Tak ada kata yang patut untuk pertama kali diucapkan selain rasa syukur ke
hadirat Allah swt, yang mana dengan karunia-Nya saya bisa merampungkan paper berjudul
“ Pelestarian Lingkungan Dalam Perspektif Islam.”
Salawat beserta salam semoga selamanya tercurah limpahkan kepada pemimpin
ummat yang penuh cinta, yang membawa revolusi kehidupan kita dari kejahiliyahan
kepada zaman izzatul islam, Nabi Muhammad saw. Tak lupa kepada keluarganya,
sahabatnya, tabiin tabi’at dan kepada ummatnya yang taat sampai akhir zaman,
semoga kita termasuk di dalamnya.
Islam adalah agama yang paripurna/kaaffah. Islam mengatur semua hal dari
yang terkecil hingga yang terbesar. Tidak ada satu hal pun yaang luput dari
perhatian islam, termasuk masalah lingkungan hidup yang akhir-akhir ini menjadi
perhatian kalangan ilmuwan dunia. Kita semua tahu bahwa planet kita berada
dalam taraf yang mengkhawatirkan dengan isu global warming yang bergulir sejak
beberapa tahun yaang lalu. Pemanasan global adalah satu diantara beberapaa
masalah lingkungan hidup yang patut menjadi perhatian kita bersama. Adapun
Latar belakang ditulisnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ujian akhir
semester mata kuliah Dirosah Islamiyah
Manusia
sebagai makhluk yang dimuliakan karena dianugerahi akal pikiran oleh Allah swt.
Manusia juga dipilih oleh-Nya untuk menjadi khalifah di muka bumi. Khalifah
disini dalam arti sebagai makhluk yang diamanahi untuk mengurus dunia dan
menegakan kebenaran di atasnya.
Allah
sebagai Pencipta telah menurunkan aturan main untuk kehidupan manusia yaitu
alquran yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw beserta sunnah yang
ditinggalkan untuk ummat akhir zaman. Di dalam alquran itulah kita bisa
menemukan beberapa ayat yang menyiggung tentang peran manusia sebagai khilafah
yang dipilih allah. Disana juga kita bisa mengetahui bahwa kerusakan yang
terjadi di dunia ini karena ulah tangan-tangan jahil dari makhluk bergelar
“khilafah” tersebut. Tentunya hal ini patut menjadi perhatian kita bersama.
Di sini
penulis akan membahas tentang bagaimana peranan manusia dalam melestarikan
lingkungan hidup dari sudut pandang islam. Yang mana, jika kita telisik lebih
dalam ternyata islam sangat memperhatikan masalah ini. Ada banyak kita temukan
ayat dan hadits yang menyiratkan akan pentingnya penjagaan kelestarian alam,
larangan berbuat kerusakan terhadap alam dan pentingnya menjaga kelestarian
tersebut. Ayat dan hadits itu –insya allah akan dipaparkan di bagian pembahasan.
II.
PEMBAHASAN
Dien Islam
yang kaffah ini telah melarang segala bentuk pengerusakan terhadap alam
sekitar, baik pengerusakan secara langsung maupun tidak langsung. Kaum
Muslimin, harus menjadi yang terdepan dalam menjaga dan melestarikan alam
sekitar. Oleh karena itu, seyogyanya setiap Muslim memahami landasan-landasan
pelestarian lingkungan hidup. Karena pelestarian lingkungan hidup merupakan
tanggung jawab semua umat manusia sebagai pemikul amanah untuk menghuni bumi
Allâh Azza wa Jalla ini.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah melarang perbuatan merusak lingkungan hidup karena
bisa membahayakan kehidupan manusia di muka bumi. Karena bumi yang kita tempati
ini adalah milik Allâh Azza wa Jalla dan kita hanya diamanahkan untuk
menempatinya sampai pada batas waktu yang telah Allâh Azza wa Jalla tetapkan.
Oleh karena itu, manusia tidak boleh semena-mena mengeksplorasi alam tanpa
memikirkan akibat yang muncul.
