Suatu ketika seorang ateis menentang ulama besar Bagdad Hasan
al-Bashri untuk berdebat tentang keberadaan Tuhan. Karena kepercayaan diri yang
besar, laki-laki tak percaya Tuhan itu mengajukan syarat bahwa yang kalah harus
dipancung, Al-Bashri pun sepakat.
Waktu yang mereka sepakati pun tiba. Di hari dan tempat yang
telah ditentukan, masyarakat Bagdad berjubel untuk menyaksikan perdebatan
teologis yang monumental itu. Mereka ingin tahu bagaimana ''nasib'' Tuhan
ditentukan.
Ketika Al-Bashri belum tiba, si Ateis telah berada di atas
mimbar dan langsung berkoar-koar bahwa Tuhan hanya rekayasa manusia. Ia
menunjukkan argumentasi bahwa Tuhan tidak ada, dan mereka yang percaya akan
keberadaan Tuhan hanyalah orang-orang tolol yang gampang dibodohi halusinasi.
Menjelang zuhur, Al-Bashri belum juga tiba. Hadirin mulai
cemas. Sementara itu, si ateis tampak gembira, seolah-olah kemenangan sudah
digapainya.
''Lihatlah, guru kalian tidak datang. Ia tahu akan kalah,
maka dia memilih tidak hadir untuk menghindari maut. Akulah yang menang. Tuhan
tidak ada. Ikutilah aku,'' teriaknya.
Tiba-tiba Al-Bashri datang tergopoh-gopoh saat forum itu
hendak disudahi dan kemenangan bagi si ateis sudah di pelupuk mata. Dengan nada
menyentak si ateis bertanya, ''Kenapa kamu datang terlambat? Kamu takut kalah
dan takut dipenggal, ya?''
''Maaf,'' jawab Al-Bashri serius. ''Sebenarnya sejak pagi aku
telah berusaha menuju tempat ini. Seperti kamu ketahui, untuk menuju ke sini,
aku harus melintasi sungai Tigris. Namun, tidak biasanya, di sungai itu tidak
ada satu pun perahu melintas. Akhirnya aku shalat dan berdoa kepada Tuhan.
Cukup lama aku berdoa, lalu aku melihat papan-papan
bertebaran di sungai itu. Lalu papan-papan itu menyusun satu sama lainnya
menjadi sebuah perahu. Dengan perahu itulah aku melintasi sungai dan sampai di
sini.''
Si atheis menyela, ''Ah, mustahil. Kamu dusta, kamu
mengada-ada. Mana mungkin papan-papan itu tersusun menjadi perahu tanpa ada
yang membuatnya?''
Hasan Al-Bashri menjawab, ''Ya, kamu benar. Itu mustahil.
Mana mungkin papan-papan itu terbentuk perahu tanpa ada yang menyusunnya. Kalau
begitu, mana mungkin jagat raya yang mahaluas ini berwujud, berjalan teratur
dengan sendirinya, tanpa ada yang mencipta dan yang mengaturnya. Bagaimana
mungkin darah, tulang, daging, kulit bisa terbentuk sendiri menjadi seperti
kamu?''
Si atheis terdiam, tidak berkutik. Argumentasinya kalah oleh
ucapannya sendiri.
Hadirin tertegun dan memuji kebesaran Allah, Subhanallah.
Benar kata nabi saw, ''Bertafakurlah tentang ciptaan Allah, dan jangan berpikir
tentang wujud Allah.'' Akal dan kekuatan kita tidak akan pernah bisa mengetahui
wujud Allah.
No comments:
Post a Comment