13 Jun 2017

Menjadi ‘Predator’ Buku


Ada idiom yang sangat populer dalam dunia pendidikan kita, yang tentunya sudah tidak asing lagi di telinga kita. “buku jendela dunia.”

Yup, idiom itu tidak salah, bahkan 100 persen benar sekali. Karena saya sendiri membuktikan hal itu. Dengan buku kita tahu segalanya. Yang awalnya masih buram dan abu-abu di benak kita menjadi terang benderang setelah membaca buku.

Mengenai “Buku jendela dunia” saya punya cerita menarik yang diceritakan oleh Seorang sastrawan terkenal plus seorang kritikus sastra pengurus majalah Horison, Joni ariadinata.
Diceritakan seorang guru memberi tugas murid-muridnya untuk bercerita pengalaman mereka semasa liburan sekolah.

Anak-anak begitu antusias. Ada yang bercerita tentang liburan mereka di pantai, camping ke gunung dan lain sebagainya. Ada juga yang bercerita liburan di rumah neneknya [cerita ini klise sekali ya. Jadi standar karangan anak-anak SD]

Nah, ada seorang anak yang boleh dibilang unik dan out of the box dari cerita teman-temannya.

Dia menceritakan pengalamannya berjalan-jalan ke negeri beruang merah, Rusia. Kemudian setelah itu dilanjutkan ke negeri tanah asli Suku Indian dengan melihat kehidupan amerika sebelum migrasi bangsa kulit putih mendominasi tanah tersebut. Setelah itu, perjalanannya dilanjutkan ke gurun pasir arab yang panas menyengat dan kebudayaan Mesir yang begitu mempesona.
Guru dan teman-temannya tercengang. Benarkah dia memiliki pengalaman sebegitu kaya?

Tahukah kau, ternyata anak tersebut mengisi waktu liburnnya dengan membaca buku. Buku-buku sastra dan petualangan yang menjamah setiap tempat di dunia. Buku-buku sastra terjemahan yang menggambarkan kultur dan keadaan negeri antah-berantah, yang anak itu sendiri belum pernah mendatanginya. Tapi dia bisa ‘memvisualisasikannya’ dengan jelas di alam pikirnya. Tentunya setelah membaca buku-buku tersebut.

Alam pikirnya luas, imajinatif, berwawasan dan tahu segala hal. Ya, fisiknya memang tidak melanglang penjuru dunia. Tapi dia bisa tahu setiap jengkal dunia, paling tidak hanya dengan visualisasi pun bisa mengobati dahaga intelektualitas kita.

Nah, itulah ajaibnya buku.


Maka tak heran, agama kita menganjurkan kita untuk selalu membaca. Perintah dari wahyu pertama adalah ‘IQRA’. Membaca. Membaca tidak melulu menyusuri baris demi baris rangkaian huruf di buku. Tapi membaca memang identik dengan melahap baris-baris kalimat dan paragraf di buku.

Membaca membuka jendela dunia. Aku percaya dengan hal ini. Maka aku sangat bahagia menjadi ‘predator’ buku. Ah, ini mungkin terkesan berlebihan dan muluk. Mengingat, aku tidak setangguh dan sekuat para pendahulu dari kalangan ulama dan ilmuwan yang ‘rakus’ dan keranjingan buku-buku.

Bahkan imam Nawawi sang ‘penjaga sunnah’ pun seorang predator buku. Diriwayatkan di rumahnyaa penuh dengan buku. Bahkan hanya untuk menselonjorkan kaki pun sulit saking bertumpuknya buku di kamarnya.

Para tabi’in dan ulama yang hanif selalu menjadikan buku teman duduk mereka. Seperti pepatah arab bilang ‘sebaik-baik teman duduk adalah buku’ ada benarnya.

Bagiku, membaca buku itu tidak mengenal waktu. Selama buku yang saya baca asyik untuk disimak, maka membacanya sebagai aktifitas primer yang harus dilakukan. Bukan aktifitas sampingan yang menunggu waktu luang.

Apalagi jika sudah membaca novel yang membuat rasa penasaran kita bangkit. Tak peduli betapa tebalnya novel tersebut, atau berapa banyaknya seri atau sekuelnya. For me, it’s no problem.

Melahap Semua Jenis Buku


Engkau dibentuk oleh apa yang kau baca, apa yang kau tonton, apa yang kau dengar, dan dengan siapa engkau hidup dan bergaul.

Yup, betul, buku bisa memberi pengaruh yang sangat luar biasa. Kekuatan goresan pena tidak boleh disepelekan.

Bahkan napoleon bonaparte pernah mengatakan lebih takut oleh kuli tinta [baca wartawan] ketimbang kekuatan prajurit musuh.

Sebagai contoh, betapa banyak orang-orang yang memutuskan ‘hijrah’ lebih islami setelah membaca ‘Ketika Mas Gagah Pergi’ karya Helvi Tiana Rosa atau Ayat-Ayat Cinta’nya Habiburrahman el-Shirazy.

Maka, sudah seharusnya kita harus pilah-pilih apa yang kita baca. Jangan semuanya dibaca. Jika mengandung mannfaat silakan baca, tapi jika berisi sampah jangan dibaca. Jangan buang waktumu demi sebuah buku yang tidak ada faidahnya sama sekali.

Ngomong-ngomong, ada seseorang teman yang berkomentar negatif ketika saya membaca novel fantasi terjemahan,”Kamu hanya buang-buang waktu membaca buku itu.”