Itulah ayat-ayat Allah Azza wa Jalla. Kami bacakan
ayat-ayat itu kepadamu dengan benar dan tiadalah Allâh berkehendak untuk
menganiaya hamba-hambaNya. [Ali Imrân/3:108]
Allah Azza
wa Jalla menciptakan alam ini bukan tanpa tujuan. Alam ini merupakan sarana
bagi manusia untuk melaksanakan tugas pokok mereka yang merupakan tujuan
diciptakan jin dan manusia. Alam adalah tempat beribadah hanya kepada Allâh
semata.
(Yaitu) Orang-orang yang mengingat Allâh sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari
siksa neraka. [Ali Imrân/3:191]
Syariat
Islam sangat memperhatikan kelestarian alam meskipun dalam jihâd fi sabîlillah.
Kaum Muslimin tidak diperbolehkan membakar dan menebangi pohon tanpa alasan dan
keperluan yang jelas.
Kerusakan
alam dan lingkungan hidup yang kita saksikan sekarang ini merupakan akibat dari
perbuatan umat manusia. Allâh Azza wa Jalla menyebutkan firmanNya :
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allâh merasakan kepada mereka
sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang
benar). [ar-Rûm/30:41]
Ibnu Katsîr
rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya, “Zaid bin Râfi’ berkata,‘Telah nampak kerusakan,’ maksudnya
hujan tidak turun di daratan yang mengakibatkan paceklik dan di lautan yang
menimpa binatang-binatangnya.”
Mujâhid
rahimahullah mengatakan, “Apabila orang zhâlim berkuasa lalu ia berbuat zhâlim dan kerusakan,
maka Allâh Azza wa Jalla akan menahan hujan karenanya, hingga hancurlah
persawahan dan anak keturunan. Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak
menyukai kerusakan.” Kemudian Mujâhid rahimahullah membacakan ayat di atas.
Tapi, apakah kerusakan yang terjadi itu hanya disebabkan perbuatan manusia yang
merusak lingkungan atau mengekplorasi alam semena-mena ataukah juga disebabkan
kekufuran, syirik dan kemaksiatan yang mereka lakukan ? Jawabnya adalah
kedua-duanya.
Ibnu Katsîr
rahimahullah telah menjelaskan dalam tafsirnya: “Makna firman Allâh
(yangartinya) “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia,” yaitu kekurangan buah- buahan dan tanam-tanaman
disebabkan kemaksiatan. Abul ‘Aliyah berkata, “Barangsiapa berbuat maksiat kepada Allâh di muka bumi,
berarti ia telah berbuat kerusakan padanya. Karena kebaikan bumi dan langit
adalah dengan ketaatan. Oleh karena itu apabila nabi ‘Isa turun di akhir zaman,
beliau akan berhukum dengan syariat yang suci ini pada masa tersebut.
Beliau akan
membunuh babi, mematahkan salib da menghapus jizyah (upeti) sehingga tidak ada
pilihan lain kecuali masuk Islam atau diperangi. Dan di zaman itu, tatkala
Allâh telah membinasakan Dajjal dan para pengikutnya serta Ya’jûj dan Ma’jûj,
maka dikatakanlah kepada bumi, “Keluarkanlah berkahmu.” Maka satu buah delima bisa dimakan oleh
sekelompok besar manusia dan mereka bisa berteduh di bawah naungan kulitnya.
Dan susu untuk mampu mencukupi sekumpulan manusia. Semua itu tidak lain
disebabkan berkah
penerapan
syariat Muhammad Shallallahu‘alaihi wa sallam. Maka setiap kali keadilan ditegakkan, akan semakin
banyaklah berkah dan kebaikan. Karena itulah disebutkan dalam hadits shahih,
yang artinya, “Sesungguhnya apabila
seorang yang jahat mati, niscaya para hamba, kota- kota, pepohonan dan
binatang-binatang melata merasakan ketenangan.”
Salah satu
bukti bahwa Islam sangat memperhatikan lingkungan alam sekitar adalah perintah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyingkirkan gangguan dari jalan yang
beliau jadikan sebagai salah satu cabang keimanan, perintah beliau untuk
menanam pohon walaupun esok hari kiamat. Disamping kita telah menjaga kehidupan
manusia di sekitar kita.
