HUSNI MUBAROK
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubha keadaan suat kaum
sebelum mereka merubah keadaan diri mereka sendiri.” (13: 11)
Apa yang akan kita lakukan ketika kita bercermin dan kita
mendapati ada kotoran di sudut mata kita? Kita akan membuang kotoran itu atau
mencuci muka kita. Apa yang kita lakukan ketika kita melihat bayangan kita yang
acakadut di cermin? Kita akan mengambil sisir dan merapikan rambut kita. Kita
akan memperbaiki letak kerah baju dan dasi kita.
Lalu bagaimana jika seumpamanya ada orang yang ketika
mendapati dirinya tidak sedap dipandang mata lantas menyalahkan cermin, bukan
menyalahkan dirinya. Alih-alih merapikan diri dia malah memecahkan kaca
tersebut karena menganggap cerminlah yang salah. Hah? Itu orang gila namanya.
Nggak punya otak. Tapi tunggu dulu, ini hanya sebatas analogi, tapi analogi ini
bisa benar-benar menimpa beberapa diantara kita –bisa jadi kita sendiri- yang
membenci kaca ketika mendapati tampilan kita yang kurang memuaskan.
Oke, kita butuh cermin. Karena tanpa bercermin kita kan akan
pernah akan sadar dengan kekurangan kita, tak akan pernah insaf dengan segala
kekurangan kita, tak akan pernah mafhum dengan segala kealfaan kita. Kita butuh
cermin karena dengan cerminlah kita bisa memperbaiki apa yang selama ini telah
kita rusak. Dengannya kita menjadi sadar hakikat dari kebenaran dan segala
sesuatu yang selama ini luput dari kesadaran kita. Ketauilah kawan, cermin yang
saya sebutkan banyak bentuk dan rupanya. Cermin itu bisa berupa majlis taklim,
buku-buku, tontonan, pengalaman orang lain, atau bahkan kegagalan diri sendiri.
Cermin itulah yang akan menuntun kita untuk menjadi pribadi
yang lebih baik. Sudah seharusnya kita mendatangi cermin-cermin tersebut dan
mulai berkaca diri, kita-kira apa kealfaan kita yang selama ini kita kurang
atau bahkan tidak menyadarinya.
Datangilah majlis taklim atau pengajian remaja. Disana kita
bisa bercermin tentang betapa kita makhluk hina yang penuh dengan dosa. Kita
sangat membutuhkan keasih saying-nya yang mewujud dari ampunan-nya yang begitu
luas. Disamping kita juga harus mengevaluasi atau muhasabah terhadap amal-amal
kita. Hapuslah segala amal buruk kita dengan amalan-amalan baik dan unggul di
hadapan-Nya. Kita harus berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama
karena dalam hadits disebutkan,”seorang muslim tidak akan jatuh ke lubang yang
sama.”
Bacalah buku-buku motivasi yang menggairahkan dan
membangkitkan opitmistis. Tontonlah film-film motivasi yang bombastis dan
menjadi provokator menuju perubahan. Jangan sampai anda salah memilih bacaan
atau tontonan. Karena menurut seorang yang bijak, kepribadian seseorang bisa
dilihat dari apa yang ia baca dan dimana ia tinggal. Jadi, sudah selayaknya
kita harus melahap buku-buku dan tontonan bermutu yang bisa menyuntikan
kebaikan kepada diri kita.
Belajarlah dari kesuksesan atau kegagalan orang lain. Tidak
selalu orang yang sukses yang menjadi cemin kita. Tukang beca pun mungkin bisa
menjadi cermin kita. Kita belajar dari kehidupan orang-orang di sekitar kita.
Seorang guru bisa belajar dari tingkah polah murid-muridnya. Jadilah ia
bercermin kepada murid-muridnya. Seorang suami bisa bercermin kepada istri
tercinta, maka ia akan mendapati betapa rasa bahagia dan optimis itu ada ketika
ia memandang istrinya yang salehah. Jadi, sudah seharusnya kita bercermin
kepada siapa pun tanpa pandang bulu. Kita bercermin kepada orang-orang sukses,
pengusaha, motivator, orang tua, guru, murid, pembantu, tukang ojek dan
sebagainya. Banyak cermin yang selama ini kita sia-siakan. Jika kita pandai
bercermin, mutiara kehidupan akan membawa kita semakin bijak bersikap. Bijka
ketika mendapatkan kegagalan, bijak ketika mendapatkan musibah dan bijka ketika
mendapatkan kebahagiaan. Sikap bijak ketika mendapatkan kebahagiaan diwujudkan
dengan berbagi dan berempati dengan orang-orang yang kurang beruntung di
sekitar kita.
