hal ini tidak selamanya
benar.
Kita hidup di dunia dimana sisi ekternal lebih banyak
diperhatikan dan sisi internal lebih banyak diabaikan. Berapa banyak waktu yang
kita habiskan untuk berusaha meningkatkan ‘penampilan’ hati dan spiritualitas
kita?
Mungkinkah kita menghabiskan berjam-jam sehari? Atau mungkin
hanya beberapa menit? Atau mungkin kita sama sekali tidak memperhatikan ‘penampilan’
Spiritual kita?
Bukan berarti saya menggugat kesibukan kita terhadap
tampilan luar/ fisik, tapi hanya mengingatkan bahwa ‘tampilan’ dalam juga tidak
boleh diabaikan. Atau bahkan sangat perlu mendapat perhatian lebih dibanding
tampilan luar.
Hal yang sangat menyedihkan jika kita melupakan ‘kecantikan
dan penampilan’ hati kita secara total. Mengabaikannya hingga penampilan hati
kita semakin semrawut oleh debu-debu kemaksiatan dan kotornya kelalaian.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah Shollallahu
'alaihi wasallam bersabda,
Allah tidak melihat kepada tubuhmu, atau pakaianmu. Tapi Dia melihat ke dalam hatimu (dan perbuatanmu). Diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Disaat citra hati kita yang menjadi perhatian Allah, kita
lebih sering mengabaikannya dan memilih memperbaiki citra luar kita yang
membuat kagum manusia. Berarti kita mengutamakan penilaian manusia dibanding
penilaian Allah subhanahu wata'ala. Bukankah lebih berharga nilainya penilaian
Allah Subhanahu wata'ala dibanding penilaian manusia?
Apa yang akan terjadi jika kita mengabaikan kecantikan dan
penampilan spiritualitas kita? Jika itu terjadi, maka hati kita akan sakit dan
semua akan mewujud dalam tindakan yang buruk dan melenceng dari kebenaran dalam
kesehariannya. Baik dalam tingkat individu, keluarga dan masyarakat.
Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasallam bersabda,
Di dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika ia baik maka seluruh tubuh akan baik, dan jika ia rusak, maka seluruh tubuh juga ikut rusak. Adapun segumpal daging itu adalah hati. (HR. Bukhori dan Muslim)
Islam mengajarkan bahwa hati berfungsi seperti kompas bagi
orang beriman. Hati sebagai penerang untuk menunjukan jalan kebenaran dan
mengikuti cahayanya sehingga tidak tersesat dalam rimba kehidupan. Hati yang
bersih membantu yang memilikinya untuk mengurai kebenaran dari kepalsuan, dan
membedakan kebaikan dengan keburukan.
Hati tak ubahnya seperti tubuh yang membutuhkan makanan.
Disaat kita memberi asupan nutrisi dan suplemen bagi kesehatan fisik kita, maka
kita juga harus melakukan hal yang sama terhadap hati kita. Adapun makanan hati
kita adalah pengetahuan. Bukan sekedar pengetahuan, tapi pengetahuan yang
memang benar-benar bersih dari segala penyimpangan. Kita harus memperhatikan
jenis pengetahuan apa yang baik untuk ‘kesehatan hati kita.
Sama seperti tubuh kita, kita tentu hati-hati terhadap
beberapa jenis makanan yang tidak menyehatkan seperti junk food dan alcohol,
maka kita juga harus hati-hati terhadap ‘asupan dan nutrisi’ hati kita. Betapa
banyak hatinya yang rusak karena salah mengambil ilmu dan guru. Betapa banyak
hati yang tersesat dalam rimba filsafat dan penyimpangan dalam aqidah.
Adapun nutrisi yang paling utama adalah nutrisi tauhid,
pengetahuan tentang ibadah dan pengetahuan tentang quran dan sunnah. Kemudian
setelah itu menyusul beberapa ‘asupan gizi tambahan’ seperti tata bahasa, sains
dan lain sebagainya.
Harus ada keseimbangan dan kesinambungan dalam memberi
nutrisi hati. Kita harus konsisten memberi asupan gizi sebagaimana kita
konsisten memakan makanan setiap hari untuk kesehatan fisik kita. Kita hendaknya
selalu mempertahankan kesehatan hati kita.
Hati yang bersih akan sakit ketika kita melakukan dosa dan
pelanggaran terhadap syariat-Nya. Dosa yang dilakukan membuat hati kusam dan
melemah hingga pada akhirnya mati, jika kita melakukan dosa-dosa tersebut
secara berkesinambungan dan tidak pernah menyesalinya. Bahkan meremehkan semua
dosa-dosa tersebut.
Ada ayat yang patut kita jadikan renungan dalam hal ini,
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا
كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthoffifin: 14)
Makna ayat di atas diterangkan dalam hadits berikut.
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda,
إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً
نُكِتَتْ فِى قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ
سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ
الَّذِى ذَكَرَ اللَّهُ ( كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ)
»
Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan “ar raan” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’ (HR. Ibn Majah, 4244)
No comments:
Post a Comment