Bukankah
satu pohon adalah jatah untuk dua orang ? Dalam hal ini pemerintah berhak
memerintahkan rakyat untuk menanam pohon. al-Qurthubi berkata dalam tafsirnya,
“Bercocok tanam termasuk fardhu kifâyah. Imam (penguasa) berkewajiban mendesak
rakyatnya untuk bercocok tanam dan yang semakna
dengan itu,
seperti menanam pohon.”
Bahkan
untuk memotivasi umat beliau agar gemar menanam pohon beliau bersabda : Muslim
mana saja yang menanam sebuah pohon lalu ada orang atau hewan yang memakan dari
pohon tersebut, niscaya akan dituliskan baginya sebagai pahala
sedekah.
Bahkan
pohon itu akan menjadi asset pahala baginya sesudah mati yang akan terus
mengalirkan pahala baginya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Tujuh
perkara yang pahalanya akan terus mengalir bagi seorang hamba sesudah ia mati
dan berada dalam kuburnya. (Tujuh itu adalah) orang yang mengajarkan ilmu,
mengalirkan air, menggali sumur, menanam pohon kurma, membangun masjid,
mewariskan mushaf atau meninggalkan anak yang memohonkan ampunan untuknya
sesudah ia mati.
Menebang
pohon, menggunduli hutan, membuang limbah ke sungai, membakar areal persawahan
dan lain-lainnya sudah jelas termasuk perbuatan merusak alam yang bisa
mendatangkan bencana bagi umat manusia. Banjir bandang, kabut asap, pemanasan
global adalah beberapa diantara akibatnya. Namun sadarkah kita, bahwa kerusakan
alam bukan hanya karena faktor-faktor riil seperti itu saja. Kekufuran, syirik
dan kemaksiatan juga punya andil dalam memperparah kerusakan alam.
Bukankah
banjir besar yang melanda kaum Nuh Alaihissallam disebabkan kekufuran dan
penolakan mereka terhadap dakwah Nuh Alaihissallam ? Bukankah bumi dibalikkan
atas kaum Luth sehingga yang atas menjadi bawah dan yang bawah menjadi atas
disebabkan kemaksiatan yang mereka lakukan ? Sebaliknya, keimanan, ketaatan dan
keadilan juga berperan bagi kebaikan dan keberkahan bumi.
Ibnul
Qayyim rahimahullah mengatakan, “Diantara pengaruh buruk perbuatan maksiat terhadap bumi adalah banyak
terjadi gempa dan longsor di muka bumi serta terhapusnya berkah. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewat kampung kaum Tsamûd, beliau
melarang mereka (para sahabat) melewati kampung tersebut kecuali dengan
menangis. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang mereka meminum
airnya menimba sumur-sumurnya, hingga beliau memerintahkan agar menggunakan air
yang mereka bawa untuk mengadon gandum. Karena maksiat kaum Tsamûd ini telah
mempengaruhi air di sana. Sebagaimana halnya pengaruh dosa yang mengakibatkan
berkurangnya hasil panen buah-buahan.
Imam Ahmad
telah menyebutkan dalam Musnadnya, ia berkata, “Telah ditemukan dalam gudang
milik Bani Umayyah sebutir gandum yang besarnya seperti sebutir kurma. Gandum
itu ditemukan dalam sebuah kantung yang bertuliskan, “Biji gandum ini tumbuh
pada masa keadilan ditegakkan.”