Bahkan kita pun bisa bercermin dari diri kita sendiri. Walau
pun saya yakin, kita dituntut untuk bercermin secara eksternal, tapu kita juga
sekali-kali perlu menengok diri kita sendiri. Muhasabah namanya. Ada ungkapan
dari uamr bin khatab ra. Hisablah dirimu sebelum engkau dihisab kelak. Maka,
sudah sepantasnya kita bercermin terhadap laku dan polah yang pernah kita
lakukan. Kita bercermin terhadap amalaih kita. Sudah sejauh mana kita mendekatkan
diri kita kepada-Nya. Sudah sejauh mana kesiapan kita untuk menghadap-Nya.
Sudah sampai mana diri kita menggapai makna kehidupan yang sebenarnya.
Kita bermuhasabah dengan kehidupan dunia kita, apa yang
selama ini menjadi penyebab utama kegagalan kita. Rasa malaskah? Ataukah karena
kurangnya bakti kita kepada kedua orang tua kita yang selalu mencurahkan kasih
sayangnya kepada kita?
JANGAN PECAHKAN KACA CERMIN
Lalu apa yang pantas untuk menganalogikan orang-orang yang
tak mau bercermin? Sebenarnya mereka bercermin, cuman mereka tidak mengambil
pelajaran dari apa yang mereka lihat di cermin itu. Mereka merasa masa bodoh
dengan tampilan mereka sendiri. Aliuh-alih merapikan diri sendiri, mereka malah
menyibukan diri dengan gerutuan gerutuan ketidak puasan. Mereka malah mencaci
cermin d . bukannya mulai memperbaiki diri, malah bisa jadi memukul dan
menghancurkan cerminnya.
Analogi di atas sangat pantaas kita sematkan kepada
orang-orang yang selalu iri dengan keberhasilan orang lain. Ia hanya bebatas iri.
Tidak pernah ioa melihata amal-amalnya atau [pun kekuarnanganna. Ia sibuk
menilai dan menjudge orang lain, sementara diri seandiri ia lupakan.
Istilahnya, s gajah di pelupuk mata tidak kelihatan, sementara semut di
seberang lautan keliahatan. Padalah, sudah seharusnya kita melihat keusksesan
orang lain sebagai motivasi dan pecut untuk lebih semangat dalam menggapai
kesuksesan. Baik kesuksesan duniawi ataupun kahiran. Karena, dengan iri dengki
atak aka nada perbuhana yang berarti. Yang ada hanya energy yang terkusar habis
dan waktu yang terbuang secara sia-sia. Orang lain sudah mampu merbuah dunia
dan mengurus orang banyak, sementara diri kita? Mengurus diri sendiri pun tidak
becus sama sekali.
Tidak sekedar bercermin.
ada beberapa tipe manusia yang bisa kita bedakan berdasakan
orientasi yang ia miliki setelah bercermin.
Pertama, ada orang yang menyadari segala kekurangannya dan
melakukan perubahan. Ia tidak hanya merubah dirinya sendiri, tapi juga merubah
orang lain dengan apa yang ia ketahui dari bayangan dirinya di cermin. Ia ingin
agar orang lain tidak terjebak dalam kesalahan dan kealfaan yang sama.
Kedua, ada orang yang menyadari segala kekurangan dirinya
dan berusaha melakukan perubahan cukup untuk dirinya sendiri. Ia tidak tergerak
untuk melakukan perubahan terhadap orang-orang di sekitarnya. Maka, orang yang
semacam ini adalah orang yang tidak mengidahkan prinsip ammar ma’ruf nahi
munkar. Apa yang akan ia jawab ketika Allah menanyakan tentang kerusakan di
sekitarnya? Sementara ia merasa masa bodoh dengan segala keburukan-keburukan di
sekitar dirinya? Maka, bagaimana pun juga, prinsip nahi munkar perlu kita
pegang teguh. Karena dari sinilah, kebaikan dan keberkahan hidup akan muncul.
“kamu (umat islam ) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia. (karena
kamu) menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada allah.” ( QS. Ali Imran: 110)
Ketiga, orang yang tidak bercermin dan ia tidak menyadari
kesalahannya, tapi ia mencoba untuk memberi cermin kepada orang lain dan
berusaha menyadarkan kekurangan orang-orang di sektiarnya. Tapi payahnya, diri
sendiri ia lupakan padahal Allah azza wa jalla telah berfirman dalam qur’an
surah albaqoroh ayat 44 ,” mengapa kamu menyuruh orang lain (melakukan)
kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri. Padahal kamu membaca kitab.
Tidakkah kamu mengerti?
Yang keempat, orang yang selalu menyalahkan cermin dan tidak
mau menyadari kekurangannya. Alih-alih menyadari segala kekurangan ia
merungutuk cermin yang mamantulkan bayang-bayang dirinya yang tidak sedap
ditatap mata. Inilah kepribadian orang-orang yang dihatinya terdapat iri
dengki, rasa jumawa dan takabur. Termasuk yang manakah kita?
No comments:
Post a Comment