Ada idiom yang sangat populer dalam dunia pendidikan kita, yang tentunya sudah tidak asing lagi di telinga kita. “buku jendela dunia.”
Yup, idiom itu tidak salah, bahkan 100 persen
benar sekali. Karena saya sendiri membuktikan hal itu. Dengan buku kita tahu
segalanya. Yang awalnya masih buram dan abu-abu di benak kita menjadi terang
benderang setelah membaca buku.
Mengenai “Buku jendela dunia” saya punya
cerita menarik yang diceritakan oleh Seorang sastrawan terkenal plus seorang kritikus
sastra pengurus majalah Horison, Joni ariadinata.
Diceritakan seorang guru memberi tugas
murid-muridnya untuk bercerita pengalaman mereka semasa liburan sekolah.
Anak-anak begitu antusias. Ada yang bercerita
tentang liburan mereka di pantai, camping ke gunung dan lain sebagainya. Ada
juga yang bercerita liburan di rumah neneknya [cerita ini klise sekali ya. Jadi
standar karangan anak-anak SD]
Nah, ada seorang anak yang boleh dibilang unik
dan out of the box dari cerita teman-temannya.
Dia menceritakan pengalamannya berjalan-jalan
ke negeri beruang merah, Rusia. Kemudian setelah itu dilanjutkan ke negeri
tanah asli Suku Indian dengan melihat kehidupan amerika sebelum migrasi bangsa
kulit putih mendominasi tanah tersebut. Setelah itu, perjalanannya dilanjutkan
ke gurun pasir arab yang panas menyengat dan kebudayaan Mesir yang begitu
mempesona.
Guru dan teman-temannya tercengang. Benarkah
dia memiliki pengalaman sebegitu kaya?
Tahukah kau, ternyata anak tersebut mengisi
waktu liburnnya dengan membaca buku. Buku-buku sastra dan petualangan yang
menjamah setiap tempat di dunia. Buku-buku sastra terjemahan yang menggambarkan
kultur dan keadaan negeri antah-berantah, yang anak itu sendiri belum pernah
mendatanginya. Tapi dia bisa ‘memvisualisasikannya’ dengan jelas di alam
pikirnya. Tentunya setelah membaca buku-buku tersebut.
Alam pikirnya luas, imajinatif, berwawasan dan
tahu segala hal. Ya, fisiknya memang tidak melanglang penjuru dunia. Tapi dia
bisa tahu setiap jengkal dunia, paling tidak hanya dengan visualisasi pun bisa
mengobati dahaga intelektualitas kita.
Nah, itulah ajaibnya buku.
Maka tak heran, agama kita menganjurkan kita
untuk selalu membaca. Perintah dari wahyu pertama adalah ‘IQRA’. Membaca.
Membaca tidak melulu menyusuri baris demi baris rangkaian huruf di buku. Tapi
membaca memang identik dengan melahap baris-baris kalimat dan paragraf di buku.
Membaca membuka jendela dunia. Aku percaya
dengan hal ini. Maka aku sangat bahagia menjadi ‘predator’ buku. Ah, ini
mungkin terkesan berlebihan dan muluk. Mengingat, aku tidak setangguh dan
sekuat para pendahulu dari kalangan ulama dan ilmuwan yang ‘rakus’ dan
keranjingan buku-buku.
Bahkan imam Nawawi sang ‘penjaga sunnah’ pun
seorang predator buku. Diriwayatkan di rumahnyaa penuh dengan buku. Bahkan hanya
untuk menselonjorkan kaki pun sulit saking bertumpuknya buku di kamarnya.
Para tabi’in dan ulama yang hanif selalu
menjadikan buku teman duduk mereka. Seperti pepatah arab bilang ‘sebaik-baik
teman duduk adalah buku’ ada benarnya.
Bagiku, membaca buku itu tidak mengenal waktu.
