Sekelompok tentara yang dipimpin oleh seorang Sersan sedang dalam perjalanan menuju pos
yang berada di gunung Himalaya. Dimana mereka akan dikirim untuk tiga bulan
kedepan. Tentunya saat itu adalah saat yang mencemaskan bagi mereka, ditengah
musim dingin yang mengawali tugas mereka.
Musim dingin yang dingin dan hujan salju yang deras membuat
pendakian yang berbahaya menjadi lebih sulit untuk mereka lalui.
Jika ada seseorang yang menawarkan teh, atau setidaknya mendapatkan kedai teh di pinggang
gunung adalah suatu hal yang mereka harapkan ditengah cuaca ekstrim seperti
itu.
Mereka
melanjutkan perjalanan selama satu jam sebelum mereka menemukan rumah kayu yang
bobrok. Tanpaknya rumah tersebut sebagai kedai teh. Hanya saja pintunya sudah
terkunci. Saat itu sudah larut malam.
“Tidak ada
tanda-tanda kehadiran orang lain di sini.” Kata mayor. Tapi dia menyarankan
untuk beristirahat di sana setelah melakukan perjalanan panjang selama tiga jam
lamanya.
“Sir, kita bisa
membuat teh di dalam kedai ini, kita harus mematahkan kuncinya.” Saran seorang
anak buahnya dengan antusias.
Perwira itu
gamang untuk mengambil keputusan. Tapi pikirannya tentang secangkir teh yang
mengepul membuatnya tidak memiliki pilihan lain selain memberi izin anak
buahnya untuk mendobrak pintu.
Mereka beruntung, tempat itu memiliki segala yang dibutuhkan
untuk membuat teh dan juga beberapa
bungkus biskuit. Para tentara
segera membuat teh dan memakan banyak biskuit hingga siap untuk melakukan
perjalanan.
Walaupun mereka
telah mendobrak kedai itu, tapi mereka tetap sebagai tentara yang masih
memiliki nurani. Perwira itu mengeluarkan uang beberapa dolar dari dompetnya
kemudian meletakannya di atas meja, tepatnya diselipkan di bawah wadah gula
sehingga pemilik kedai bisa melihatnya jika dia datang.
Sersan itu
sekarang terbebas dari kesalahannya. Dia memerintahkan untuk mematikan lampu dan melanjutkan perjalanan.
Tiga bulan berlalu, hingga masa tugas mereka di daerah tersebut telah berakhir. Sudah waktunya
mereka digantikan oleh tim lain.
Dalam perjalanan
pulang mereka berhenti di kedai teh yang sama, dimana mereka pernah
mendobraknya. Pemilik kedai itu adalah seorang lelaki paruh baya yang ramah dan
senang dengan kehadiran sekelompok tentara itu di kedainya.
Mereka memesan
secangkir teh dan beberapa bungkus biskuit. Mereka berbicara berbagai hal
dengan orang tua pemilik kedai tersebut. Pemilik kedai itu juga menceritakan
pengalamannya sebagai penjual teh di tempat yang terpencil di jalur pendakian.
Orang tua itu memiliki banyak cerita untuk diceritakan. Dan lebih dari itu, dia seorang lelaki
yang memiliki keimanan kepada Tuhan.
“Pak, jika Tuhan
itu ada, mengapa Dia tetap membiarkan anda dalam kondisi miskin seperti ini?”
tanya seorang tentara yang tanpaknya seorang atheis tulen.
“Jangan berkata
seperti itu. Tuhan itu ada. Saya sudah membuktikannya tiga bulan yang lalu.” Sanggah
si pemilik kedai.
"Saya
melewati masa-masa sulit karena anak laki-laki saya satu-satunya dipukuli oleh
teroris yang menginginkan beberapa informasi darinya yang tidak dimilikinya. Saya
telah menutup took saya
untuk membawa anak saya ke rumah sakit. Beberapa obat harus dibeli dan saya
tidak punya uang. Tidak ada yang mau memberi saya pinjaman karena takut teroris. Saat itu saya tidak memiliki harapan.”
“Dan pada
hari itu, saya berdoa kepada Tuhan untuk meminta bantuan. Dan tahukah kalian, hari itu juga Tuhan membantuku.”
“Ketika
saya kembali ke toko saya, saya menemukan kunci pintu kedai patah. Saya pikir pasti ada seseorang yang
menjarah semua harta saya yang tersisa di dalam kedai ini. Tapi kemudian saya melihat bahwa Tuhan
telah meninggalkan beberapa lembar dolar
di bawah panci gula. Tuhan tahu saya butuh uang dan dia mengirimkan uang itu
untuk saya. Jadi, jangan sekali-kali kau meragukan kehadirannya.”
Belasan pasang mata
saling bersitatap satu sama lain. Sementara
sang sersan seakan mengisyaratkan dengan kedipan matanya, “Diamlah!”
Sersan itu
bangun dan membayar tagihannya. Dia memeluk orang tua itu dan berkata, “Ya Baba, aku tahu Tuhan memang
ada. Dan ya, tehnya luar biasa. "
Anak buahnya bisa
melihat mata pemimpin mereka sembab dan menitikan air mata.
Benar, kita bisa
menjadi perantara dari kasih sayang Tuhan. Dan yang jelas, Tuhan memiliki
rencana yang indah dan tak pernah kita duga.
No comments:
Post a Comment