Kebanyakan
musibah-musibah yang Allâh Azza wa Jalla timpakan atas manusia sekarang ini
disebabkan perbuatan dosa yang mereka lakukan. Sejumlah orang tua di padang
pasir telah
mengabarkan
kepadaku bahwa mereka pernah mendapati buah-buah yang ukurannya jauh lebih
besar daripada buah- buahan yang ada sekarang.”[5]
Barangkali
ada yang bertanya apakah maksiat yang tidak ada sangkut pautnya dengan alam
bisa juga merusak alam ? Jawabnya, ya bisa. Bukankah Hajar Aswad menghitam
karena maksiat yang dilakukan oleh manusia ? Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda :
Hajar Aswad turun dari surga lebih putih warnanya
daripada salju, lalu menjadi hitam karena dosa-dosa anak Adam.[6]
Begitulah
pengaruh dosa dan maksiat! Hajar Aswad yang turun dari surga dalam keadaan
berwarna putih bersih lebih putih dari salju bisa menghitam karena dosa. Ini membuktikan
bahwa dosa dan maksiat juga memberikan pengaruh pada perubahan yang terjadi
pada alam sekitar. Apabila manusia tidak segera kembali kepada agama Allâh Azza
wa Jalla , kepada sunnah Nabi-Nya, maka berkah itu akan berganti menjadi
musibah. Hujan yang sejatinya, Allâh turunkan untuk membawa keberkahan dimuka
bumi, namun karena
ulah
manusia itu sendiri, hujan justru membawa berbagai bencana bagi manusia.
Banjir,
tanah longsor dan beragam bencana muncul saat musim hujan tiba. Bahkan di
tempat-tempat yang biasanya tidak banjir sekarang menjadi langganan banjir !
Tidakkah manusia mau menyadarinya? Atau manusia terlalu egois memikirkan diri
sendiri tanpa mau menyadari pentingnya menjaga alam sekitar yang bakal kita
wariskan kepada generasi mendatang !?
Allâh Azza
wa Jalla memberi manusia tanggung jawab untuk memakmurkan bumi ini mengatur
kehidupan lingkungan hidup yang baik dan tertata. Dan Allâh Subhanahu wa Ta’ala
akan menuntut tanggung jawab itu di akhirat kelak.
Oleh karena
itu, kita sebagai umat muslim seharusnya memahami arti pentingnya menjaga
kelestarian lingkungan hidup. Mereka punya kewajiban untuk melestarikan alam
semesta.
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,
sesudah (Allah) memperbaikinya. [al-A’râf/7:56]
Ibnu Katsir
rahimahullah menjelaskan ayat ini sebagai berikut, “Firman Allâh Azza wa Jalla
(yang maknanya-red), ‘Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi,
sesudah (Allah) memperbaikinya.’ Allâh melarang tindakan perusakan dan hal-hal
yang membahayakan alam, setelah dilakukan perbaikan atasnya. Sebab apabila
berbagai macam urusan sudah berjalan dengan baik lalu setelah itu terjadi
perusakan, maka hal itu lebih
membahayakan
umat manusia. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla melarang hal itu
dan
memerintahkan para hamba-Nya agar beribadah, berdoa, dan tunduk serta
merendahkan diri kepada-Nya.”
Sesungguhnya
dengan akal yang Allâh Azza wa Jalla anugerahkan, manusia lebihkan dari
makhluk-makhluk lainnya.
Kita lebih
mulia dari hewan. Coba anda lihat, hewan saja memiliki kesadaran menjaga
keseimbangan alam dan lingkungan hidup, lalu apakah kita selaku manusia justru
menghancurkannya ? Janganlah kamu berbuat kerusakan sesudah Allâh
memperbaikinya! Maka kita punya tanggung jawab besar untuk menjaga keseimbangan
alam dan lingkungan hidup demi kesejahteraan hidup manusia di bumi ini.
Bukankah Allâh Azza wa Jalla telah berfirman :
Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan
padanya gunung-gunung dan
Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut
ukuran. [al-Hijr/15:19]
Ya, semua
sudah ada ukurannya, semua ada aturannya. Allâh Azza wa Jalla telah
menciptakan
semua itu dengan sangat detail dan teratur.
Ibnu Katsîr
rahimahullah berkata,“Selanjutnya
Allâh Azza wa Jalla menyebutkan bahwa Dia yang telah menciptakan bumi,
membentangnya, menjadikannya luas dan terhampar, menjadikan gunung-gunung
diatasnya yang berdiri tegak, lembah-lembah, tanah
(dataran),
pasir, dan berbagai tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang sesuai.
Ibnu ‘Abbâs
Radhiyallahu anhu berkata tentang firman Allâh Azza wa Jalla “Segala
sesuatu
dengan ukuran” Mauzun artinya adalah diketahui ukurannya (proporsional
dan
seimbang). Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Sa’id bin Jubair, Ikrimah,
Qatâdah dan ulama yang lainnya.
