Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya dia akan
mengadakan baginya jalan keluar (QS. Ath-Tholaq: 2)
Ketika kita akan mengerjakan suatu hal yang besar, maka tak
menutup kemungkinan akan ada orang-orang yang mendukung kita. Tapi kita juga
tak bisa memungkiri bahwa banyak orang yang mencibir dan meragukan kemampuan
kita.
“Untuk apa kamu mengerjakan proyek besar seperti itu? Apakah
kamu yakin bisa mengerjakannya tampa tim yang kapabel?”
"Sudahlah, kamu nggak usah mengada-ada. Lagi pula belum
tentu apa yang kau harapkan akan berhasil.”
Terkadang ada diantara kita yang acuh tak acuh dengan
berbagai celotehan negatif tersebut. Namun tidak sedikit yang merasa ragu
setelah ia mendengar persepsi orang-orang di sekitarnya. Di hati kecilnya ia
mulai membenarkan apa yang dikatakan, baik oleh keluarga, teman sejawat atau
bahkan pasangan hidupnya (suami/istri).
Kita mulai ragu ketika orang yang berpandangan negatif
tersebut mengemukakan alasan-alasan yang sepintas masuk akal dan benar adanya.
Kita lupa bahwa kita mempunyai asa dan ketawakalan.
Kita lupa bahwa kita mempunyai tuhan sebagai tempat bergantung atas semua urusan kita. Sebesar apa pun urusan itu, jika allah berkehendak untuk meluluskannya, maka tak ada kata mustahil. Begitu juga sebaliknya. Yang seharusnya kita tanamkan adalah, bahwa kita hanya mampu untuk berusaha semaksimal yang kita bisa. Tak lupa diiringi dengan doa dan kepasrahan total kepada zat yang menguasai alam semesta.
Kita lupa bahwa kita mempunyai tuhan sebagai tempat bergantung atas semua urusan kita. Sebesar apa pun urusan itu, jika allah berkehendak untuk meluluskannya, maka tak ada kata mustahil. Begitu juga sebaliknya. Yang seharusnya kita tanamkan adalah, bahwa kita hanya mampu untuk berusaha semaksimal yang kita bisa. Tak lupa diiringi dengan doa dan kepasrahan total kepada zat yang menguasai alam semesta.
Marilah kita mencontoh dari teladan utama kita, Rasulullah
saw. Jika seandainya beliau mendengarkan apa yang dikatakan kaumnya, tentunya
beliau akan berhenti untuk menyebarkan kalimatullah di muka bumi. Jika Rasulullah mendengarkan apa yang dikatakan oleh pamannya, tentu ia akan
terenyuh dan akan menghentikan aktifitas dakwahnya. Bisa saja Rasulullah merasa
kasihan kepada Abi Thalib, sang paman yang menyokong dan mengasihaninya.
Kita tahu, bahwa paman nabi itu merasa tertekan dengan ancaman-ancaman gegeden quraiys. Tapi rasulullah juga sadar, ini bukan masalah kasihan atau tidak kasihan. Ini juga bukan masalah toleransi dan kemaslahatan semu. Tapi rasulullah menyadari bahwa apa yang ia pegang adalah kebenaran yang mesti ia sampaikan.
Kita tahu, bahwa paman nabi itu merasa tertekan dengan ancaman-ancaman gegeden quraiys. Tapi rasulullah juga sadar, ini bukan masalah kasihan atau tidak kasihan. Ini juga bukan masalah toleransi dan kemaslahatan semu. Tapi rasulullah menyadari bahwa apa yang ia pegang adalah kebenaran yang mesti ia sampaikan.
Tak selayaknya kita bawa perasaan dalam setiap kondisi kita.
Ada masanya kita untuk mendengarkan apa kata orang, ada saatnya pula kita
menulikan telinga kita dari celotehan orang. Itu semua kembali kepada orientasi
yang kita yakini keabsahannya.
No comments:
Post a Comment