Oke, aku terima apa yang dia katakan. Memang, novel merupakan produk ‘sampah’ dibanding buku-buku bernas, ilmiah dan berdalil. Novel fantasi adalah karya sampah dibanding kitab ‘Fiqh Sunnah’ Sayid Sabiq, misalnya.

Tapi saya kira, diantara sampah itu ada yang bisa kita olah atau kita ambil sedikit faidahnya. Diantara sampah itu ada yang bisa kita pilah. Asal kita tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Nggak percaya? Oke, saya kasih tahu. Justru saya merasa kaya dengan kosa kata ‘akibat’ dari membaca novel-novel. Sudah ratusan novel/ karya sastra saya baca. Dan sebanyak yang saya baca, sebanyak itu pula wawasan bahasa dan kosa kata saya bertambah.

Jika pertama kali menulis artikel saya harus berjuang karena keterbatasan kosa kata yang ada di benak saya. Maka, saat ini-alhamdulillah- saya bisa dan lancar menulis artikel, cerpen dan bahkan serial.

Kebayang nggak, jika karya sastra didominasi oleh karya orang sosialis, sekuler dan liberal. Apa jadinya dunia sastra kita. Maka kita butuh adanya sastrawan-sastrawan islami/profetik yang mengusung ideologi islam.

Seni dilawan seni, sastra dilawan sastra, hujjah dilawan hujjah, opini pun dilawan opini. Jika marak karya sastra yang berbau busuk yang menjajakan kerusakan, maka lawan dengan karya sastra islami yang mencerahkan.

Jadi dalam hal ini, saya tidak mengenal pilah-pilih bacaan. Selama saya memiliki prinsip dan ideologi yang kuat, maka saya aman untuk mengkonsumsi buku-buku ‘diluar’ ideologi yang saya pegang. Apa yang salah, toh –sebagai contoh- para kristologi semacam Zakir Naik dan Ahmad Dedat pun membaca kitab suci agama lain. Tujuannya baik, untuk mencari kelemahan dan kekurangan dari kitab-kitab agama lain. Supaya menjadi perbandingan yang mencerahkan sehingga banyak orang bisa masuk islam.

Seperti kata sebagian orang, jika kau ingin tahu tentang satu hal, maka kau harus terjun ke dalamnya. Di satu sisi pepatah ini salah total. Tapi di sisi lain, hal ini keharusan yang tidak boleh diabaikan.

Misal , ada penulis buku-buku islam yang membaca buku-buku ‘kiri’ [baca; komunis], liberal, dan buku sesat tasawuf hitam untuk membantah dan mencari titik kelemahan dan kerancuan cara pandang orang-orang yang menyimpang.
Saya pribadi, membaca karya sastra “non-islami” hanya untuk belajar gaya bahasa dan bertutur pengarang-pengarang “non-islami” sehingga saya bisa menerapkannya dalam karya tulis saya. [ini beda dengan plagiat ya. Bedakan antara plagiat karya dan terpengaruh oleh karya]

Terkecuali satu, apa pun alasannya. KITA TIDAK BOLEH MEMBACA KARYA-KARYA CABUL YANG MERUSAK OTAK. Jangan jadi alasan untuk mencari gaya penceritaan dari karya-karya menjijikan semacam itu. Apa yang diharapkan dari karya yang hanya menceritakan aktifitas ranjang? Karya yang hanya menjual ‘sensasi panas’ tanpa ada nilai-nilai intelektual dan kreatifitas yang memadai. Masih banyak karya-karya yang menawarkan kreatifitas, cerita dan gaya yang lebih bagus ketimbang karya-karya ‘yang menjual sensai panas.’ Tak lebih.


---------
---------

Bepergian, Jangan Lupa Bawa Buku


Jika saya bepergian, khususnya bepergian untuk pelesiran, pasti sudah tersedia beberapa eksemplar buku atau majalah di tas. 
Khawatir di perjalanan terjangkit 'virus' boring, membaca menjadi pilihan utama disamping mendengarkan nasyid lewat earphone.

Etapi, di era sekarang ini, yang namanya ebook sudah tidak asing lagi bagi kehidupan kita. Tentunya kita juga punya koleksi ebook favorite di smartphone kita. Hanya saja, bagi saya tetap membaca buku 'original' sensasinya beda.

So, do not forget to bring your book


'Book's Cafe'



What is Book's Cafe? Yup, kafe yang menyediakan buku bacaan untuk pengunjung kafenya. Jadi selain kita bisa ngopi dan kongkow bareng temen-temen, kita juga bisa membaca buku atau bahkan mendiskusikan buku yang kita baca.

Ada juga lho, kafe buku yang menggelar acara literasi di kafenya. Kentara banget deh si pemilik kafe menyukai dunia literasi.


Pasangan Sesama Penyuka Literasi



Punya suami atau istri sesama penyuka literasi itu asyik binti seru. bisa belanja buku bareng, diskusi buku bareng, dan tentunya punya kesempatan untuk menulis buku bersama. Riomantis banget kan?!

Etapi, kalo udah giliran fokus sama buku masing-masing, nggak ada waktu untuk romantis-romantisan dan cuek beibeh terhadap pasangan. hiks!
Husni
Husni

Husni Magz adalah blog personal dari Husni Mubarok atau biasa dipanggil kang Uni. Cowok Sunda yang bibliomania. Menyukai dunia seni dan tentunya doyan nonton baca dan nulis.

No comments:

Post a Comment