Di antara
para ulama ada yang mengatakan, “maksudnya ukuran yang telah ditentukan.”
Sedang Ibnu Zaid mengatakan, “Maksudnya yaitu dari setiap sesuatu yang
ditimbang dan ditentukan ukurannya.”
Dalam ayat
lain Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan tentang siklus hidrologi yang
menjadi salah satu elemen terpenting bagi kelangsungan kehidupan makhluk di
muka bumi.
Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu
menggerakkan awan dan Allâh membentangkannya di langit menurut yang
dikehendaki-Nya, dan menjadikannya
bergumpal-gumpal; lalu kamu Lihat hujan keluar
dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba- Nya
yang dikehendakiNya, tiba-tiba mereka menjadi gembira. [ar-Rûm/30:48].
Begitulah
proses perubahan diciptakan untuk memelihara keberlanjutan (sustainability)
bumi. Proses ini dikenal sebagai siklus hidrologi, mencakup proses evaporasi,
kondensasi, hujan dan aliran air ke sungai, danau dan laut.
Kewajiban
ini kita laksanakan dengan menjalankan syariat Allâh Azza wa Jalla di muka
bumi, memakmurkannya dengan tauhid dan sunnah. Sembari terus menumbuhkan
kesadaran bahwa kita tidak sendiri hidup di muka bumi. Ada makhluk- makhluk
Allâh Subhanahu wa Ta’alaainnya selain kita di sekitar kita.
Dan juga
dengan menjauhi kekafiran, syirik dan maksiat. Karena dosa dan maksiat akan
mendorong manusia untuk merusak dan mengotori alam ini dengan noda-noda maksiat
mereka. Mereka inilah inilah yang sebenarnya tidak memahami tujuan penciptaan
alam semesta ini.
III.
PENUTUP
Dari
paparan di atas, jelaslah aturan-aturan agama Islam yang menganjurkan untuk menjaga
kelestarian lingkungan. Islam memberikan panduan yang jelas bahwa sumber daya
alam merupakan daya dukung bagi kehidupan manusia yang harus dipelihara dengan
sebaik-baiknya. Sebab jika tidak, maka rentetan bencana alam seperti banjir,
tanah longsor, kebakaran, kekeringan dan berbagai bencana alam lainnya akan
menjadi
konsekuensinya.
“Telah
tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia,
Allah menghendaki agar mereka merasakan sebahagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. 30:41).
Berdasarkan
ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah di atas, maka dalam
berinteraksi dan mengelola alam serta lingkungan hidup itu, manusia secara umum
mengemban tiga amanat dari Allah.
Pertama,
al-intifa’ yaitu mengambil manfaat dan mendayagunakan hasil alam dengan sebaik-baiknya
demi kemakmuran dan kemaslahatan. Kedua, al-i’tibar yaitu manusia dituntut
untuk senantiasa memikirkan dan menggali rahasia di balik ciptaan Allah seraya
dapat mengambil pelajaran dari berbagai kejadian dan peristiwa alam. Ketiga,
al-islah yaitu
manusia
diwajibkan untuk terus menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan itu.
Allah SWT
telah memberikan fasilitas daya dukung lingkungan bagi kehidupan manusia. Oleh
karena itu, dalam perspektif hukum Islam dapat dinyatakan bahwa status hukum
pelestarian lingkungan adalah wajib. Dengan demikian, manusia dituntut untuk
selalu membiasakan diri bersikap ramah terhadap lingkungannya.
Referensi Sumber Tulisan:
1.
al-Qur’ân al-Karîm.
2. Umdatut
Tafsîr Ibnu Katsîr.
3. Tafsir
ath-Thabari.
4.
al-Fawâid, Ibnul Qayyim.
5. Shahîh
al-Bukhâri.
6. Shahîh
Muslim.
7. Riyadhus
Shâlihîn, an-Nawawi.
8. Majalah
As-Sunnah Edisi 01/ Tahun XIV/1431H/2010M.
No comments:
Post a Comment