Selama buku yang saya baca asyik untuk disimak, maka membacanya sebagai
aktifitas primer yang harus dilakukan. Bukan aktifitas sampingan yang menunggu
waktu luang.
Apalagi jika sudah membaca novel yang membuat
rasa penasaran kita bangkit. Tak peduli betapa tebalnya novel tersebut, atau
berapa banyaknya seri atau sekuelnya. For me, it’s no problem.
Melahap Semua Jenis Buku
Engkau dibentuk oleh apa yang kau baca, apa
yang kau tonton, apa yang kau dengar, dan dengan siapa engkau hidup dan
bergaul.
Yup, betul, buku bisa memberi pengaruh yang
sangat luar biasa. Kekuatan goresan pena tidak boleh disepelekan.
Bahkan napoleon bonaparte pernah mengatakan
lebih takut oleh kuli tinta [baca wartawan] ketimbang kekuatan prajurit musuh.
Sebagai contoh, betapa banyak orang-orang yang
memutuskan ‘hijrah’ lebih islami setelah membaca ‘Ketika Mas Gagah Pergi’ karya
Helvi Tiana Rosa atau Ayat-Ayat Cinta’nya Habiburrahman el-Shirazy.
Maka, sudah seharusnya kita harus pilah-pilih
apa yang kita baca. Jangan semuanya dibaca. Jika mengandung mannfaat silakan baca,
tapi jika berisi sampah jangan dibaca. Jangan buang waktumu demi sebuah buku
yang tidak ada faidahnya sama sekali.
Ngomong-ngomong, ada seseorang teman yang
berkomentar negatif ketika saya membaca novel fantasi terjemahan,”Kamu hanya
buang-buang waktu membaca buku itu.”
Oke, aku terima apa yang dia katakan. Memang,
novel merupakan produk ‘sampah’ dibanding buku-buku bernas, ilmiah dan
berdalil. Novel fantasi adalah karya sampah dibanding kitab ‘Fiqh Sunnah’ Sayid
Sabiq, misalnya.
Tapi saya kira, diantara sampah itu ada yang
bisa kita olah atau kita ambil sedikit faidahnya. Diantara sampah itu ada yang
bisa kita pilah. Asal kita tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Nggak
percaya? Oke, saya kasih tahu. Justru saya merasa kaya dengan kosa kata
‘akibat’ dari membaca novel-novel. Sudah ratusan novel/ karya sastra saya baca.
Dan sebanyak yang saya baca, sebanyak itu pula wawasan bahasa dan kosa kata
saya bertambah.
Jika pertama kali menulis artikel saya harus
berjuang karena keterbatasan kosa kata yang ada di benak saya. Maka, saat
ini-alhamdulillah- saya bisa dan lancar menulis artikel, cerpen dan bahkan
serial.
Kebayang nggak, jika karya sastra didominasi
oleh karya orang sosialis, sekuler dan liberal. Apa jadinya dunia sastra kita.
Maka kita butuh adanya sastrawan-sastrawan islami/profetik yang mengusung
ideologi islam.
Seni dilawan seni, sastra dilawan sastra,
hujjah dilawan hujjah, opini pun dilawan opini. Jika marak karya sastra yang
berbau busuk yang menjajakan kerusakan, maka lawan dengan karya sastra islami
yang mencerahkan.
Jadi dalam hal ini, saya tidak mengenal
pilah-pilih bacaan. Selama saya memiliki prinsip dan ideologi yang kuat, maka
saya aman untuk mengkonsumsi buku-buku ‘diluar’ ideologi yang saya pegang. Apa
yang salah, toh –sebagai contoh- para kristologi semacam Zakir Naik dan Ahmad
Dedat pun membaca kitab suci agama lain. Tujuannya baik, untuk mencari
kelemahan dan kekurangan dari kitab-kitab agama lain. Supaya menjadi perbandingan
yang mencerahkan sehingga banyak orang bisa masuk islam.
Seperti kata sebagian orang, jika kau ingin
tahu tentang satu hal, maka kau harus terjun ke dalamnya. Di satu sisi pepatah
ini salah total. Tapi di sisi lain, hal ini keharusan yang tidak boleh diabaikan.
Misal , ada penulis buku-buku islam yang
membaca buku-buku ‘kiri’ [baca; komunis], liberal, dan buku sesat tasawuf hitam
untuk membantah dan mencari titik kelemahan dan kerancuan cara pandang
orang-orang yang menyimpang.
Saya pribadi, membaca karya sastra
“non-islami” hanya untuk belajar gaya bahasa dan bertutur pengarang-pengarang “non-islami”
sehingga saya bisa menerapkannya dalam karya tulis saya. [ini beda dengan
plagiat ya. Bedakan antara plagiat karya dan terpengaruh oleh karya]
Terkecuali satu, apa pun alasannya. KITA TIDAK
BOLEH MEMBACA KARYA-KARYA CABUL YANG MERUSAK OTAK. Jangan jadi alasan untuk
mencari gaya penceritaan dari karya-karya menjijikan semacam itu. Apa yang
diharapkan dari karya yang hanya menceritakan aktifitas ranjang? Karya yang
hanya menjual ‘sensasi panas’ tanpa ada nilai-nilai intelektual dan kreatifitas
yang memadai. Masih banyak karya-karya yang menawarkan kreatifitas, cerita dan
gaya yang lebih bagus ketimbang karya-karya ‘yang menjual sensai panas.’ Tak
lebih.
---------
---------
Bepergian, Jangan Lupa Bawa Buku
Jika saya bepergian, khususnya bepergian untuk pelesiran, pasti sudah tersedia beberapa eksemplar buku atau majalah di tas.
Khawatir di perjalanan terjangkit 'virus' boring, membaca menjadi pilihan utama disamping mendengarkan nasyid lewat earphone.
Etapi, di era sekarang ini, yang namanya ebook sudah tidak asing lagi bagi kehidupan kita. Tentunya kita juga punya koleksi ebook favorite di smartphone kita. Hanya saja, bagi saya tetap membaca buku 'original' sensasinya beda.
So, do not forget to bring your book
What is Book's Cafe? Yup, kafe yang menyediakan buku bacaan untuk pengunjung kafenya. Jadi selain kita bisa ngopi dan kongkow bareng temen-temen, kita juga bisa membaca buku atau bahkan mendiskusikan buku yang kita baca.
Ada juga lho, kafe buku yang menggelar acara literasi di kafenya. Kentara banget deh si pemilik kafe menyukai dunia literasi.
Punya suami atau istri sesama penyuka literasi itu asyik binti seru. bisa belanja buku bareng, diskusi buku bareng, dan tentunya punya kesempatan untuk menulis buku bersama. Riomantis banget kan?!
Etapi, kalo udah giliran fokus sama buku masing-masing, nggak ada waktu untuk romantis-romantisan dan cuek beibeh terhadap pasangan. hiks!
'Book's Cafe'
What is Book's Cafe? Yup, kafe yang menyediakan buku bacaan untuk pengunjung kafenya. Jadi selain kita bisa ngopi dan kongkow bareng temen-temen, kita juga bisa membaca buku atau bahkan mendiskusikan buku yang kita baca.
Ada juga lho, kafe buku yang menggelar acara literasi di kafenya. Kentara banget deh si pemilik kafe menyukai dunia literasi.
Pasangan Sesama Penyuka Literasi
Punya suami atau istri sesama penyuka literasi itu asyik binti seru. bisa belanja buku bareng, diskusi buku bareng, dan tentunya punya kesempatan untuk menulis buku bersama. Riomantis banget kan?!
Etapi, kalo udah giliran fokus sama buku masing-masing, nggak ada waktu untuk romantis-romantisan dan cuek beibeh terhadap pasangan. hiks!
No comments:
Post a Comment